|
TEMPO.CO, 08 Mei 2013
Barisan Nasional menang dengan
angka yang tak cukup meyakinkan, 133 kursi, dibanding pemilu 2008 sebelumnya,
140 kursi. Padahal, jika dibandingkan dengan kepemimpinan Abdullah Badawi,
Najib Tun Razak jauh lebih kuat. Tentu saja, dukungan sang mentor, Mahathir
Mohammad, makin mengukuhkan kedudukan anak perdana menteri kedua negeri jiran
ini. Rumor yang sebelumnya menyebar, bahwa Najib berseberangan dengan Mahathir,
tak menjadi kenyataan. Dua orang kuat PERKASA—organisasi ultra-Melayu, yang
berada di bawah patronase Mahathir—turut dicalonkan. Ibrahim Ali dan Zulkifli
Noordin bertarung di kubu kuat PAS (Partai Islam se-Malaysia) dan PKR (Partai
Keadilan Rakyat), meskipun keduanya kalah telak.
Menariknya, sementara dulu terjadi
tsunami politik secara umum, pada pemilu kali ini hampir secara bulat pemilih
Tionghoa mendukung Pakatan Rakyat. Semua calon Tionghoa dari MCA (Malaysia
Chinese Association) yang bertarung untuk merebut tiket ke parlemen tumbang.
Ini berarti tidak akan ada menteri yang akan diwakili oleh komponen koalisi
dari partai yang diketuai oleh Chua Soi Lek. Sekaligus, pemilu ke-13 telah
menguburkan karier politik bekas menteri kesehatan ini. Fenomena ini tentu akan
mempersulit Barisan Nasional untuk menjalankan roda pemerintahan lima tahun ke
depan tanpa dukungan dari kuasa politik terbesar kedua, setelah Melayu di UMNO
(United Malaysian National Organization).
Boleh dikatakan, pemilu yang paling
sengit dalam sejarah Malaysia ini merupakan masa keemasan DAP (Democratic
Action Party). Partai yang dipimpin oleh politikus gaek, Karpal Singh, hampir
berhasil menyapu bersih seluruh kursi yang diperebutkan dengan seterunya, MCA.
Malah Lit Kit Siang mampu menaklukkan pesaingnya Ghani Othman, bekas gubernur
Negara Bagian Johor di daerah pemilihan Gelang Patah. Jelas hal ini bukan hanya
persoalan menang-kalah, tapi calon wakil rakyat Tionghoa juga bisa mengandaskan
laju lawannya yang sangat kuat di basis tradisional UMNO. Meskipun Pakatan
Rakyat tidak bisa merebut negara bagian ini, setidak-tidaknya ini isyarat bahwa
Pekembar—nama lain UMNO—tidak lagi bisa tidur nyenyak.
Persaingan isu
Betapa pun kesejahteraan menjadi
isu pokok, tapi perilaku moral tetap menggema dalam persaingan kedua kubu.
Anwar Ibrahim, Ketua Umum PKR, dikatakan sebagai penyangak, orang
jahat yang buruk secara moral karena kecenderungan seks tidak normal. Hampir
semua media arus utama memainkan isu ini sebagai kelemahan sang calon.
Sebenarnya ada banyak calon lain yang lebih bersih, seperti Hadi Awang—presiden
PAS—apabila koalisi Pakatan Rakyat ingin menempatkan kadernya di kursi perdana
menteri. Sementara Najib acap kali diserang dari perilaku koruptif ketika
menjabat posisi elite pemerintahan.
Tak kalah sengitnya, PKR acap kali
dituduh sebagai organisasi politik berhaluan kiri, yang merupakan label
menjijikkan bagi orang Melayu. Warna merah pada kedua sisi bendera partai ini
adalah pertanda bahwa Partai Sosialis Malaysia mendapat tempat yang berarti
dalam kubu Anwar Ibrahim. Pentolan partai kiri ini, Syed Husin Ali, merupakan
sahabat karib Anwar yang membantu fusi kaum sosialis ke dalam PKR. Dalam
sejarah kelam komunisme di tanah Semenanjung, tentu label kiri masih menjadi
momok dalam pikiran dan hati khalayak.
Dengan kekuatan media dan uang,
Barisan Nasional jelas lebih bisa berbuat banyak. Menjelang hari pemilu, Najib
menggelontorkan pelbagai jenis bantuan untuk rakyat. Tak hanya itu, sekolah
Tionghoa dan Tamil juga mendapatkan donasi berlimpah. Dengan langkah ini, suara
dari dua etnis terbesar setelah Melayu ini diharapkan akan dilimpahkan kepada
Barisan Nasional. Namun politik tidak hanya menggerojok uang, tapi juga
memenangkan hati rakyat. Setelah pemilu 2008, etnis Tionghoa dan India tampak
lebih nyaring bersuara dan menuntut hak-hak yang lebih besar. Meskipun Barisan
Nasional telah memenuhi tuntutan itu, pada pemilu kali ini mereka bergeming.
Suara telah diberikan sepenuhnya kepada PR (Pakatan Rakyat).
Sedangkan PR hanya mengandalkan
pemerintah negara bagian yang berada dalam kekuasaannya, seperti Selangor,
Kedah, dan Kelantan. Dengan kekuasaan yang ada di tangannya, misalnya,
pemerintah Negara Bagian Selangor memberikan akta pemilikan tanah kepada 108
pekebun, pemberian bantuan untuk warga tua, air gratis, serta simpanan warisan
untuk anak Selangor. Hanya saja berita ini bisa dilihat di koran Sinar
Harian, satu-satunya media yang netral dan dengan sendirinya turut membantu
oposisi untuk memperlihatkan pada rakyat bahwa mereka mampu menunaikan janji.
Realistis
Dengan hasil di atas, akhirnya
semua pihak akan kembali ke rumah masing-masing. Pergulatan meraih dukungan
politik telah usai. Meskipun Anwar Ibrahim tidak puas dan akan menuntut
tindakan terhadap kecurangan, seperti pemilih “hantu” (phantom voters),
diharapkan tidak akan menempatkan Malaysia pada ketidakpastian. Apatah lagi,
sehari setelah pilihan umum, Najib telah dilantik oleh Sultan Halim Muazzam
Shah sebagai perdana menteri di Balai Rong Istana Negara Kuala Lumpur. Betapa
pun, Jusuf Kalla telah berhasil menemui Anwar Ibrahim untuk menerima tawaran
rekonsiliasi, ikon Reformasi tetap memilih untuk menuntut keadilan bagi rakyat.
Secara moral, Anwar Ibrahim
mendapatkan dukungan lebih banyak dari warga Malaysia, yaitu 5,4 juta,
dibanding Najib, yang 5,2 juta. Dengan selisih 200 ribuan dari 13.105.407 juta
suara dan partisipasi pemilih sebanyak 80 persen, tentu selisih suara itu cukup
besar bagi oposisi. Sayangnya, ia tidak berbuah bilangan pembagi pemilih (BPP)
yang mendatangkan kursi parlemen. Adapun tantangan bagi Najib cukup besar
karena, sebagai Presiden UMNO yang menjabat koordinator pemenangan Selangor,
dirinya tidak bisa menumbangkan dominasi PKR, malah kursi DPRD UMNO di negara
bagian terkaya di Malaysia ini makin merosot.
Pada waktu yang sama, Najib juga
harus merebut hati warga Tionghoa karena begitu banyak orang-orang dari etnis
kedua terbesar di Malaysia ini yang tidak memilih Barisan Nasional dan pada
waktu yang sama, kelompok terpelajar dari etnik ini turut menyuarakan
ketidakpuasan atas pemilihan umum dengan mengganti gambar profil media sosial
mereka dengan warna hitam. Dengan tidak adanya wakil Tionghoa di barisan kabinet,
tentu koalisi Najib akan berjalan pincang, meskipun para towkay (orang
kaya) Tionghoa banyak berada di sekeliling perdana menteri.
Meskipun Anwar Ibrahim akan turun
ke Kelana Jaya untuk memprotes kecurangan, hal ini tidak akan mengubah apa-apa
karena, secara formal, Najib telah dilantik sebagai orang nomor satu. Mungkin
ayah Nurul Izzah ini tidak akan menggugat keabsahan secara radikal dan berharap
perubahan rezim, namun lebih pada politik etik, bahwa Pakatan Rakyat
berkomitmen untuk menegakkan keadilan dan transparansi. Akhirnya, kedua
petinggi ini hakikatnya sama-sama memenangi pertandingan dalam sudut yang
berbeda. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar