|
SUARA
KARYA, 18 Mei 2013
Semua orang pasti sepakat bahwa
pendidikan merupakan pranata (institution)
yang memiliki fungsi dasar untuk membebaskan manusia (freedom from) dari kondisi "kegelapan", seperti
kebodohan, kemiskinan, kejahilan dan lain sebagainya. Sekaligus, merupakan
instrumen untuk membebaskan manusia supaya mampu (freedom to) merengkuh "cahaya" demi mewujudkan potensinya
secara penuh. Oleh sebab itu, pendidikan memiliki peranan strategis untuk
memberikan kehidupan bermartabat dan berkualitas kepada manusia.
Selain itu, pendidikan merupakan
kunci bagi kebesaran suatu bangsa. Sebab, pendidikan adalah instrumen untuk
mencetak SDM-SDM unggul yang diharapkan dapat mengaktualkan talenta mereka
hingga mampu berkontribusi bagi bangsa ini dengan cara masing-masing.
Sayangnya, sebagian sekolah di
Indonesia kerap keliru menerjemahkan ini dalam paradigma yang sangat teknis dan
teknokratis, seperti keharusan memberikan mata pelajaran dalam bahasa Inggris,
menghafal mati materi demi mendapatkan nilai tinggi dan lain sebagainya.
Celakanya, kekeliruan paradigma ini begitu meluas sehingga menjadi standar yang
seragam di banyak sekolah. Akibatnya, sekolah-sekolah tersebut gagal menjadi
sekolah progresif. Yaitu, sekolah yang menjadi wahana bagi anak didik untuk
melakukan perubahan dalam dirinya ke arah yang lebih baik sesuai potensi khas
masing-masing murid.
Oleh karena itu, bangsa ini perlu
mencari model pendidikan transformnatif yang menganut progresivisme. Menurut
Ellis, Cogan, dan Howey dalam Introduction
to Foundations of Education (1991), progresivisme adalah paradigma yang
menganggap guru sebagai challenger and
inquiry leader (pengkritik dan pemandu penelitian). Dalam progresivisme,
guru mendidik murid untuk bisa memecahkan permasalahan yang selalu berubah di
tengah tantangan zaman yang dinamis. Juga, bertujuan mengenalkan murid terhadap
beragam pengalaman sosial konkret supaya tidak terperangkap di menara gading.
Adalah menarik untuk mencari metoda-metoda segar yang dapat melahirkan sekolah
transformatif, baik dalam level nasional maupun global.
Pertama, sekolah Summerhill di
Inggris. Sebagaimana diceritakan sang pendiri sekolah, AS Neill dalam
otobiografinya, Summerhill School (Serambi, 2006), sekolah ini memberikan
kebebasan anak-didiknya untuk menentukan jam pelajaran, mata pelajaran yang
diambil, dan lama belajar. Summerhill juga mengajarkan ketrampilan praktis atau
life skills, seperti bertukang, berkebun dan lain sebagainya. Sekolah ini
bahkan memungkinkan siswa membatalkan kebijakan kepala sekolah melalui rapat
siswa. Hasilnya, murid-murid Summerhill menjadi anak yang terampil, cerdas,
percaya diri, pemberani dan punya kemampuan untuk menjalani hidup. Kedua, INS
Kayutanam (INS-K) yang diketuai oleh Tengku Sjafei. Sebagaimana dituturkan AA
Navis dalam Autobiografi (Gramedia, 1995), guru-guru di sekolah di Kayutanam
(Sumbar) ini memberikan pelajaran bertukang, berkebun, dan bermain alat musik
kepada siswa. Singkat kata, INS-L meyakini prinsip belajar praktik. Potensi
unik masing-masing pribadi anak didik juga mendapat perhatian karena setiap
murid bebas mengambil kelas sesuai bidang mereka.
Ketiga, sekolah Tomoe di Jepang
yang dikisahkan Tetsuko Kuroyanagi dalam Totto-Chan (Gramedia, 2006). Sekolah
Tomoe begitu membebaskan, mengasyikkan dan mengajak berpikir kreatif. Kelasnya
saja terdiri atas rangkaian gerbong-gerbong kereta api listrik. Di sini, ada
juga keharusan bercerita secara bergilir bagi anak-anak. Karena ceritanya boleh
bertemakan apa saja, daya kreatif siswa dirangsang menyusun kisah yang menarik.
Bahkan, siswa diajak berjalan keluar untuk menikmati alam, pepohonan, dan hewan
sembari belajar banyak hal: ilmu alam, biologi, dan sebagainya. Buku-buku
perpustakaan sekolah bebas dibaca untuk segala tingkatan.
Meski berbeda, ketiga sekolah
progresif atau transformatif itu sejatinya memiliki sejumlah prinsip yang sama.
Pertama, menekankan pentingnya pemahaman dan bukan hafalan mati. Pelajaran
tidak diberikan satu arah lewat metode menghafal, melainkan disajikan dengan
dialog, praktik lapangan, dan belajar di luar kelas. Ibaratnya, guru hanya
berperan sebagai fasilitator untuk membangunkan "potensi anak"
ketimbang sebagai instruktur yang seakan selalu tahu segalanya dan tidak boleh
salah apalagi dibantah.
Kedua, memberikan kecakapan hidup
(life skills) lewat pelajaran praktik
(learning by doing). Maksudnya, murid
tidak sekadar diasah daya kognitifnya, tapi juga dipertajam kemampuan
praktisnya sehingga akan menjadi lulusan yang siap hidup, tangkas mencari
nafkah, dan mandiri alih-alih menjadi beban masyarakat sebagai
"pengangguran intelektual" atau "pengangguran terselubung."
Ketiga, prinsip kebebasan yang
bertanggung jawab. Inilah perpaduan antara unsur pedagogi Barat yang
mengutamakan individualitas (kebebasan murid) dengan unsur pedagogi Timur yang
mementingkan kolektivitas (empati terhadap masalah-masalah sekitar). Maksudnya,
setiap murid dirangkul kebebasannya dan inisiatif pribadinya, tapi bukan
berarti mendidik murid menjadi pribadi steril-nilai yang egoistis.
Sebaliknya,
murid tetap harus terjun langsung dalam masalah-masalah sekitar. Maka itu, para
guru biasanya menekankan pentingnya para alumnus terus memerhatikan alam
sekitar dan segera mencari kerja atau bahkan menjadi pengusaha pencipta
lapangan kerja demi membantu sesama.
Akhirnya, institusi pendidikan
kita harus meninggalkan paradigma pendidikan teknokratis yang kerap memasung
kreativitas dan menumpulkan aktualitas potensi anak didik. Sebaliknya, kita
perlu menengok metoda-metoda pendidikan alternatif demi membangun gugus-gugus
sekolah yang bersifat transformatif bagi anak didik. Semoga tercapai! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar