|
KOMPAS,
14 Mei 2013
Orang
pendek banyak yang cerdas karena jarak perut dengan otaknya tidak terlalu jauh.
Tentu saja ini hanya anekdot. Yang benar adalah anak pendek terancam
perkembangan kognitif dan kecerdasannya sehingga sulit menjadi aset bangsa.
Kerisauan
jajaran kesehatan tentang anak pendek di Indonesia bisa dimaklumi.
Prevalensinya mencapai 35 persen. Artinya, 1 dari 3 anak di Indonesia
bermasalah gizi kronis yang mengancam masa depannya.
Persoalan
anak pendek sejatinya telah berlangsung lama, tetapi kita baru sadar sekarang.
Padahal, urusan gizi yang kita hadapi dari dahulu hingga kini mungkin
memberikan kontribusi signifikan terhadap prestasi anak-anak bangsa.
Memprihatinkan
Data
kualitas SDM Indonesia memang memprihatinkan. Banyak anak didik memiliki lower
order thinking skills. Mengacu pada studi Trends in International Math and
Science Survey 2007, anak-anak Indonesia yang memiliki performa rendah dan di
bawah rata-rata berjumlah 78 persen, Hongkong 15 persen, Taiwan 14 persen,
Singapura 12 persen, dan Korea 10 persen. Tantangan ke depan sungguh berat
karena performa tinggi baru diraih oleh 5 persen anak Indonesia.
Adalah
suatu ironi manakala kita semua tahu tentang banyaknya kasus gizi kurang dan
gizi buruk yang menimpa anak-anak kita, tetapi perhatian terhadap program gizi
masih setengah hati. Revitalisasi posyandu dan implementasinya di lapangan juga
nyaris tidak terdengar.
Di
tengah-tengah kegalauan kita untuk segera dapat mengatasi persoalan gizi,
pantaslah disyukuri ketika Pemerintah Amerika Serikat menghibahkan dana Rp 1,3
triliun kepada Indonesia untuk perbaikan gizi pada awal masa pertumbuhan
(Kompas, 25/4/2013). Pemanfaatan dana yang besar ini jangan salah sasaran dan
tentu saja jangan dikorupsi. Kasihan anak-anak kita. Anak usia balita
Indonesia, apalagi dari keluarga miskin, selama ini harus menerima pelayanan
posyandu seadanya dengan bantuan bubur kacang hijau atau sebutir telur sebulan
sekali. Rasanya sulit bagi bangsa ini untuk segera lepas dari masalah gizi.
Titik
lemah
Pemberian
makanan tambahan di posyandu selama ini menjadi titik paling lemah karena
terbatasnya dana pemerintah. Program pemberian makanan pendamping ASI tidak
mempunyai daya ungkit kuat untuk memecahkan masalah gizi karena cakupannya
rendah dan mungkin dengan kuantitas yang tidak bisa memenuhi kebutuhan gizi
anak.
Mencegah
generasi pendek tidak bisa dengan program-program gizi yang selama ini
dilakukan dengan derajat biasa-biasa saja. Diperlukan upaya atau gerakan luar
biasa dengan dukungan berbagai sektor serta intervensi dari berbagai pintu
masuk untuk mengentaskan gizi anak.
Seribu
hari pertama kehidupan manusia merupakan awal penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan selanjutnya. Di saat itu, fondasi tumbuh kembang anak sedang
diletakkan sehingga pemenuhan gizi tidak boleh diabaikan, bahkan sejak janin
masih dalam kandungan.
Periode
emas adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan fase seribu hari
pertama kehidupan. Fase ini tidak dapat diputar kembali (the point of no
return). Setiap orangtua perlu memberi perhatian lebih kepada anak dalam
periode tersebut karena kecukupan gizi pada periode ini menentukan kecerdasan
dan masa depan anak.
Kecukupan
gizi pada saat tersebut akan memungkinkan anak tumbuh dengan baik dan jaringan
saraf di otaknya terhubung secara optimal. Semakin banyak jaringan saraf yang
tersambung, semakin cepat anak menangkap informasi. Proses perkembangan pun
akan semakin sempurna dan anak tumbuh cerdas.
Oleh
karena itu, intervensi gizi makro dan mikro pada ibu hamil dan anak di bawah
usia tiga tahun menjadi kunci penting untuk mengatasi anak pendek. Pertumbuhan
anak perlu didukung konsumsi pangan berkualitas tinggi terutama pangan hewani
(ikan, daging, telur, dan susu).
Rendahnya
daya beli masyarakat, apalagi harga daging sapi yang hingga kini tetap
bertengger pada kisaran Rp 100.000 per kg, menyebabkan rakyat miskin lebih
dominan mengonsumsi pangan nabati yang kualitasnya tidak setinggi pangan
hewani.
Intervensi
gizi makro dapat dilakukan dengan memberikan bantuan pangan gratis atau
bersubsidi, terutama pangan sumber karbohidrat dan protein. Sementara itu, gizi
mikro dapat diberikan baik dalam bentuk suplemen maupun pangan-pangan tertentu
yang sudah difortifikasi dengan gizi mikro.
Peran
serta semua
Mengatasi
masalah gizi bangsa bukan melulu tanggung jawab pemerintah. Pihak swasta juga
dapat berpartisipasi untuk berkiprah menurunkan prevalensi masalah gizi, antara
lain melalui kegiatan berbasis CSR (tanggung jawab sosial perusahaan),
pelatihan kader gizi, ataupun bantuan pangan untuk kelompok-kelompok yang rawan
gizi. Pemerintah sebaiknya juga membuka tangan bila ada perusahaan swasta yang
ingin berpartisipasi membantu mengatasi persoalan gizi.
Masyarakat
miskin hendaknya menjadi fokus dalam memerangi persoalan generasi pendek ini.
Kemiskinan adalah penyebab utama timbulnya masalah gizi. Faktor lain mungkin
akan memperburuk situasi seperti aspek kurangnya pengetahuan, tabu makanan, dan
kebiasaan makan.
Jumlah
penduduk Indonesia yang banyak dapat menjadi beban atau aset pembangunan,
bergantung pada kualitasnya. Saat ini, dengan menyadari banyaknya anak kurang
gizi dan anak pendek, rasanya kita masih berharap-harap cemas kapan bangsa ini
akan tinggal landas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar