Kamis, 09 Mei 2013

Dukungan bagi Malaysia


Dukungan bagi Malaysia
Dinna Wisnu   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 08 Mei 2013


Pada 5 Mei 2013, rakyat Malaysia berbondong-bondong bergerak ke tempat pemungutan suara. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, kali ini ada lebih banyak pemilih yang tergerak untuk mendaftarkan pilihannya atas partai yang menurut mereka layak memimpin Malaysia lima tahun ke depan. Dengan jumlah pemilih yang “hanya” sekitar 13 juta orang, penghitungan suara dikebut semalam. Sekitar pukul 4 pagi keesokan harinya, 80% suara selesai dihitung dan tampak bahwa koalisi partai berkuasa, yakni Barisan Nasional, kembali meraih suara mayoritas. Pemilu Malaysia kali ini layak mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan aktivis demokrasi di Indonesia maupun ASEAN karena dua hal. 

Pertama karena rakyat Malaysia terlihat memantapkan diri menuju suatu perubahan pola dalam berpolitik. Tujuan menjaga stabilitas politik yang biasanya “laku dijual” oleh Barisan Nasional (koalisi partai yang sudah berkuasa 56 tahun atau sejak Malaysia berdiri) kini kurang menarik bagi 40% warga Malaysia. Akibatnya, margin kemenangan Barisan Nasional menipis terus sejak Pemilu 2004, yakni dari 198 kursi di tahun itu menjadi 140 kursi dalam Pemilu 2008 dan sekarang 133 kursi saja di parlemen. 

Dapat dibayangkan, dengan kondisi seperti ini partai-partai dari kelompok oposisi akan makin besar rasa percaya dirinya untuk menekan keputusan-keputusan Barisan Nasional di parlemen. Politik “adem-ayem” yang selama ini menjadi karakter politik Malaysia akan berubah lebih dinamis, tetapi jika salah langkah bisa juga terjerumus dalam perseteruan yang menimbulkan kebuntuan (deadlock) dalam pengambilan keputusan. 

Kedua karena pihak oposisi Pakatan Rakyat yang dimotori Anwar Ibrahim gigih ingin mereformasi sejumlah hal di dalam negeri agar prospek kemenangan partai-partai non-Barisan Nasional akan lebih besar lagi dalam pemilu berikutnya. Anwar bertekad menuntut keadilan bagi sejumlah kecurangan yang ia sinyalir dilakukan oknum Barisan Nasional selama pemilu, mengubah sistem pemilu di Malaysia, dan mendobrak dasar kebijakan berbasis ras yang selama ini dilanggengkan di negeri jiran ini. Akibatnya, publik di Malaysia dalam kondisi tegang. 

Pihak-pihak yang terusik melancarkan gerakan perlawanan, sementara pihak oposisi terlihat bulat tekad untuk memobilisasi massa demi menumbangkan kredibilitas Barisan Nasional. Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad sampai melontarkan pernyataan bahwa Perdana Menteri Nadjib harus mempertanggungjawabkan kekisruhan yang mengganggu kelancaran program-program Barisan Nasional ini dengan mundur di akhir tahun ini. Artinya mosi tak percaya kepada Perdana Menteri Nadjib sudah terlontar. 

Bagi pelaku politik dan aktivis di Indonesia, kondisi yang dialami Malaysia ini sesungguhnya bukan hal asing. Kondisi pascapemilu adalah kondisi yang rentan kericuhan, bahkan kekerasan. Jika pihak yang kalah dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada, tercapailah tujuan praktis dari suatu demokrasi, yakni transisi kekuasaan secara damai di mana rakyat berpartisipasi menentukan pilihan atas pimpinan politik di negerinya. 

Tapi kalau pihak yang kalah menggugat dengan cara-cara yang menyiratkan “toleransi” pada cara-cara yang tidak santun dan di luar jalur hukum, wibawa pemerintah akan ambruk. Di satu sisi, jika hal ini sampai terjadi, tujuan pihak oposisi untuk mendiskreditkan Perdana Menteri akan tercapai, tetapi di sisi lain wibawa aparatur negara juga akan terkorbankan, padahal kepatuhan akan hukum (rule of law) adalah syarat penting dalam berdemokrasi. Demokrasi tanpa kepatuhan pada hukum adalah sia-sia. Sama halnya dengan pihak berkuasa, yakni Barisan Nasional. 

Bila mereka pongah atas kemenangan ini dan menganggap kemenangannya sebagai lampu hijau untuk menekan pihak oposisi dengan cara-cara yang tidak santun, kepercayaan masyarakat pada kemampuan aparatur negara dalam menjaga keadilan akan rontok. Dengan kemenangan yang tipis seperti ini, sikap seperti itu justru akan menjadi bumerang bagi Barisan Nasional. 

Di sini saya ingin memberi catatan bahwa Malaysia sedang berada dalam titik kritis berpolitik. Tak usah heran jika kemudian Malaysia (pemerintah maupun politisi dan publiknya) memilih untuk bersikap inward looking (fokus pada urusan dalam negeri) selama lima tahun mendatang. Bagi Indonesia, kita perlu memberi dukungan kepada Malaysia sebagai berikut. Pertama dengan mendorong kontak people-to-people(orang ke orang) antara Indonesia dan Malaysia, khususnya orang-orang yang berpengalaman mengawal demokrasi secara damai. 

Mendampingi proses reformasi sistem pemilu, mengembangkan liputan media yang berimbang, dan membangun komunitas-komunitas masyarakat sipil yang lintasras. Pointerakhirinisangat dibutuhkan oleh Malaysia. Jika Malaysia terus berkutat dengan pembentukan kelompok-kelompok atas dasar ras, mustahil akan terjadi dialog damai antarkelompok. Perdebatan akan selalu didasarkan kecurigaan pada diskriminasi atas dasar ras dan ini tidak sehat bagi demokrasi. Jika ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, perasaan diperlakukan tidak adil ini dapat menyulut kekerasan fisik, apalagi karena identitas ras adalah bawaan lahir yang tidak bisa diubah. 

Untuk itu Malaysia perlu digugah untuk berdialog atas dasar kepentingan bersama sebagai suatu bangsa, bukan sebagai kelompok ras. Kedua, dukungan dari Indonesia yang tak kalah penting adalah pendekatan pribadi kepada tokoh-tokoh politik yang dominan di Malaysia. Dalam pergerakan Malaysia menuju demokrasi yang “lebih tulen”, Indonesia perlu kenal dengan semua pihak yang berkiprah dalam politik di sana. Tak cukup lagi kita sekadar kenal dengan tokoh-tokoh di tiga partai terbesar di Barisan Nasional (UMNO, MIC, MCA) dan Anwar Ibrahim. 

Naiknya sejumlah tokoh muda dan penggerak kelompok bisnis keturunan Tionghoa di Malaysia perlu dicermati juga dan mereka perlu kita kenal sejak dini. Malaysia adalah salah satu mitra penting dalam menjaga keutuhan ASEAN. Jadi sesibuksibuknya Malaysia di dalam negeri, kita perlu mengingatkan mereka untuk tak lupa merawat kerja sama dengan negara-negara kawasan. 

Kinerja ekonomi Malaysia yang baik adalah modal besar untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di kawasan, termasuk juga untuk menjaga daya tarik investasi asing ke kawasan Asia Tenggara. Jangan sampai semua ini terganggu karena reformasi politik di dalam negeri Malaysia. Bagi ASEAN, dukungan bagi Malaysia dapat diwujudkan dalam bentuk penghargaan atas perkembangan demokrasi di sana. Keterbukaan Malaysia dalam mengajak 35 orang pengawas pemilu asing dari 5 negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Filipina, Myanmar, dan Kamboja) perlu ditingkatkan. 

Para saksi ini perlu mengembangkan dialog-dialog informal dengan politisi dari pihak Barisan Nasional maupun pihak Pakatan Rakyat agar upaya-upaya reformasi sistem pemilu di Malaysia berjalan lebih mulus tanpa gesekan fisik antarpara pendukung partai di tingkat akar rumput. Pihak AICHR (Komisi Antarpemerintah ASEAN Bidang Hak Asasi Manusia) perlu lebih proaktif mendokumentasikan, menganalisis, dan mencarikan jalan keluar bagi keluhankeluhan dari pihak oposisi Pakatan Rakyat. 

Sejumlah bukti diskriminasi atas dasar ras, gender, bahkan intimidasi yang dialami aktivis gerakan Bersih sebagaimana dilansir sejumlah media asing perlu ditelusuri lebih lanjut. Karena Malaysia belum punya pengalaman menangani keluhan-keluhan berbasis HAM seperti ini, bantuan ASEAN adalah hal yang wajar dan tak bisa dikategorikan mencam-puri urusan dalam negeri. Toh AICHR dibentuk atas persetujuan Malaysia juga. 

Singkat kata, pengalaman pemilu Malaysia tahun 2013 ini adalah kasus penting yang butuh pendampingan khusus dari Indonesia maupun ASEAN. Jika memang cita-cita Indonesia adalah dikenal sebagai negara pendukung demokrasi yang tak suka menggurui tetapi memberi contoh melalui jalur diplomasi yang elegan, inilah momen yang tepat untuk melakukan hal itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar