Jumat, 03 Mei 2013

Mata Uang Tanpa Senyum


Mata Uang Tanpa Senyum
Ostaf Al Mustafa ;  Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) Sulawesi-Selatan
KORAN SINDO, 03 Mei 2013


Uang merupakan alat peraga pemilu terbaik, meski dalam gambar mata uang jarang ada pahlawan tersenyum. Apa yang diresahkan para pahlawan, andaikan saja mereka tahu wajah mereka tergambar di mata uang? 

Jika mereka pernah membayangkan suatu ketika ada pilpres, pileg, pilgub, dan pilkada di Indonesia, itu bisa menjadi alasan mengapa tak pernah tersenyum. Menjelang pilkada, kota akan dipenuhi keramahan orang-orang tersenyum. Di setiap bagian jalanan selalu ada yang berubah, begitu beberapa wajah terpampang di baliho dan alat peraga pilkada lainnya. 

Muka mereka memfantasikan janji atau mengilusikan betapa hidup makin baik pada waktu entah kapan. Beberapa muka makin serius dalam deklarasi, namun ada juga yang tetap tersenyum setelah janji terpaku di pohon-pohon. Pergantian pemerintahan bukan tentang seberapa banyak pemilih dan sebagus apa janji. Seperti barang jualan, pemerintahan didapatkan dengan nilai nominal uang. “Kita memiliki pemerintahan terbaik yang bisa dibeli dengan uang,” ujar Samuel Langhorne Clemens atau Mark Twain (1835 – 1910). 

Indonesia masih terjajah ketika Twain mengatakan tentang kuasa uang dalam suatu pemerintahan. Meski sangat terlambat, istilah demokrasi transaksional baru populer pada lima tahun terakhir. Senyuman keramahan yang tiba-tiba serempak di seluruh kota tak pernah dijalani seorang pahlawan yang terpampang di satu lembar uang. Semua enggan tersenyum di hadapan Belanda, ketika ujung-ujung senjata mengarah ke jantungnya. 

Mayoritas para pahlawan itu kalah melawan Belanda, meski ada juga berkawan dengan penjajah lalu dijuluki “putri sejati, harum namanya”. Kekalahan melawan Belanda selalu lebih terhormat daripada menjadi sekutu. Untunglah gambar pahlawan berkonde itu tak menjadi penukar utama dalam politik uang karena nominalnya kecil. Dalam demokrasi, orang yang kalah tak bisa menjadi pahlawan dan susah dipercaya bagaimana bisa mendapat berbagai penghargaan. 

Kemenangan dan kekalahan selalu menjadi pilihan menyeramkan dalam demokrasi, karena ada metamorfosa politisi dari belatung menjadi serangga bersayap. Demikian di hari-hari kampanye, janji-janji politisi berbunyi seriuh jutaan bahana kepak. Setiap pemilih bisa tergigit ilusi politik, kecuali meninggalkan kota di hari pencoblosan. Memang demikian politics yang menurut Gore Vidal berasal dua kata berupa ‘poli’ (Yunani: banyak) dan ‘tics’ (serangga pengisap darah). 

Seharusnya ada tempat untuk yang kalah, bukan sebagai pahlawan tapi negarawan. Bukan hal susah untuk menjadi negarawan, demikian yang mungkin dialami Gus Dur dan Jusuf Kalla (JK). “Cara tercepat bagi politisi untuk menjadi negarawan, yakni kalah dalam pemilu.” Demikian tips dari Earl Wilson. Bila JK kembali maju dalam Pilpres 2014, kekalahannya tempo hari melawan SBY akan sia-sia. Lebih baik dia tetap kalah sebagai politisi tapi mendapat sebutan sebagai negarawan. 

SBY sulit menjadi negarawan karena tak pernah kalah, bahkan tak mau kalah. SBY susah menerima kekalahan kecil dari mahasiswa yang menentang penaikan BBM. Dia gagal menaikkan harga BBM pada April 2012 dan itulah kekalahan pemerintahannya. “Harapan kita semua ini merupakan solusi penyelamatan dan pengamanan ekonomi kita, penyelamatan dan pengamanan APBN kita,” kata SBY pada sidang kabinet paripurna di Istana Presiden, Jakarta, (Rabu, 22/2/12). 

Sebagai ekor setan dari buntut ketidakmauan kalah, mahasiswa mendapat tindakan kekerasan represif dan kampus-kampus diserbu Brimob. Sebagai politisi, SBY lebih memikirkan APBN daripada memedulikan generasi selanjutnya yang berdarah juang di jalanan. APBN kembali menjadi repetisi alasan penaikan BBM 2013, sebagaimana dalam akun @SBYudhoyono yang mentweet bahwa subsidi BBM akan dikurangi dengan alasan agar APBN dan tingkat fiskal nasional tidak jebol (Rabu, 24/4/13). 

Negarawan selalu memikirkan generasi selanjutnya, kata James Freeman Clarke, bukan pemilu berikutnya melalu penaikan BBM. Bila JK ikut juga memikirkan Pemilu 2014, maka tak ada momentum pengulangan untuk membuatnya sebagai kandidat negarawan kedua kali. Politisi bisa kalah dua kali dan mati berkali-kali, tapi negarawan cukup hidup sekali. “Sebenarnya saya tidak berambisi, tetapi jika rakyat Indonesia menghendaki, saya siap jadi calon presiden,” kata JK di Makassar (Sabtu, 12/5/13). 

Ia tampil sebagai pembicara dalam Seminar dan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA). Kalimat JK lebih berat mizannya sebagai politisi daripada negarawan, karena menyampaikan dua kata berlawanan dalam satu kalimat. Sebagaimana politik berasal dari dua kata, maka politisi tak bakal mengimbangkan satu tutur dengan perbuatan. 

Selalu terjadi dispensasi mental dan pembalikan moral pada para politisi. Politisi kalah, tak siap untuk menjadi negarawan. Gus Dur juga demikian, hasrat politiknya lebih besar sebagai politisi daripada menjadi negarawan. “Saya bersedia dicalonkan, jika para kiai memintanya untuk maju memimpin bangsa ini,” ujar Gus Dur saat berbicara dalam pertemuan internal Dewan Pengurus Pusat PKB di Hotel Bintang, Cikini, Jakarta (Kamis (26/12/02). 

Politisi selalu mendua makna dalam satu kalimat, karena adanya ‘jika’. JK akan tetap dikenang dengan sebutan ‘Jeka’, bila tak lagi ada ‘jika’ dalam lisannya. Begitu besar ruang berkuasa sehingga politik Indonesia makin keluar dari halaman-halaman sejarah. Para wakil rakyat dari mayoritas partai makin memperburuk kondisi bangsa. Penambahan keburukan sejarah ditambah dengan adanya DPD (Dewan Perwakilan Daerah) atau senator. 

Indonesia harus melek sejarah tentang kehancuran Roma karena adanya senator. “Roma kuno runtuh karena memiliki senat, sekarang apa yang terjadi pada kita yang telah memiliki dewan perwakilan rakyat dan juga senat?” Kata Will Rogers (Januari 1927). “Kita” yang dimaksud tak hanya berlaku di Amerika, tapi menjadi fakta keburukan di Indonesia. 

Terlalu banyak uang negara yang sia-sia, terhambur untuk mengurusi partai, para wakil rakyat, dan senator. Pantas saja mengapa tak ada pahlawan tersenyum di lembaran uang, andaikan mereka tahu siapa para penghambur itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar