|
SUARA
KARYA, 18 Mei 2013
Munculnya sekolah favorit
sebenarnya karena adanya kesenjangan kualitas output antarsekolah. Jika
kualitas output itu sama, setidaknya merata, kiranya tak perlu lagi predikat
favorit atau tidak favorit itu. Pengalaman yang kita temui bertahun-tahun justru
menjadi tantangan kita bersama, terutama para pendidik untuk mencari akar
persoalan mengapa terjadi kesenjangan output pendidikan antar satu dan lain
sekolah.
Predikat negeri dan swasta pun
berpengaruh secara signifikan pula dalam era kompetisi memilih sekolah. Pada
umumnya sekolah-sekolah negeri tenang-tenang saja, di samping biaya tercukupi,
para peminat langsung menyerbu sekolah-sekolah negeri. Sekolah favorit
targetnya bisa langsung terpenuhi dengan kualitas calon yang tak diragukan.
Sedangkan sekolah-sekolah negeri yang biasa-biasa saja, tidak sedikit yang
melakukan promosi agar tidak kekurangan murid.
Sementara itu fenomena
sekolah-sekolah swasta lebih memilukan. Sekolah swasta favorit memang
tenang-tenang saja sebab mudah terpenuhi targetnya, namun jumlah sekolah swasta
favorit relatif sedikit. Sedangkan sebagian besar sekolah swasta cenderung
semakin kekurangan murid. Kalau sekolah negeri saja kekurangan murid, apalagi
seolah swasta. Sehingga, tidak mengherankan apabila sejumlah sekolah swasta
harus gulung tikar karena tidak ada pendaftarnya.
Untuk menghindari kekurangan
murid, sekolah-sekolah swasta pun melakukan promosi besar-besaran. Fenomena
seperti ini akan meramaikan bursa pencarian sekolah, sehingga kalau tidak
hati-hati banyak orangtua terjebak karena tergiur promosi yang belum jelas
realitasnya.
Di samping sistem rekrutmen siswa
yang mencemaskan, para orangtua merasa runyam dan pusing memikirkan besarnya
biaya yang harus dipersiapkan, entah ke sekolah negeri maupun swasta. Bahkan,
untuk masuk ke sekolah negeri pun ternyata biayanya jauh dari yang dibayangkan
dan hampir-hampir tak terjangkau oleh kekuatan ekonominya.
Semula, banyak para orangtua murid
mengira bahwa masuk ke sekolah negeri biayanya akan jauh lebih murah. Itu kan
dulu, sebelum otonomi. Namun, setelah otonomi, tiap sekolah bisa mengatur
sendiri anggarannya. Bahkan dengan adanya Komite Sekolah, maka banyak kegiatan
bisa dimunculkan, yang ujung-ujungnya duit pula. Karena itu, tidak mengherankan
bahwa banyak orangtua terkejut melihat sejumlah uang yang segera harus dibayar
agar nama anaknya tidak dicoret dari sekolah yang akan dimasuki itu.
Pada masa lalu, biaya sekolah
negeri boleh dikatakan murah, karena memang tidak ada uang sekolah. Tetapi
sekarang, peningkatan kualitas banyak menyerap daya dan dana, sehingga biaya
sekolah di negeri pun tinggi. Lantas bagaimana dengan biaya sekolah swasta?
Rendah? Ternyata tidak. Sekolah-sekolah swasta yang tergolong favorit juga
berusaha keras mempertahankan dan meningkatkan mutunya, sehingga membutuhkan
banyak biaya pula. Karena itu, jika dibandingkan dengan biaya di sekolah negeri
yang sama-sama favorit, sekolah-sekolah negeri masih lebih murah karena adanya
subsidi dari pemerintah.
Bagi orangtua berpenghasilan
cukupan saja, dan punya sejumlah anak yang harus sekolah di TK, SD, SMP dan
SMA, bahkan PT, mereka harus memeras otak untuk mendapatkan uang agar
anak-anaknya bisa melanjutkan sekolah. Karena itu, kebutuhan-kebutuhan lain
yang mendesak, terutama kebutuhan orangtua itu sendiri, terpaksa ditunda.
Walaupun demikian, ada juga SMP
dan SMA yang tarif uang dana pengembangan pendidikan (DPP) sedang-sedang saja,
namun masih cukup mahal untuk ukuran pegawai negeri golongan rendah. Karena
itu, tidak mengherankan jika ada anak pegawai negeri saja tidak bisa
melanjutkan belajar karena tipisnya dana yang ada. Apalagi, orangtuanya tak
berpenghasilan tetap, juga banyak masalah.
Dengan demikian, di era kompetisi
memilih sekolah, banyak keprihatinan-keprihatinan. Untuk mendapatkan tempat di
sekolah-sekolah yang diinginkan, ternyata terasa semakin sulit. Hal ini
disebabkan, selain tempat yang tersedia terbatas, juga karena peminatnya
melimpah.
Sesungguhnya sampai saat ini masih
banyak orang sudah terkecoh dan tergila-gila pada sekolah. Orang sudah
mengacaukan pendidikan dan sekolah. Kita memang butuh pendidikan lewat
sekolah-sekolah. Namun, tidak sedikit sekolah yang dibisniskan untuk
memperbesar kekayaan dan kekuasaannya. Akibatnya, lembaga-lembaga pendidikan
yang dianggap baik dan bermutu, menuntut pembayaran yang relatif tinggi.
Dengan demikian, banyak orangtua
dan anak-anak kita harus kecewa, karena keinginan untuk mendapatkan tempat
belajar yang baik tidak dapat dipenuhi. Mereka kalah bersaing mengenai dua hal.
Prestasi studi lewat nilai ujian akhir atau pun tes, dan kemampuan finansial.
Adalah benar bahwa salah satu dari
kedua faktor penyebab kegagalan itu sering dapat mengkompensasi atau
mengimbangi faktor yang lainnya. Misalnya, prestasi studi yang baik dapat
mengkompensasi kemampuan finansial yang kurang, dan sebaliknya, sehingga
akhirnya dapat diterima. Namun, kebanyakan dari mereka yang harus kecewa memang
lemah untuk kedua-duanya, sehingga tidak dapat tertolong lagi.
Akhirnya yang masih perlu kita
cari pemecahannya adalah bagaimana menghilangkan pengkategorian sekolah favorit
dan tidak favorit. Tidak ada alternatif lain, berbagai upaya perlu dilakukan
untuk memperbanyak kelahiran sekolah-sekolah favorit. Misalnya, dengan melihat
beberapa faktor dari sekolah itu, lalu ditentukan faktor mana yang bisa dipacu.
Mudah-mudahan dalam era kompetisi
memilih sekolah, jangan sampai ada warga masyarakat yang dirugikan akibat salah
pilih. Karena, kalau sampai salah pilih, selain menghabiskan biaya dan energi,
juga membuang waktu yang tidak bisa dicarikan gantinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar