Kamis, 09 Mei 2013

Ruang Kota bagi PKL


Ruang Kota bagi PKL
Launa   Dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia
SINAR HARAPAN, 08 Mei 2013



Pedagang kaki lima atau biasa disebut PKL kerap dipandang sinis sebagai biang keladi kemacetan lalu lintas, kekumuhan, dan perusak keindahan kota.

Upaya penataan ruang kota dan penertiban PKL yang dilakukan oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota di berbagai wilayah Tanah Air kerap berbuntut bentrok fisik antara PKL dan Satpol PP.
Di Jakarta, sebagai pengemban, pengawal, dan penegak Peraturan Daerah (Perda) No 8/2007 tentang Ketertiban Umum, Satpol PP acap dituding arogan dan anti-PKL.

Krusialnya, perda ini terlanjut memberi mandat penuh pada Satpol PP untuk menjaga dan melindungi sarana dan prasarana kota, termasuk fasilitas sosial/fasilitas umum, seperti ruang terbuka hijau, taman, jalan, trotoar, halte, atau jembatan penyeberangan dari berbagai bentuk pelanggaran.

Problemnya, PKL dan sektor informal adalah entitas yang kerap menggunakan sarana kota dan fasilitas umum untuk mengais rezeki. Data BPS per Februari 2010 menyebut, tak kurang dari 105.687 orang Indonesia yang bekerja/mencari nafkah di sektor ini. Sementara itu menurut Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) DKI Jakarta, jumlah PKL di DKI Jakarta pada 2010 mencapai 422.712 orang.

Padahal, salah satu jantung persoalan yang terus menghantui pemerintah pusat dan daerah, termasuk pemerintah Jakarta, adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan hidup warganya. Di Jakarta, laju angka kemiskinan meningkat 3,75 persen, dari 312.000 orang pada 2010 menjadi 363.000 orang pada 2010 (BPS, 2011).

Sementara jumlah penganggur absolut di Jakarta juga meningkat 23.800 orang, dari 542.710 orang pada Februari 2011 menjadi 566.510 orang pada Februari 2012 (BPS, 2012).

Ruang Kota Jakarta masih berorientasi fisik dan tak berpihak pada PKL, sektor informal, dan kaum miskin kota. Penyusutan ruang terbuka hijau (RTH) dalam masterplan DKI Jakarta misalnya, dari 27,6 persen (1965-1985) menjadi 13 persen (2000-2010) menunjukkan telah terjadi alih fungsi RTH secara besar-besaran.

Alih fungsi RTH ternyata lebih banyak digunakan untuk pembangunan apartemen di wilayah selatan Jakarta, hutan kota di Cibubur dikonversi menjadi pembangunan kawasan komersial, dan sekitar 250 taman di berbagai titik Jakarta telah beralih fungsi menjadi SPBU. Jadilah ruang kota Jakarta dikuasai oleh kelas pemodal, sementara PKL, sektor informal, dan rakyat miskin terus digusur, direlokasi, dan dipinggirkan.

Di Indonesia, rencana induk tata ruang (masterplan) kota hanya alat untuk mencapai tujuan pembangunan, bukan konsep untuk memecahkan masalah yang mendasar, yakni mencapai kesejahteraan masyarakat kota. Masterplan kerap berhenti pada urusan land use planning yang tak realistis dan sering bias, kendati Undang-Undang Penataan Ruang No 26/2007 telah memasukkan pentingnya sektor informal di perkotaan.

Studi Ananya Roy dan Nezar Alsayyad (Urban Informality: Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America and South Asia, 2004) menunjukkan logika konsep informalitas perkotaan sebagai proses transformasi perkotaan, yang tidak terpisah dalam struktur ekonomi masyarakat kota, karena informalitas adalah suatu moda urbanisasi yang menghubungkan berbagai kegiatan di ruang ekonomi perkotaan.

Transformasi Informal

Problem PKL di Indonesia umumnya disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi aktivitas sektor ini. Konsep perencanaan kota yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan potensial mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal seperti PKL (Deden Rukmana, 2009).

Fenomena PKL yang muncul di perkotaan di Indonesia seyogianya dipahami dalam konteks transformasi informalitas perkotaan ini. Aplikasi konsep informalitas perkotaan dalam praktik perencanaan kota tentu akan mengalokasi lebih banyak ruang bagi PKL dan mengintegrasikannya dengan sektor formal sebagai bagian dari informalitas kota.

Kita bisa merujuk pada berbagai kasus. Pemerintah Kota Liverpool, misalnya, menyusun perencanaan kota untuk mendukung perluasan lapangan kerja, dengan menyiapkan zona bebas bagi pedagang informal. Demikian pula di Kota Madras (India) atau di Hong Kong (China).

Perencanaan kota di ketiga kota itu ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan warga kota, sementara rencana fisik kota ditempatkan di urutan kedua (Saratri Wilonoyudho, 2008).

Di Brasil, penataan ruang Kota Porto Alegre dilakukan dengan pendekatan partisipatif melalui diskusi yang melibatkan warga untuk menggali dan memecahkan masalah kota.

Tak hanya dalam perencanaan kota, pemerintah kota Porto Alerge juga mengajak warga kota dalam menentukan alokasi untuk APBD. Hasilnya, perencanaan dan penganggaran kota Porto Alerge dibuat dengan model “APBD partisipatif”.

Di Jakarta, ruang kota telah menutup akses warga miskin dari “madu pembangunan”. Sementara itu perencanaan kota begitu luas memberi fasilitas pada kelas pemodal dan kelompok sejahtera. Marginalisasi PKL dan kolompok miskin Jakarta kian menjauhkan entitas ini untuk menerima manfaat dari hasil pembangunan Jakarta.

Seperti ditegaskan oleh Alan H Peters dan Peter S Fisher dalam State Enterprise Zone Programs (2002), negara harus memberi penegasan sekaligus perlindungan akses yang adil bagi semua kelompok warga negara dalam menikmati hasil-hasil pembangunan.

Manakala pemerintah Jakarta tak pernah punya keberanian moral dan kemauan poltiik untuk merombak konsep ruang kota yang kejam bagi PKL, sektor informal, dan kaum miskin kota, birokrasi Jakarta sesungguhnya tak punya iktikad serius untuk mewujudkan moto “Jakarta Baru” yang menjadi tema utama kampanye Jokowi-Ahok beberapa waktu lalu.

Secara normatif, UU Penataan Ruang No 26/2007 sesungguhnya juga telah memasukkan pentingnya sektor informal dalam konteks penataan kota. Namum, implementasi produk hukum ini masih lemah. Perwujudan konkret dari UU ini dan pemahaman birokrasi Jakarta atas konsep informalitas perkotaan akan lebih menjamin ketersediaan ruang usaha bagi PKL.

Sebagai barometer politik nasional, Jakarta pasti tak ingin disebut sebagai kota kumuh, yang tiap detiknya harus menyaksikan sebagian warganya yang bergulat di sektor informal terus-menerus mengais rezeki recehan di tengah terik matahari, ingar-bingar trotoar jalan, sempitnya jembatan penyeberangan, atau pengapnya kolong jembatan.

Padahal, jika pemerintah Jakarta punya komitmen kuat untuk menata, membina, dan mengintegrasi sektor informal ke dalam kebijakan ruang kota yang visioner dan komprehensif, PKL dan sektor informal bisa tumbuh dan berkembang secara optimal, bahkan bisa menjadi bagian dari keindahan dan wisata kota.

Yang pasti, tanpa upaya serius pemerintah Jakarta dalam melindungi eksistensi PKL dan sektor informal, kecil kemungkinan jenis usaha yang menopang hajat hidup sebagian warga Jakarta ini bisa bertahan di tengah tata ruang kota yang makin pro modal serta iklim usaha yang kian kompetitif dan tak toleran pada pedagang kecil semacam PKL.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar