Jumat, 17 Mei 2013

Menggugat Urgensi RUU Pertanahan


Menggugat Urgensi RUU Pertanahan
Usep Setiawan Anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria
KOMPAS, 17 Mei 2013


Wajah agraria Indonesia diwarnai ketimpangan yang memiskinkan, mengerasnya konflik, dan rusaknya lingkungan yang membuahkan bencana.

Masalah agraria yang kronis meliputi seluruh sektor dan semua wilayah. Buruknya rupa agraria Indonesia dibentuk akibat kelakuan instansi/aparat pemerintah, serta bisnis dan preman dari skala global sampai lokal. Cakupan area yang diperebutkan jutaan hektar. Di tengah karut-marut wajah agraria, pemerintah dan DPR tengah menyusun RUU Pertanahan.

Disadari, UU Pokok Agraria (UUPA) 1960 baru mengatur hal prinsip dan pokok sehingga perlu operasionalisasi khusus di bidang pertanahan. Di sisi lain, banyak UU tak sejalan dengan semangat UUPA karena kuatnya egosektoralisme birokrasi dalam pengelolaan kekayaan alam.

Lantas, apa relevansi RUU Pertanahan? Ketimpangan agraria, konflik agraria, dan kerusakan lingkungan menanti jawaban. Oleh karena itu, ada tiga paham (isme) yang harus dibendung: kapitalisme, liberalisme, dan sektoralisme. Ketiga ”isme” itu menempatkan tanah sebagai komoditas obyek spekulasi. Juga menjadikan rakyat sebagai buruh di atas tanahnya sendiri, memuja kebebasan pasar, menggerus peran negara sebagai pengelola urusan rakyat banyak, dan menjadikan setiap sektor sebagai obyek ekstraksi dan eksploitasi demi akumulasi kapital besar.

Lima agenda utama

Sejumlah prinsip mestinya melandasi RUU Pertanahan. Di antaranya, tanah sebagai sumber keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat; pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah individu dan badan usaha; larangan monopoli dan eksploitasi yang berlebihan; dan keharusan menggunakan tanah untuk keberlanjutan layanan alam.

Sekurang-kurangnya ada lima agenda strategis yang harus diutamakan. Pertama, penataan struktur agraria untuk mengakhiri ketimpangan. Ditetapkan konsep, pengertian, maksud, dan tujuan land reform. Dipastikan juga obyek dan subyek, serta mekanisme dan kelembagaan land reform. Tak kalah penting, diatur soal pembiayaan dan kerangka waktu pelaksanaan land reform.

Kedua, penanganan sengketa dan konflik pertanahan. RUU ini mesti memberikan pemaknaan sengketa dan konflik pertanahan secara jelas dan utuh. Penting juga diatur prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik pertanahan. Ketiga, pengakuan dan penguatan hak-hak masyarakat adat. Perlu diatur pemetaan wilayah/tanah dan subyek/komunitas masyarakat adat. Dibuat juga mekanisme pendaftaran dan pengakuan wilayah kuasa dan pengelolaan masyarakat adat. Ditetapkan kebijakan penguatan hak dan pemajuan sosial ekonomi masyarakat adat dalam pengelolaan tanah dan kekayaan alam.

Keempat, perlindungan dan pemberdayaan petani penggarap. Perlu diatur identifikasi kelompok/organisasi, serta pembentukan dan pengembangan kelembagaan petani. Perlu mekanisme pengadaan tanah bagi petani miskin, misalnya melalui redistribusi. Perlu penyediaan berbagai sarana pendukung untuk pengusahaan tanah serta membuka jalan penataan produksi dan pemasaran produk pertanian.

Kelima, sinkronisasi dan harmonisasi dengan regulasi lain dengan memosisikan UUPA sebagai rujukan. Secara substantif dan strategis, pertanahan harus ditempatkan sebagai matrik dasar keagrariaan. RUU Pertanahan idealnya menjadi simpul regulasi sektoral sehingga UU lain dan regulasi di bawah UU menyesuaikan dengan isi UU Pertanahan. Kelembagaan agraria pun ditata ulang, misalnya menghidupkan kembali Kementerian Agraria.

RUU Pertanahan perlu jika diletakkan dalam konteks pelaksanaan Ketetapan MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Semangat utama regulasi pertanahan harus memperkuat hak rakyat atas tanah.

Operasionalkan UUPA

RUU Pertanahan harus menjadi bagian dari solusi, bukan masalah baru. Perlu juga disinergikan inisiatif DPR yang juga tengah menyusun RUU Pertanahan dengan agenda-agenda legislasi terkait, seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan RUU Desa. Agar RUU Pertanahan mengakomodasi suara masyarakat banyak, konsultasi publik penting digencarkan. Legislasi pertanahan harus menjadi karpet merah bagi keadilan agraria. Jika sebaliknya, RUU ini layak ditolak sebelum telanjur disahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar