Kamis, 09 Mei 2013

Menggugat Perpanjangan Kontrak Koba Tin


Menggugat Perpanjangan Kontrak Koba Tin
Marwan Batubara   Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) 
KORAN SINDO, 08 Mei 2013


Pada 8 April 2013, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo mengatakan, pemerintah telah membentuk tim evaluasi kontrak Koba Tin dalam rangka mengkaji rencana perpanjangan kontrak tambang timah kepada Malaysia Smelting Corporation (MSC). 

Susilo mengatakan Kontrak Karya (KK) Koba Tin untuk sementara diperpanjang selama tiga bulan sejak 1 April 2013 hingga 30 Juni 2013, untuk kelak diputuskan status permanennya dengan pemilikan saham yang berbeda. Tim pemerintah “mengevaluasi” aspek-aspek hukum, ekonomi, lingkungan dan keuangan KK Koba Tin sebagai dasar penetapan keputusan perpanjangan kontrak dalam bentuk izin usaha pertambangan (IUP). Susilo mengatakan “Paling lambat dalam tiga bulan ini evaluasi selesai, yang paling diutamakan adalah kepemilikan nasional. 

Tapi kami menunggu hasil evaluasinya dulu” (Sindonews.com, 8/4). Layakkah sikap pemerintah tersebut? Seperti diketahui, KK Koba Tin ditandatangani 16 Oktober 1971. KK diperpanjang 6 September 2000, dan berlaku hingga 31 Maret 2013. Sesuai SK Menteri ESDM No. 472.K/50/ DJB tanggal 21 Maret 2012, luas wilayah KK Koba Tin adalah 41.344,26 hektare dengan Kode Wilayah 10PK0182. Lokasi WK terletak di Kabupaten Bangka Tengah dan Bangka Selatan. 

Total cadangan dan sumber daya timah pada WK adalah 31.644 ton. Koba Tin merupakan perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang awalnya 75% dimiliki Kajuara (100% sahamnya dimiliki Iluka Resources, Australia) dan 25% milik PT Timah. Pada 2003, 100% saham Kajuara diakuisisi oleh Bemban Co Ltd. (100% milik Malaysia Smelting Co MSC). Pada Agustus 2012, 60% saham MSC di Bemban diakuisisi oleh PT Mega Multi Makmur (100% saham milik Optima Synergy Resources Ltd). Namun, hingga kini MSC tetap dominan dan menjadi operator Koba Tin. 

Berdasarkan Laporan Keuangan Koba Tin yang diperoleh IRESS dari Komisi VII DPR RI, ditemukan bahwa pada 2009, 2011, dan 2012 Koba Tin mengalami kerugian cukup besar, masing-masing USD6.084.919, USD6.290.379, danUSD40.910.000. Beberapa hal esensial lain yang dapat dicatat dari laporan tersebut adalah: (1) Harga jual produk timah Koba Tin lebih rendah dibanding harga jual PT Timah. (2) Terjadi kerugian hedging lima tahun terakhir, antara USD743.000 hingga USD2.082.000. (3) Biaya operasi sangat tinggi dalam kurun lima tahun terakhir, lebih besar dari 90% terhadap penjualan, dan dalam dua tahun terakhir telah mengalami rugi operasi. (4) Biaya lain-lain cukup tinggi, berupa pembebanan interest expense on advanceske MSC dan pembayaran bunga pinjaman berkisar USD980 ribu (2011) dan USD4,8 juta (2008). (5) Total aset turun dari USD110 juta (2008) menjadi USD78 juta (2012). 

Total utang meningkat dari USD56 juta (2008) menjadi USD74 juta (2012), atau naik 33%. Sementara ekuitas turun dari USD54 juta (2008) menjadi USD3,9 juta (2012). Dengan kondisi keuangan yang terus memburuk, maka jika kontrak diperpanjang, ke depan penerimaan negara berupa pajak akan terus menurun atau hilang sama sekali! Selain itu, Koba Tin pun akan mengalami kesulitan memenuhi kewajiban keuangan, sehingga ujungnya penerimaan negara akan tidak optimal, dan negara pasti dirugikan. 

Berdasarkan Laporan Tahunan 2002, nilai penyertaan 25% saham PT Timah di Koba Tin adalah Rp 65,54 miliar. Sedangkan pada Laporan Tahunan 2012, nilai tersebut menjadi nol atau hilang sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa akibat penyelewengan manajemen, PT Timah telah kehilangan seluruh nilai investasi di Koba Tin. Saham-saham yang dipegang oleh PT Timah telah diperlakukan secara tidak adil dibanding saham yang dipegang oleh MSC. 

Pelanggaran Hukum 

Patut diduga buruknya kinerja keuangan Koba Tin dan besarnya kerugian yang dialami negara tak lepas dari adanya rekayasa keuangan berupa: Pertama, transfer pricing,penjualan seluruh produk kepada MSC sebagai induk usaha dengan harga di bawah harga jual ratarata PT Timah. Kedua, pembayaran biayabiaya di muka oleh MSC berupa: a) Management and marketing fee, USD360.000–390.000 per tahun; b) “Forward Sales Contract” dalam lima tahun terakhir, USD743.000–2,082 juta; c) Pembebanan biaya bunga “interest expense on advances” ke MSC dan pembayaran bunga pinjaman USD980.000–4,8 juta. 

Ketiga, penyembunyian informasi dan kebijakan manajemen kepada pihak Indonesia yang diwakili oleh Direksi dan Komisaris Koba Tin yang mewakili PT Timah. Keempat, perubahan komposisipemegangsahamBemban Corporation Ltd sebagai SPV pemilik Kajura tanpa sepengetahuan PT Timah. Aksi korporasi MSC ini tidak sesuai etika dunia bisnis yang seyogianya harus mendapat persetujuan pemegang saham minoritas. Kelima, perubahankepemilikan saham pengendali Koba Tin (pemegang saham tidak langsung) tanpa mendapat persetujuan tertulis dari Menteri terkait. 

Memperhatikan berbagai penyelewengan di atas, jangankan memberi perpanjangan kontrak (berupa IUP), membiarkan Koba Tin lolos dari audit investigasi dan bebas dari proses hukum pun, sudah merupakan kerugian besar bagi negara, pelecehan bagi sistem hukum dan martabat bangsa. Lantas, mengapa pemerintah justru ingin memperpanjang kontrak/menerbitkan IUP? Padahal, tahun lalu Dirjen Minerba pernah menyatakan kontrak Koba Tin tidak akan diperpanjang. 

“Kami menilai tidak perlu ada perpanjangan kontrak karya,” kata Thamrin, Kamis (Bisnis, 12/7/2012). Alasannya, PT Timah sudah mampu mengelola tambang timah, sehingga perpanjangan kontrak tidak diperlukan. “Bahkan smelter pun kita sudah mampu,” kata Thamrin. Mengapa sekarang sikap pemerintah berubah dan mencari-cari alasan untuk memberi perpanjangan kontrak? Sikap pemerintah yang masih bersedia mengevaluasi KK Koba Tin sangat bertentangan dengan kepentingan nasional. Proses evaluasi merupakan akal-akalan untuk memenuhi kepentingan asing. 

Patut diduga sikap tidak amanah oknum pemerintah ini disebabkan oleh upaya perburuan rente! Oleh sebab itu, langkah evaluasi harus dihentikan. Koba Tin harus menyelesaikan masalah utang, karyawan, dan lingkungan. Pemerintah pun harus segera berkoordinasi dengan lembaga terkait untuk melakukan audit investigatif dan memproses pelanggaran hukum yang dilakukan Koba Tin. Seluruh WK Koba Tin dikembalikan kepada negara sebagai wilayah pencadangan negara (WPN).

Sesuai konstitusi dan UU Minerba, WPN tersebut agar ditetapkan menjadi WIUPK untuk kemudian diserahkan kepada konsorsium BUMN/Timah dan BUMD sebagai pengelola. Pemilikan saham oleh perusahaan swasta di Koba Tin sangat pantas diduga sebagai tindakan KKN! Karena itu, kami menuntut agar KESDM mengutamakan kepentingan negara, melindungi hak rakyat dan menyerahkan wilayah tambang kepada konsorsium PT Timah dan BUMD. Bukan justru memihak asing dan para pemburu rente! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar