Senin, 20 Mei 2013

Hari Kebangkitan Nasional


Hari Kebangkitan Nasional
Daoed Joesoef ;  Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
KOMPAS, 20 Mei 2013

Jika katak tercemplung ke dalam baskom berisi air mendidih, langsung melompat ke luar, maka ia selamat. Jika tercemplung ke dalam baskom berisi air dingin dan air berangsur-angsur dipanaskan, ia akan tetap berenang ria di baskom, merasa kebutuhan alaminya diperhatikan, sampai akhirnya mati sebagai rebusan konyol, sebab ketika sadar bahwa air semakin mendidih, ia tidak kuasa lagi melompat ke luar dari baskom karena kekuatannya sudah habis dikuras gerakan renang ria.

Nasib kita akan sama dengan keadaan katak dalam kasus kedua itu, terbuai oleh kekeliruan dari kebijakan penguasa negeri di hampir semua bidang kehidupan. Dampak kekeliruan itu mudah dipahami dalam konteks suhu yang berangsur-angsur memanas. Ia tak begitu tragis dari hari ke hari, tetapi beda antara prareformasi dan pascareformasi, bahkan antara sekarang dan masa depan, sungguh tragis.

Sisa-sisa kesadaran

Maka, mari bangkit di Hari Kebangkitan Nasional. Sebelum terlambat kumpulkan sisa-sisa kesadaran, jangan terus dibuai angka-angka tipuan yang meluncur dari mulut pemerintah, bahkan elite politik tak segan pakai atribut agama sebagai bungkus kebohongan. Ya ampun, lies, damned lies and income statistics alias GNP!

Tanggal 20 Mei diresmikan jadi Hari Kebangkitan Nasional berhubung pada hari itu, di tahun 1908, dibentuk organisasi Budi Utomo, dipelopori beberapa pemuda terdidik, antara lain R Soetomo dan R Goenawan Mangoenkoesoemo. Organi- sasi ini lahir sebagai hasil perpaduan antara semangat nasional dalam menentang penjajah dan kesadaran intelektual tentang kemajuan nasional melalui pengembangan pendidikan dan kebudayaan. Dari sepak terjangnya, jelas bahwa para pemuda terdidik dan tercerahkan itu mengarahkan pikiran dan perbuatan mereka secara organisatoris ke masa depan, satu masa depan yang bermuara pada pembentukan satu negara-bangsa.

Kita perlu bangkit bersama sebab (hendaknya) menyadari bahwa kita berada dalam satu perlombaan antara kesanggupan human yang terbatas dan bahaya yang kian meningkat dari lingkungan fisik dan teknologis. Saban kali kita mengintroduksi sistem, metode kerja, alat atau paradigma baru, saban kali kita mengadakan pembaruan kelembagaan atau keorganisasian, saban kali itu pula kita sebenarnya membuat lingkungan kita semakin kompleks.

Cara apa pun yang kita pakai menghadapi situasi seperti itu, terang kita masih jauh dari batas biologis, tetapi saya khawatir kita sudah membentur batas psikologis yang ada. Namun, ”masa depan” tetap jadi acuan berpikir dan bertindak. Perlu disadari bahwa ia tak dapat diramalkan atau diketahui secara tepat sebelumnya dengan menggunakan bola kristal apa pun.

Masa depan itu sulit diramalkan, mungkin karena masa depan itu tak kita siapkan dengan baik sejak sekarang. Maka, sikap logis yang harus kita ambil menghadapi masa depan bukan meramalkannya, melainkan membangunnya secara metodis dan sistematis melalui rangkaian kebijakan yang dilancarkan berturut-turut, berkesinambungan, demi terciptanya masa depan yang didambakan dan mencegah masa depan yang tidak dikehendaki.

Salah satu kebijakan pokok pemerintah demi membangun masa depan itu adalah kebijakan pendidikan dan kebudayaan, sebab salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan itu berupa kemajuan dan intelegensi manusia, dua unsur yang merupakan tugas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan par excellence untuk mengembangkannya di kalangan warga negara kita. Namun, sudah rahasia umum betapa kementerian ini tak menjalankan fungsinya sesuai dengan yang diharapkan, yaitu ideal kemerdekaan nasional dan termaktub dalam UUD 1945.

Nyaris semua konsep yang mendasari kebijakan kementerian ini ditolak Mahkamah Konstitusi. Berarti yang diporakporandakan oleh kebijakan pendidikan pemerintah adalah merusak masa depan melalui kebingungan yang ditimbulkannya di kalangan para peserta didik.

Tiga konsep

Pembangunan masa depan melalui kegiatan pendidikan dan kebudayaan tak hanya bertujuan menempa kemampuan anggota masyarakat membangun dirinya secara individual. Pendidikan dan pengembangan kebudayaan harus mampu memantapkan kesatuan sosial terhadap mana kita hendak hubungkan usaha pembangunan itu.

Setiap kali kita melangkah ke masa depan ketika bertekad membangun masa depan, kita tak boleh lupa berpaling sejenak ke masa lalu karena ia dalam dirinya merupakan koordinat yang mengingatkan apakah gerakan kita ke masa depan itu sudah melenceng atau tidak. Berarti kita, terutama para pengambil keputusan, perlu membaca sejarah perjuangan nasional kita yang serba unik.

Jadi, kesadaran yang kita bangkitkan di Hari Kebangkitan Nasional kita pakai untuk membenahi paling sedikit tiga konsep. Pertama, konsep pembangunan pendidikan dan kebudayaan selaku jalur pokok pemerataan dalam proses pembangunan negara-bangsa. Melalui pemerataan pendidikan, kita berupaya agar setiap warga negara, di mana pun dia berada, dapat memiliki kemampuan yang diperlukan guna berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan, tidak hanya sebagai penonton.

Kedua, konsep pembangunan nasional selaku pengukuh tekad berbangsa. Bangsa pada asasnya adalah tekad hidup bersama. Jadi ia bukan menyatakan suatu fakta mapan, tidak pernah in actu, tetapi selalu in potentia. Dengan kata lain, ”bangsa” bu- kan menarasikan keadaan, melainkan suatu kemauan untuk bergerak bersama- sama, suatu usaha kolektif, yang bagi kita berupa ”pembangunan nasional”.

Ketiga, konsep pembangunan pertahanan dan keamanan nasional, guna menjaga apa-apa yang sudah kita peroleh dari pembangunan dan mempertahankan eksistensi kita selaku negara-bangsa maritim yang berposisi strategis, di antara dua benua dan dua samudra. Kita tidak boleh lenyap dari peta negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat di muka bumi.

Konsep itu diniscayakan karena ketiga jenis pembangunan tadi perlu bersinergi demi wujudnya masa depan yang kita dambakan sejak zaman prakemerdekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar