Rabu, 22 Mei 2013

Freeport dan Kenakalannya


Freeport dan Kenakalannya
Wahyudin Munawir ;  Mantan Anggota Komisi VII DPRI (2004-2009)
REPUBLIKA, 21 Mei 2013

PT Freeport Indonesia (PT- FI)-penghasil emas dan tembaga terbesar di dunia-kini tengah mengalami musibah. Sebanyak 39 karyawannya terjebak karena ruangan dalam terowong an runtuh, Selasa (14/5) lalu. Sampai saat ini, dari 39 pekerja itu, yang selamat 11 orang, tewas 5 orang, dan sisanya 23 orang masih terperangkap dalam terowongan di area Big Gossan, Mimika. Kita berdoa dan berharap bahwa 23 karyawan tersebut bisa diselamatkan. 

Terlepas dari musibah tersebut, PTFI memang punya banyak masalah. Bukan sekadar tailingnya yang merusak hutan, menghancurkan sungai, dan mencemari laut di sekitarnya, hari-hari ini PTFI tengah menunjukkan kenakalannya: menolak membangun smelter di Indonesia. 

Padahal, pembangunan smelter untuk perusahaan tambang di Indonesia-apalagi sebesar Freeport-merupakan kewajiban sesuai amanat Undang-Undang tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Tujuan pembangunan smelter ini adalah untuk mengubah bahan mineral hasil tambang menjadi bahan setengah jadi. Harapan pemerintah mengeluarkan aturan ini agar nilai jual mineral meningkat sehingga memberikan keuntungan lebih besar bagi pemerintah. Namun, apa daya! PTFI menolaknya. 

Penolakan tersebut jelas membuat pemerintah kesal. Ini karena aturan pembangunan smelter telah tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 7 Tahun 2012 yang merupakan turunan dari UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009. Berdasarkan aturan yang tertuang dalam permen tersebut, semua pengusaha mineral harus membangun smelter agar mendapat izin ekspor ke luar negeri. 

Saat ini, sebanyak 158 pengusaha mineral siap membangun smelter. Pemerintah memberi kelonggaran waktu sampai 2014 untuk perusahaan tambang yang akan membangun instalasi pengolah an tersebut. Jika tidak, operasinya disetop. Persoalannya, bisakah pemerintah menyetop operasi PTFI yang kaya raya dan dekat dengan elite penguasa itu?

Sebagai gambaran, kita lihat bagaimana tingkah laku Freeport di Papua. Ia punya aturan sendiri, punya pelabuhan sendiri, punya lapangan terbang sendiri, punya aturan lalu lintas sendiri, dan punya standar operasi kerja sendiri. Memang, kadang apa yang dilakukannya baik, tapi lebih banyak merugikannya.
Maklumlah, yang namanya korporasi, tujuan utamanya adalah untung. Untuk mendapatkan keuntungan itu, apa pun akan ditempuh Freeport, termasuk memanipulasi hasil tambang maupun biaya operasional tambang.
Amien Rais pernah mempertanyakan bahwa pernahkan hasil tambang Freeport diaudit? Berapa ribu ton hasil emasnya, berapa hasil tembaganya? Lalu, berapa bagian negara, bagaimana pajaknya? Semuanya masih gelap sampai hari ini.
Kini, Freeport menolak aturan pemerintah untuk membangun smelter. Javier Targhetta, vice president of Marketing and Sales Freeport McMoran, induk PTFI, menyatakan ia enggan membangun smelter karena membutuhkan biaya besar, tapi keuntungannya kecil. Biaya penyulingan yang besar ditambah anjloknya harga komoditas membuat bisnis smelter menjadi sulit.

Presiden Direktur PTFI Rozik Boedioro Soetjipto menyatakan pembangunan smelter membutuhkan investasi 1 miliar dolar AS hingga 1,5 miliar dolar AS dengan kapasitas terpasang 300 ribu ton per tahun. Menurutnya, bila dikalkulasi, investasi untuk smelter ini kurang menguntungkan. Benarkah pendapat Rozik?
Kurang menguntungkan, jelas bukan berarti tidak menguntungkan. 

Keuntungannya mungkin kecil dilihat dari segi investasi, tapi keuntungan `sampingannya' cukup besar. Misalnya, penyerapan tenaga kerja, pembelajaran bagi pengusaha tambang mineral, dan peningkatan SDM bagi tenaga kerja Indonesia. Dengan demikian, alasan Rozik bahwa pembangunan smelter kurang menguntungkan tidak bisa dibenarkan. Lebih dari itu, pemerintah sendiri sudah memberikan solusi terhadap alasan PTFI di atas. Kementerian ESDM menyarankan PTFI bekerja sama dengan perusahaan lain dalam membangun smelter. PTFI bisa menggandeng salah satu perusahaan smelter yang saat ini kekurangan dana, salah satunya PT Nusantara Smelting. 

Jika PTFI punya niat baik, seharusnya tidak ada penolakan sebab masih ada peluang kerja sama dengan perusahaan lain untuk membangun smelter. Akan tetapi, jika PTFI tetap bandel, pemerintah harus menunjukkan ketegasannya. Tepat apa yang dikatakan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia Poltak Sitanggang bahwa pembangkangan yang ditunjukkan Freeport menjadi bukti bahwa perusahaan itu harus hengkang dari Indonesia. Persoalannya, sekali lagi, PTFI sejak lama dikenal nakal dan tertutup. Ini terjadi karena PTFI telah lama menikmati kondisi menjadi anak emas pemerintah sehingga `kenakalannya' terpelihara. 

Sekarang, ketika pemerintah berusaha meningkatkan `keuntungan' dari mineral yang digali dari bumi Indonesia dengan cara mewajibkan setiap perusahaan tambang membangun smelter sekaligus meningkatkan SDM dalam bidang pengolahan mineral, PTFI yang telah berdiri sejak 1967, ternyata menolak. Kalau begitu, mana sumbangsih keberadaan PTFI selama 46 tahun untuk peningkatan kualitas SDM dan kemakmuran rakyat Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar