Jumat, 17 Mei 2013

C e n t e n g


C e n t e n g
Sunaryono Basuki Ks  Sastrawan, Tinggal di Singaraja
KOMPAS, 17 Mei 2013


Pabrik penggorengan di Tangerang menggegerkan media lantaran diduga melakukan perbudakan manusia. Sang majikan melalui para centengnya memaksa para buruh bekerja dari pukul enam pagi sampai pukul sepuluh malam. Kata centeng yang sempat tenggelam, ditenggelamkan oleh kata satpam atau security, tiba-tiba muncul kembali ke permukaan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat menjelaskan centeng sebagai nomina, yang artinya ’penjaga rumah, pabrik, gudang, dan sebagainya pada waktu malam dan sebagainya’, ’mandor di tanah partikelir’, ’tukang pukul bayaran’, dan ’pengawas pada penjualan candu’.

Centeng yang sekarang fungsinya diambil alih oleh satpam atau petugas security mempunyai konotasi 
menyeramkan. Satpam atau petugas security, meski dilatih oleh lembaga kepolisian negara, tidak membawa kesan menyeramkan; padahal mereka dilatih secara ketat dan keras oleh polisi sungguhan, biasanya dilakukan di Sekolah Polisi Negara (SPN). Mereka diwajibkan lari pagi sebelum matahari terbit, lalu kembali ke SPN, makan pagi dan berlatih cukup berat seharian, baik teori maupun praktik. Sementara itu, berlatih untuk menjadi centeng biasanya dikaitkan dengan berlatih pencak silat dalam kostum hitam-hitam.
Mungkin centeng dikaitkan dengan bahasa dan budaya Betawi, kebetulan peristiwa di pabrik penggorengan tersebut terjadi di Tangerang, yang dapat dikatakan sebagai wilayah Betawi.

Di Jawa Timur, saya kira tidak dikenal istilah centeng. Mereka mengenal kata mandor, seperti mandor pabrik, mandor tebu, tetapi bukan centeng pabrik atau centeng tebu. Akan hal sosoknya, ya, sama saja: centeng dan mandor sama-sama bertugas mengawasi sejumlah orang atau sejumlah pekerjaan.

Di dalam bahasa Bali tidak ada kata centeng dengan makna seperti di atas, tetapi ada kata mandor. Kata kerja ngamandorin bermakna ’bertugas sebagai mandor’. Sementara kata centeng dijelaskan sebagai nomina yang artinya ’bunyi teng seperti besi dipukul’, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan centeng dalam bahasa Betawi.

Uniknya, di dalam Kamus Using-Indonesia susunan Hasan Ali yang diterbitkan Dewan Kesenian Blambangan (2002), kata centheng juga dijelaskan sebagai tiruan bunyi ”teng”, seperti pada kaleng yang dipukul dengan palu, persis sama seperti kata tersebut di dalam bahasa Bali. Maklumlah, bahasa Bali dan bahasa Using masih berkerabat. Tidak ada kata centheng yang mengacu pada mandor. Kosakata mandor ditulis mandhor dan mandhoran bermakna rumah atau perumahan bagi para mandor.

Saya malah tidak tahu apakah di Jawa Tengah ditemukan kosakata centeng, tetapi kata centeng di Betawi menonjol pemakaiannya pada novel Ca Bau Kan karya Remy Sylado. Novel yang berlatar Betawi masa lalu itu banyak menyebut sepak terjang centeng yang menjaga gudang di dalam cerita itu. Apalagi, novel tersebut kemudian difilmkan, dan jelaslah sepak terjang para centeng itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar