Kamis, 09 Mei 2013

Menimbang Kemenangan Nadjib dan Anwar


Menimbang Kemenangan Nadjib dan Anwar
Ahmad Sahidah   Dosen Filsafat dan Etika Universiti Utara Malaysia
TEMPO.CO, 08 Mei 2013


Barisan Nasional menang dengan angka yang tak cukup meyakinkan, 133 kursi, dibanding pemilu 2008 sebelumnya, 140 kursi. Padahal, jika dibandingkan dengan kepemimpinan Abdullah Badawi, Najib Tun Razak jauh lebih kuat. Tentu saja, dukungan sang mentor, Mahathir Mohammad, makin mengukuhkan kedudukan anak perdana menteri kedua negeri jiran ini. Rumor yang sebelumnya menyebar, bahwa Najib berseberangan dengan Mahathir, tak menjadi kenyataan. Dua orang kuat PERKASA—organisasi ultra-Melayu, yang berada di bawah patronase Mahathir—turut dicalonkan. Ibrahim Ali dan Zulkifli Noordin bertarung di kubu kuat PAS (Partai Islam se-Malaysia) dan PKR (Partai Keadilan Rakyat), meskipun keduanya kalah telak.

Menariknya, sementara dulu terjadi tsunami politik secara umum, pada pemilu kali ini hampir secara bulat pemilih Tionghoa mendukung Pakatan Rakyat. Semua calon Tionghoa dari MCA (Malaysia Chinese Association) yang bertarung untuk merebut tiket ke parlemen tumbang. Ini berarti tidak akan ada menteri yang akan diwakili oleh komponen koalisi dari partai yang diketuai oleh Chua Soi Lek. Sekaligus, pemilu ke-13 telah menguburkan karier politik bekas menteri kesehatan ini. Fenomena ini tentu akan mempersulit Barisan Nasional untuk menjalankan roda pemerintahan lima tahun ke depan tanpa dukungan dari kuasa politik terbesar kedua, setelah Melayu di UMNO (United Malaysian National Organization).

Boleh dikatakan, pemilu yang paling sengit dalam sejarah Malaysia ini merupakan masa keemasan DAP (Democratic Action Party). Partai yang dipimpin oleh politikus gaek, Karpal Singh, hampir berhasil menyapu bersih seluruh kursi yang diperebutkan dengan seterunya, MCA. Malah Lit Kit Siang mampu menaklukkan pesaingnya Ghani Othman, bekas gubernur Negara Bagian Johor di daerah pemilihan Gelang Patah. Jelas hal ini bukan hanya persoalan menang-kalah, tapi calon wakil rakyat Tionghoa juga bisa mengandaskan laju lawannya yang sangat kuat di basis tradisional UMNO. Meskipun Pakatan Rakyat tidak bisa merebut negara bagian ini, setidak-tidaknya ini isyarat bahwa Pekembar—nama lain UMNO—tidak lagi bisa tidur nyenyak.

Persaingan isu

Betapa pun kesejahteraan menjadi isu pokok, tapi perilaku moral tetap menggema dalam persaingan kedua kubu. Anwar Ibrahim, Ketua Umum PKR, dikatakan sebagai penyangak, orang jahat yang buruk secara moral karena kecenderungan seks tidak normal. Hampir semua media arus utama memainkan isu ini sebagai kelemahan sang calon. Sebenarnya ada banyak calon lain yang lebih bersih, seperti Hadi Awang—presiden PAS—apabila koalisi Pakatan Rakyat ingin menempatkan kadernya di kursi perdana menteri. Sementara Najib acap kali diserang dari perilaku koruptif ketika menjabat posisi elite pemerintahan.

Tak kalah sengitnya, PKR acap kali dituduh sebagai organisasi politik berhaluan kiri, yang merupakan label menjijikkan bagi orang Melayu. Warna merah pada kedua sisi bendera partai ini adalah pertanda bahwa Partai Sosialis Malaysia mendapat tempat yang berarti dalam kubu Anwar Ibrahim. Pentolan partai kiri ini, Syed Husin Ali, merupakan sahabat karib Anwar yang membantu fusi kaum sosialis ke dalam PKR. Dalam sejarah kelam komunisme di tanah Semenanjung, tentu label kiri masih menjadi momok dalam pikiran dan hati khalayak.

Dengan kekuatan media dan uang, Barisan Nasional jelas lebih bisa berbuat banyak. Menjelang hari pemilu, Najib menggelontorkan pelbagai jenis bantuan untuk rakyat. Tak hanya itu, sekolah Tionghoa dan Tamil juga mendapatkan donasi berlimpah. Dengan langkah ini, suara dari dua etnis terbesar setelah Melayu ini diharapkan akan dilimpahkan kepada Barisan Nasional. Namun politik tidak hanya menggerojok uang, tapi juga memenangkan hati rakyat. Setelah pemilu 2008, etnis Tionghoa dan India tampak lebih nyaring bersuara dan menuntut hak-hak yang lebih besar. Meskipun Barisan Nasional telah memenuhi tuntutan itu, pada pemilu kali ini mereka bergeming. Suara telah diberikan sepenuhnya kepada PR (Pakatan Rakyat).

Sedangkan PR hanya mengandalkan pemerintah negara bagian yang berada dalam kekuasaannya, seperti Selangor, Kedah, dan Kelantan. Dengan kekuasaan yang ada di tangannya, misalnya, pemerintah Negara Bagian Selangor memberikan akta pemilikan tanah kepada 108 pekebun, pemberian bantuan untuk warga tua, air gratis, serta simpanan warisan untuk anak Selangor. Hanya saja berita ini bisa dilihat di koran Sinar Harian, satu-satunya media yang netral dan dengan sendirinya turut membantu oposisi untuk memperlihatkan pada rakyat bahwa mereka mampu menunaikan janji.

Realistis

Dengan hasil di atas, akhirnya semua pihak akan kembali ke rumah masing-masing. Pergulatan meraih dukungan politik telah usai. Meskipun Anwar Ibrahim tidak puas dan akan menuntut tindakan terhadap kecurangan, seperti pemilih “hantu” (phantom voters), diharapkan tidak akan menempatkan Malaysia pada ketidakpastian. Apatah lagi, sehari setelah pilihan umum, Najib telah dilantik oleh Sultan Halim Muazzam Shah sebagai perdana menteri di Balai Rong Istana Negara Kuala Lumpur. Betapa pun, Jusuf Kalla telah berhasil menemui Anwar Ibrahim untuk menerima tawaran rekonsiliasi, ikon Reformasi tetap memilih untuk menuntut keadilan bagi rakyat.

Secara moral, Anwar Ibrahim mendapatkan dukungan lebih banyak dari warga Malaysia, yaitu 5,4 juta, dibanding Najib, yang 5,2 juta. Dengan selisih 200 ribuan dari 13.105.407 juta suara dan partisipasi pemilih sebanyak 80 persen, tentu selisih suara itu cukup besar bagi oposisi. Sayangnya, ia tidak berbuah bilangan pembagi pemilih (BPP) yang mendatangkan kursi parlemen. Adapun tantangan bagi Najib cukup besar karena, sebagai Presiden UMNO yang menjabat koordinator pemenangan Selangor, dirinya tidak bisa menumbangkan dominasi PKR, malah kursi DPRD UMNO di negara bagian terkaya di Malaysia ini makin merosot.

Pada waktu yang sama, Najib juga harus merebut hati warga Tionghoa karena begitu banyak orang-orang dari etnis kedua terbesar di Malaysia ini yang tidak memilih Barisan Nasional dan pada waktu yang sama, kelompok terpelajar dari etnik ini turut menyuarakan ketidakpuasan atas pemilihan umum dengan mengganti gambar profil media sosial mereka dengan warna hitam. Dengan tidak adanya wakil Tionghoa di barisan kabinet, tentu koalisi Najib akan berjalan pincang, meskipun para towkay (orang kaya) Tionghoa banyak berada di sekeliling perdana menteri.

Meskipun Anwar Ibrahim akan turun ke Kelana Jaya untuk memprotes kecurangan, hal ini tidak akan mengubah apa-apa karena, secara formal, Najib telah dilantik sebagai orang nomor satu. Mungkin ayah Nurul Izzah ini tidak akan menggugat keabsahan secara radikal dan berharap perubahan rezim, namun lebih pada politik etik, bahwa Pakatan Rakyat berkomitmen untuk menegakkan keadilan dan transparansi. Akhirnya, kedua petinggi ini hakikatnya sama-sama memenangi pertandingan dalam sudut yang berbeda. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar