|
SINAR HARAPAN, 08 Mei 2013
Pedagang
kaki lima atau biasa disebut PKL kerap dipandang sinis sebagai biang keladi
kemacetan lalu lintas, kekumuhan, dan perusak keindahan kota.
Upaya
penataan ruang kota dan penertiban PKL yang dilakukan oleh pemerintah
provinsi/kabupaten/kota di berbagai wilayah Tanah Air kerap berbuntut bentrok
fisik antara PKL dan Satpol PP.
Di
Jakarta, sebagai pengemban, pengawal, dan penegak Peraturan Daerah (Perda) No
8/2007 tentang Ketertiban Umum, Satpol PP acap dituding arogan dan anti-PKL.
Krusialnya,
perda ini terlanjut memberi mandat penuh pada Satpol PP untuk menjaga dan
melindungi sarana dan prasarana kota, termasuk fasilitas sosial/fasilitas umum,
seperti ruang terbuka hijau, taman, jalan, trotoar, halte, atau jembatan
penyeberangan dari berbagai bentuk pelanggaran.
Problemnya,
PKL dan sektor informal adalah entitas yang kerap menggunakan sarana kota dan
fasilitas umum untuk mengais rezeki. Data BPS per Februari 2010 menyebut,
tak kurang dari 105.687 orang Indonesia yang bekerja/mencari nafkah di sektor
ini. Sementara itu menurut Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) DKI
Jakarta, jumlah PKL di DKI Jakarta pada 2010 mencapai 422.712 orang.
Padahal,
salah satu jantung persoalan yang terus menghantui pemerintah pusat dan daerah,
termasuk pemerintah Jakarta, adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan hidup
warganya. Di Jakarta, laju angka kemiskinan meningkat 3,75 persen, dari 312.000
orang pada 2010 menjadi 363.000 orang pada 2010 (BPS, 2011).
Sementara
jumlah penganggur absolut di Jakarta juga meningkat 23.800 orang, dari 542.710
orang pada Februari 2011 menjadi 566.510 orang pada Februari 2012 (BPS, 2012).
Ruang
Kota Jakarta masih berorientasi fisik dan tak berpihak pada PKL, sektor
informal, dan kaum miskin kota. Penyusutan ruang terbuka hijau (RTH) dalam
masterplan DKI Jakarta misalnya, dari 27,6 persen (1965-1985) menjadi 13 persen
(2000-2010) menunjukkan telah terjadi alih fungsi RTH secara besar-besaran.
Alih
fungsi RTH ternyata lebih banyak digunakan untuk pembangunan apartemen di
wilayah selatan Jakarta, hutan kota di Cibubur dikonversi menjadi pembangunan
kawasan komersial, dan sekitar 250 taman di berbagai titik Jakarta telah
beralih fungsi menjadi SPBU. Jadilah ruang kota Jakarta dikuasai oleh kelas
pemodal, sementara PKL, sektor informal, dan rakyat miskin terus digusur,
direlokasi, dan dipinggirkan.
Di
Indonesia, rencana induk tata ruang (masterplan)
kota hanya alat untuk mencapai tujuan pembangunan, bukan konsep untuk
memecahkan masalah yang mendasar, yakni mencapai kesejahteraan masyarakat kota.
Masterplan kerap berhenti pada urusan
land use planning yang tak realistis
dan sering bias, kendati Undang-Undang Penataan Ruang No 26/2007 telah
memasukkan pentingnya sektor informal di perkotaan.
Studi
Ananya Roy dan Nezar Alsayyad (Urban
Informality: Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America and
South Asia, 2004) menunjukkan logika konsep informalitas perkotaan sebagai
proses transformasi perkotaan, yang tidak terpisah dalam struktur ekonomi
masyarakat kota, karena informalitas adalah suatu moda urbanisasi yang
menghubungkan berbagai kegiatan di ruang ekonomi perkotaan.
Transformasi
Informal
Problem
PKL di Indonesia umumnya disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi
aktivitas sektor ini. Konsep perencanaan kota yang tidak didasari oleh
pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem
perkotaan potensial mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal seperti
PKL (Deden Rukmana, 2009).
Fenomena
PKL yang muncul di perkotaan di Indonesia seyogianya dipahami dalam konteks
transformasi informalitas perkotaan ini. Aplikasi konsep informalitas perkotaan
dalam praktik perencanaan kota tentu akan mengalokasi lebih banyak ruang bagi
PKL dan mengintegrasikannya dengan sektor formal sebagai bagian dari
informalitas kota.
Kita
bisa merujuk pada berbagai kasus. Pemerintah Kota Liverpool, misalnya, menyusun
perencanaan kota untuk mendukung perluasan lapangan kerja, dengan menyiapkan
zona bebas bagi pedagang informal. Demikian pula di Kota Madras (India) atau di
Hong Kong (China).
Perencanaan
kota di ketiga kota itu ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan warga kota,
sementara rencana fisik kota ditempatkan di urutan kedua (Saratri Wilonoyudho, 2008).
Di
Brasil, penataan ruang Kota Porto Alegre dilakukan dengan pendekatan
partisipatif melalui diskusi yang melibatkan warga untuk menggali dan memecahkan
masalah kota.
Tak
hanya dalam perencanaan kota, pemerintah kota Porto Alerge juga mengajak warga
kota dalam menentukan alokasi untuk APBD. Hasilnya, perencanaan dan
penganggaran kota Porto Alerge dibuat dengan model “APBD partisipatif”.
Di
Jakarta, ruang kota telah menutup akses warga miskin dari “madu pembangunan”.
Sementara itu perencanaan kota begitu luas memberi fasilitas pada kelas pemodal
dan kelompok sejahtera. Marginalisasi PKL dan kolompok miskin Jakarta kian
menjauhkan entitas ini untuk menerima manfaat dari hasil pembangunan Jakarta.
Seperti
ditegaskan oleh Alan H Peters dan Peter S Fisher dalam State Enterprise Zone Programs (2002), negara harus memberi
penegasan sekaligus perlindungan akses yang adil bagi semua kelompok warga
negara dalam menikmati hasil-hasil pembangunan.
Manakala
pemerintah Jakarta tak pernah punya keberanian moral dan kemauan poltiik untuk
merombak konsep ruang kota yang kejam bagi PKL, sektor informal, dan kaum
miskin kota, birokrasi Jakarta sesungguhnya tak punya iktikad serius untuk
mewujudkan moto “Jakarta Baru” yang menjadi tema utama kampanye Jokowi-Ahok
beberapa waktu lalu.
Secara
normatif, UU Penataan Ruang No 26/2007 sesungguhnya juga telah memasukkan
pentingnya sektor informal dalam konteks penataan kota. Namum, implementasi
produk hukum ini masih lemah. Perwujudan konkret dari UU ini dan pemahaman
birokrasi Jakarta atas konsep informalitas perkotaan akan lebih menjamin
ketersediaan ruang usaha bagi PKL.
Sebagai
barometer politik nasional, Jakarta pasti tak ingin disebut sebagai kota kumuh,
yang tiap detiknya harus menyaksikan sebagian warganya yang bergulat di sektor
informal terus-menerus mengais rezeki recehan di tengah terik matahari,
ingar-bingar trotoar jalan, sempitnya jembatan penyeberangan, atau pengapnya
kolong jembatan.
Padahal,
jika pemerintah Jakarta punya komitmen kuat untuk menata, membina, dan
mengintegrasi sektor informal ke dalam kebijakan ruang kota yang visioner dan
komprehensif, PKL dan sektor informal bisa tumbuh dan berkembang secara
optimal, bahkan bisa menjadi bagian dari keindahan dan wisata kota.
Yang
pasti, tanpa upaya serius pemerintah Jakarta dalam melindungi eksistensi PKL
dan sektor informal, kecil kemungkinan jenis usaha yang menopang hajat hidup
sebagian warga Jakarta ini bisa bertahan di tengah tata ruang kota yang makin
pro modal serta iklim usaha yang kian kompetitif dan tak toleran pada pedagang
kecil semacam PKL. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar