Jumat, 03 Mei 2013

Gerakan Warga Mampu Membangun Etos Kerja Baru


Gerakan Warga Mampu Membangun Etos Kerja Baru
Suzie S Sudarman ;  Ketua Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia
MEDIA INDONESIA, 02 Mei 2013
  

Mencuatnya konundrum korupsi dalam kehidupan bangsa akhir-akhir ini membutuhkan penanganan yang jitu. Solusinya bisa berasal dari gerakan warga yang bersepakat untuk mengimbangi berlangsungnya penyalahgunaan kekuasaan secara beruntun.

Ada dua tulisan, yang pertama dari seorang ekonom, Albert Hirschman, yang menyoal hawa nafsu dan kepentingan (The Passions and The Interests, 1996) dan yang kedua dari seorang sosiolog, Ann Swidler, tentang budaya bertindak (Culture in Action, 1986) yang secara berbeda menggambarkan soal kepentingan manusia secara umum. Namun, hanya tulisan Swidler-lah yang secara tegas menggambarkan strategi yang bisa diambil manakala kultur bangsa sedang mengalami kelabilan (unsettled).

Pada Hari Buruh 1 Mei, di samping konsepsi Hirschman dan Swidler tersebut, pengalaman Brasil dengan kestabilan pemerintahannya di masa kini bisa menginspirasi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil dan makmur.

Pemikiran Hirschman dan Swidler

Secara gamblang Albert Hirschman menguraikan soal bagaimana tatanan sosial berdasarkan mekanisme pasar itu pada awalnya memang ditujukan untuk dapat mencapai hasil berupa upaya mengatasi kekuatan perusak yang datang dari hawa nafsu manusia. Dalam hal ini `soal ketamakan' justru dianggap k lebih kurang berbahaya jika l dibandingkan dengan sifat buruk manusia lainnya karena memang begitu kapitalisme berjaya dalam tatanan borjuis di Eropa, hawa nafsu manusia memang tampak terkendala atau mulai pupus (1996).

Melihat kenyataan mimpi tersebut tidak terwujud di masa-masa selanjutnya Amartya Sen dalam kata pengantar karya Hirschman ini justru memfokuskan catatannya soal fitur dan jangkauan hasil Zaman Pencerahan yang berkaitan dengan soal kemanusiaan. Sebuah wilayah kajian yang menarik bagi kalangan bukan ahli ekonomi. Apalagi setelah disadari bahwa kelompok mafia pun bisa secara paksa menggabungkan pencarian uang dan keuntungan dengan kekerasan dan brutalitas (Sen, 1996).

Swidler mendekati soal kepentingan dari sudut yang berbeda. Ia melihat kepentingan sebagai hal yang turut membentuk beragam gagasan. Namun, ia menggarisbawahi bahwa ideologi dibutuhkan untuk bisa mendukung kepentingan tersebut agar dapat terus-menerus merekonstruksi dan meregulasi pola tindakan orang lain (Swidler 1986). Memang pada dasarnya kapasitas untuk bertindak dan mengatur tindakan orang lain itu yang sesungguhnya membentuk kepentingan para pendukungnya (Swidler 1986).

Swidler membedakan dua kurun waktu, di kala kultur itu mapan (settled culture) dan kultur itu labil (unsettled culture) (1986). Ia menawarkan konsep budaya dalam bertindak (culture in action). Ia melihat kultur sebagai perangkat atau tool kit yang terdiri dari simbol, ritual, narasi, dan pandangan tentang dunia; ia melihat efek kausalnya berwujud sebuah strategi dalam bertindak (strategies of action); ia juga melihat kausalitas dari kultur bukanlah terletak pada pendefinisian tujuan dari sebuah tindakan, melainkan lebih kepada penyediaan komponen kultural yang bermanfaat di saat seseorang sedang menyusun strategi dalam bertindak (1986).

Dengan jelas terlihat bahwa pandangan Swidler itu berbeda dari pandangan tentang kultur yang lazim dikenal yang lebih berkenaan dengan cara kehidupan masyarakat, termasuk teknologi dan artefak material (Geertz 1973). Buat Swidler, tindakan dan nilai bisa diorganisasikan sedemikian rupa untuk bisa memanfaatkan kompetensi kultural seseorang (1986).

Kontinuitas dalam langgam dan etos tindakan dengan demikian dapat diartikan sebagai hasil nyata upaya pelanggengan cara pengorganisasian tindakan sekalipun gagasan serta tujuan tindakan telah berubah (Swidler, 1986). Menurut Swidler, kultur bisa menjelaskan hadirnya sebuah kontinuitas dalam kehidupan yang mapan (settled lives) (1986).

Perbedaan antara kultur yang mapan dan labil lebih terletak pada peran kultur dalam mempertahankan strategi bertindak seseorang dan dengan demikian juga tidak absolut sifatnya (Swidler, 1986). Sekalipun kehidupan seseorang itu telah mapan, ia dapat berupaya sekuat tenaga mempertahankan maupun menghaluskan kapasitas kulturalnya (Swidler, 1986).

Gerakan warga bisa membawa sebuah model baru untuk mengorganisasikan tindakan dan merestrukturisasi komunitas bangsa yang ada (Swidler, 1986). Situasi konkret yang dihadapi sebuah gerakan warga yang pada akhirnya akan menentukan nasib apakah sebuah model kultur baru akan muncul dan berjaya (Swidler, 1986). Di Amerika Latin masyarakat sipil telah lama mengalami intervensi negara sehingga untuk melaksanakan upaya meregulasi kepentingan untuk menjadi kebijakan sangat tidak bersifat kontroversial.

Indonesia sebagai kultur mapan maupun labil

Suasana kelabilan yang diakibatkan maraknya kasus korupsi di Indonesia masih mencerminkan adanya kegamangan yang lebih erat terkait dengan konsepsi Swidler tentang sifat manusia yang cenderung memilih budaya bertindak yang ia kenal atau mengambil tindakan dengan seseorang telah memiliki perangkat budayanya (1986).

Kalangan terorganisasi yang ada justru tampak berlomba-lomba menggerogoti alur pemerintahan Indonesia yang bercita-cita mewujudkan keadilan. Hal itu berbeda dengan cara yang terungkap dalam konsepsi Hirschman dan Swidler maupun pengalaman nyata Brasil dalam mengorganisasikan tindakan demi merestrukturisasi komunitas bangsa yang ada. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar