Kamis, 09 Mei 2013

Lelang Jabatan


Lelang Jabatan
Elfindri   Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas (Unand)
KORAN SINDO, 08 Mei 2013


Di negara yang pasar kerjanya relatif maju, proses rekrutmen jabatan sering dilakukan melalui iklan. Lihat saja ketika lembaga internasional, seperti Bank Dunia, ILO, Unicef, ingin merekrut mulai dari jenis jabatan paling top manager sampai clerical. 

Cara demikian kemudian diikuti oleh jabatan-jabatan lowong di universitas-universitas ternama, seperti sebagai calon rektor, calon profesor di suatu jurusan. Demikian juga pada pekerjaan profesional dengan tawaran gaji yang tinggi. Pemandangan itu sudah lazim dan mudah kita simak iklannya di belakang halaman majalahmajalah atau koran-koran. Tujuan memuat lowongan pekerjaan yang prestisius itu adalah untuk menemukan sosok yang paling tepat yang dilakukan, tentunya melalui proses seleksi administrasi dan kemudian diikuti dengan wawancara yang mendalam. 

Sehingga sebuah curriculum vitae (CV) pribadi dan surat rekomendasi dari orang yang pernah kenal, baik teman atau atasan, menjadi sangat penting sebagai salah satu bahan bagi pihak pengguna untuk menentukan kelayakan untuk suatu jabatan. Selain proses lebih transparan, kandidat juga akan semakin profesional karena memang diikuti oleh level pembayaran yang lebih terbuka, dan biasanya dengan kompensasi yang menarik. Tugasdantanggungjawab kemudian dituangkan dalam kontrak kerja, serta kompensasi yang diterima sebagai akibat memikul tugas. 

Begitulah caracara yang dibangun dalam merekrut pekerjaan yang sifatnya profesional. Mereka yang diterima biasanya adalah yang telah melakukan perjalanan kerja job discovery yang malang-melintang. Menguasai persoalan yang tercermin di dalam CV, kemudian tercermin dalam telescouting wawancara. Karier seseorang yang profesional juga akan semakin membaik antara satu jabatan ke jabatan lain. Kecuali sengaja berbuat kesalahan dan kena pecat. 

Dengan pola demikian tidak akan mungkin terjadi seseorang yang memegang kendali pekerjaan tetapi tidak berpengalaman, atau tidak akan terjadi koncoisme serta nepotisme. Semakin baik mutu seseorang maka dia akan mencari tawaran pekerjaan akan semakin tinggi. Singkat kata proses rekrutmen pekerja dengan jabatan yang lebih profesional memang memerlukan cara demikian. 

“Jualan” Jabatan

Suatu yang tidak dipungkiri dalam berbagai kesempatan kita mendengar ternyata di pemerintahan, pimpinan daerah banyak yang menjadi calo jabatan. Proses penempatan dari jabatan sangat banyak yang menjauhi kaidah profesionalisme. Kondisi yang sering muncul adalah justru pemilihan jabatan atas dasar koncoisme, kampungisme, nepotisme, alumniisme, sebidangisme, dan sebagainya. 

Ada yang baik ada pula yang tidak baik cara ini. Pola rekrutmen untuk mengisi pekerjaan yang diputuskan oleh pimpinan daerah adalah karena mereka tidak memiliki informasi yang merata asymatric information. Informasi yang terdekat adalah teman atau kenalan yang pernah berhubungan jauh hari. Sehingga proses untuk mencari bisa lebih cepat dilakukan. Namun ketika cara ini yang dilakukan, biasanya akan terjadi penolakan atau gejolak yang tidak baik dalam roda pemerintahan. 

Desentralisasi yang sudah berjalan nampaknya banyak yang melakukan cara-cara seperti ini dalam merekrut calon pimpinan. Tetapi juga yang menonjol adalah proses pengisian jabatan, khususnya yang sifatnya prestise dan yang mengelola uang banyak juga yang melakukan melalui sistem transaksi jual jabatan. Tanpa disadari, hasil observasi penulis menemukan hampir kebanyakan jabatan mulai kepala dinas sampai jabatan eselonisasi yang lebih rendah dijual dengan nilai transaksi sekaligus nilai setoran yang cukup mencengangkan. 

Logika yang lahir dari cara demikian adalah sebagai konsekuensi dari begitu mahalnya sebuah jabatan pimpinan daerah melalui sistem perekrutan seperti pola sekarang. Jabatan demi jabatan terjadi lelang harga. Bagi yang sanggup menyediakan setoran yang lebih tinggi, kemudian mereka akan memperoleh jabatan. Demikian sebaliknya. Bahkan, fenomena yang sangat mengherankan di berbagai kabupaten pernah ditemukan untuk merekrut pekerjaan sebagai pegawai honorer pun perlu menyediakan uang. Apalagi untuk menjadi kepala sekolah, untuk menjadi kepala sub (kasub), kepala dinas, dan sebagainya. Proses ini kemudian juga akan berlaku sistem “balas dendam”. 

Di mana kepala dinas juga bukan tidak mungkin berupaya mengajukan bawahannya yang juga mau menutupi jumlah investasi harga jabatan yang dia bayar. Inilah fenomena gunung es, dan fenomena ini justru memperburuk pelaksanaan roda pemerintahan dan khususnya dalam membawa proses pembangunan pada cita-cita jangka panjang. Bagi pimpinan daerah yang rasional, upaya untuk merekrut bawahannya bahkan sebagian telah mulai dilakukan dengan menyerahkan penilaian kepada pihak ketiga. 

Lelang Jabatan 

Lelang jabatan beda dengan jualan jabatan. Kalau jualan jabatan adalah jabatan yang dijual oleh pimpinan, dengan menjual mereka akan memperoleh pemasukan. Pemasukan akan digunakan untuk membayar investasi politik. Sementara lelang jabatan konotasinya adalah lebih kepada proses di mana untuk mengisi jabatan yang kosong dilakukan secara sistem lelang. Sistem lelang terbuka, seperti pada penjelasan awal adalah sebuah terobosan baru di dunia pemerintahan. Jika di dunia profesionalisme, lembaga internasional, bank dan lembaga keuangan swasta itu sebuah yang lumrah. 

Namun untuk pemerintahan, serta BUMN-BUMN, selain unsur politik, pilihan akan profesionalisme sering dijadikan nomor ke sekian dalam pertimbangan rekrutmen jabatan. Oleh pasangan Gubernur- Wagub DKI, Jokowi-Ahok, cara ini mereka gunakan sebagai salah satu upaya untuk merekrut calon pimpinan. Kali ini dimulai untuk jabatan camat dan lurah. Menarikah proses lelang itu, dan apakah lebih efektif? Diduga kendala yang mungkin ada adalah ketika kompensasi yang ditawarkan untuk suatu jabatan lebih rendah dari harga kompensasi jabatan di pasar kerja dengan intensitas kerja yang sama dan rumit. 

Jika ini yang terjadi, efek yang mungkin perlu dikaji adalah persoalan sogok (bribes). Lelang jabatan akan lebih tepat jika diikuti dengan kompensasi yang juga mengikuti upah pasar kerja. Setidaknya hipotesis kerja dari fenomena rekrutmen ala Jokowi-Ahok ini mengikuti hukum selektivitas pasar kerja. Artinya jabatan akan terisi dengan tingkat selektivitas yang tinggi, dan dengan asumsi demikian proses pelayanan publik yang diberikan diharapkan akan dapat lebih optimal. 

Model yang diterapkan diperkirakan jauh lebih efektif dibandingkan dengan proses penetapan melalui Baperjakat, yang berlaku selama ini di dunia pemerintahan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar