|
KOMPAS, 07 Mei 2013
Perkenankan
saya mengajak Anda semua menyimak secuil narasi ini: ”...sekira 1.000 tahun sebelum era Kristus mereka mendirikan pedesaan
di lereng perbukitan, di lembah dan di ngarainya.”
Jenis
dan tatanan rumah itu masih di empunya hingga sekarang, di daerah Mesoamerika
sebelah timur (sekarang Venezuela, Ekuador). Begitulah cuplikan dari buku The Code of Kings (Linda Schele dan Peter Mathews, Scribner Publ. 1999).
Tempat
di atas jauh sekali dari Jawa, tempat kebanyakan situs purbakala di Indonesia.
Di Mesoamerika itu pula ditemui observatorium tertua orang Maya. Di Yogya pada
29-04-2013, sekelompok cendekiawan mendirikan perhimpunan ilmiah untuk
mengungkapkan keberadaan historis kerajaan Medang, tanpa bias etnik dan
geografik.
Keinginan
menyingkap masa lalu Medang bukanlah mimpi yang ”ngoyoworo” untuk memperlihatkan lukisan realistik kerajaan kuno
itu. Tentu saja tidak hanya kurun waktu yang berselisih dengan dunia
Mesoamerika yang sudah tergambar di atas, tetapi juga pengaruh cuaca dan iklim
tropika, budaya, dan adab yang telah meletakkan sidik jari pada pembentukan
masyarakat Medang. Pengungkapan itu diharapkan menghasilkan kesejarahan dengan fondasi
lebih kokoh daripada sekadar legenda.
Penulis
mengagumi, dari situasi tersebut, kekaguman tangan halus, alur pikir cerdas
para arkeolog, dan tidak kurang pentingnya para antropolog, yang mampu
merekonstruksi peristiwa, yang walau tersaput kabut waktu, seolah film
sinematografi kejadian hari kemarin. Begitulah kepercayaan dan harapan penulis
kepada rekan arkeolog yang mengejawantah data masa lalu untuk menghimpun
kebijakan sebagai cermin bagi kepentingan anak dan cucu masa depan.
Agar
gambar yang terbentuk merupakan perspektif yang inklusif, menggendong
perjalanan kemanusiaan pada zamannya, ajakan untuk mengikat beberapa disiplin
keilmuan merupakan ”sawer selendang”
tanggung jawab panitia pendiri ”Medang
Heritage Society” yang simpatik. Kejamakan budaya hendaknya dapat menggali
kenyataan tanpa pilih kasih dan praduga.
Kerajaan
Medang
Panitia
menulis kerajaan Medang berjaya antara tahun 929 dan 1042 Masehi. Patok
kronologis itu merupakan pancang-kala karena prolog menuju kebangkitan kerajaan
tentunya berjalan beberapa tahun sebelum titik awal tersebut.
Epilog
masa keluruhannya juga bukan sebuah titik dalam sumbu waktu. Episode itu,
menurut hemat penulis, penting untuk dikaji secara sosio-ekonomis. Tentu saja
ini bukan tugas mudah karena hieroglif kuno, kalaupun ada sangat langka, dan
mungkin menyamarkan aspek sosial ke dalam metafora yang dapat diterima budaya
saat itu.
Ajakan
panitia kepada beberapa disiplin ilmiah merupakan sikap budaya untuk menimang
masalah klasik di luar sosial-ekonomi, tetapi juga masalah demografi yang
berkembang itu. Kerajaan tidak hanya merupakan himpunan kekuatan dan kekuasaan
para raja, tetapi juga dianyam oleh tali-temali ”kawula-gusti”. Status ”kawula” pun semestinya memperoleh tempat
dalam historiografi.
Di
luar contoh, sebuah lembaga di Universitas Copenhagen (Lembaga
Antropologi-Biologika-Life Science Wealth,
3 April 2012) menganggap Jawa sebagai pumpunan perhatian. Terkait dengan itu
berkembang juga ”antropologi medika” masa lalu. Mereka berpendapat, arkeologi,
yang merupakan tinggalan wadag masa lalu, juga harus mencakup sikap dan hakikat
pelakunya. Tampak bahwa pengertian makna arkeologis dan ungkapan antropologis
pada suatu titik waktu saling mendukung. Edy Sedyawati melukiskan ”Warisan Budaya tak benda”, yang
mengulas peninggalan bahasa dan aspek kebudayaan lain, dapat mencerahkan
pengeja kehidupan masa lampau.
Searah
dengan itu mungkin perlu digali lebih dalam lagi, mencari kepingan ideogram
dari wilayah Medang agar bisa memberi informasi unik budaya Medang. Penulis
mohon maaf kalau keliru, tetapi upaya penulis mencari titik ini gagal.
Ajip
Rosidi, dalam antologi mengenai Kearifan Lokal (2011), dengan lantang
mendengungkan keinginan agar pengungkapan kebudayaan lokal tidak boleh terpisah
dari bingkai kesatuan bangsa, apalagi merupakan pemisah etnisitas. Suatu
peringatan intelektual yang perlu kita sambut karena kesatuan bangsa adalah
pencerminan keikatan unggulan budaya. Tinjauan Ajip jauh ke belakang, melalui
filologi dan kesusastraan, menyimpulkan bahwa dalam mengemukakan kebesaran masa
lalu mitos harus tertepis dari sejarah.
Ir
Hadiwaratama, javanolog, mengemukakan bahwa sejarah kerajaan di Jawa tidak
lepas dari kebesaran kerajaan Galuh pada masa lalu. Memang, berbeda dengan
toponimi yang dibuat oleh administrasi pemerintahan Belanda, Galuh sekarang
terletak di Jawa Barat. Namun, pada zamannya, pengertian Jawa Barat, tengah,
dan timur belum ada. Saat itu hanya ada hegemoni ekonomi, kekuasaan dan
kekuatan, serta pangan dan kebahasaan.
Hadiwaratama
menandai sejarah berjalan dari ”barat
sampai ke timur, berjajar akal dan intrik”, menarik walau masih harus
dibuktikan menurut asas zaman, berbasis evidence-based.
Semoga
pemrakarsa pendiri ”Pewaris Kebudayaan
Medang” menemui kebijakan masa lalu untuk bekal ke depan tanpa prasangka.
Semoga langkah awal ini bukan merupakan injakan kaki di atas pasir yang
sewaktu-waktu terhapus oleh angin arogansi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar