Jumat, 17 Mei 2013

Blusukan Polisi


Blusukan Polisi
Herie Purwanto ;  Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal) 
SUARA MERDEKA, 16 Mei 2013


SEORANG kapolsek di Jakarta  mendapat penghargaan dari kapolres terkait dengan kebiasaannya sering blusukan ke rumah-rumah warga, menyapa komunitas, dan berdialog. Sang kapolsek itu juga membagi-bagikan kartu nama kepada warga dengan meninggalkan pesan supaya menghubungi dirinya bila ada permasalahan terkait dengan keamanan, atau warga itu membutuhkan pelayanan kepolisian.

Apa yang dilakukan kapolsek di Jakarta itu kini sedang giat-giatnya dilaksanakan, sebagai salah satu program unggulan Polda Metro Jaya di bawah pimpinan Irjen Bayu Putut Bayuseno. Alasan Kapolda menggalakkan program itu bukan meniru blusukan ala Gubernur Jokowi melainkan mendasarkan pada beberapa alasan.

Pertama; kehadiran polisi di tengah masyarakat merupakan salah satu upaya preventif  atau pencegahan terhadap kemunculan kejahatan. Hipotesisnya adalah polisi bisa mengisi ruang kosong terkait kesempatan bagi orang yang punya niat jahat. Dalam literatur kriminologi, Carl Manheim menulis terjadinya kejahatan karena tidak tercegahnya niat jahat seseorang ketika kesempatan berbuat jahat itu ada. Kehadiran polisi akan menjadi sosok yang bisa mengurangi kesempatan tadi, dan sebaliknya ketiadaan polisi akan membuka  peluang bagi terjadinya kejahatan.

Selama ini, pengungkapan tindak pidana membutuhkan kerja keras dan biaya operasional yang tidak sedikit, terlebih bila kejahatan tersebut bermodus dan bermobilitas tinggi. Dalam konteks ini maka upaya preventif atau pencegahan ala blusukan kapolsek tadi menjadi pilihan rasional.

Kedua; kemenguatan kesadaran pada kalangan polisi bahwa mencegah kejahatan lebih baik ketimbang mengungkapnya. Data valid di kepolisian, tidak pernah ada satuan polisi setingkat polres yang bisa 100 persen menyelesaikan pengungkapan kasus yang dilaporkan oleh masyarakat. Seandainya ada, besar kemungkinan angka total crime di polres itu rendah. Tanpa menafikan angka keberhasilan, polres setingkat Polrestabes Semarang pun, mustahil bisa mengungkap semua kasus sebagaimana yang dilaporkan masyarakat.

Ambiguitas Peran

Ketiga; adanya persepsi pencitraan Polri yang kurang menguntungkan sebagai konsekuensi ambiguitas peran sebagai pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat yang sekaligus dihadapkan pada peran sebagai penegak hukum. Ketika polisi berperan sebagai penegak hukum yang dihadapi adalah korban dan tersangka. Bagi pihak tersangka apa yang dilakukan  polisi bisa membuka peluang pada sikap tidak suka, dan sebaliknya bagi pihak korban bisa jadi polisi itu menjadi pahlawan. 

Bagi polisi, membuat citra yang baik menjadi sulit ketika dihadapkan kegiatan represif seperti penindakan preman atau menilang pelanggar lalu lintas. Terhadap pelanggar lalu lintas dia bisa menghadirkan citra kurang, bahkan tidak baik, bila dalam proses represif  tadi terjadi penyalahgunaan wewenang, seperti terunggah pada Youtube beberapa waktu lalu dengan setting polisi lalu lintas di Bali. 

Kembali pada pola blusukan kapolsek di Jakarta, bila itu dilakukan oleh semua polisi, bisa diibaratkan pemasangan iklan, dan rating polisi akan naik. Sesuatu yang sederhana namun mempunyai implikasi  besar dan hasil signifikan bagi pencitraan. Polisi tidak perlu bersusah-payah menyusun strategi agar masyarakat mencintai, namun kehadiran, kehangatan, tutur sapa, dan kesiapan diri menjadi problem solver sudah bisa  menjadi solusi, dan dengan sendirinya masyarakat merasa dekat dan mencintai polisi. 

Bila semua polisi menyadari dirinya merupakan bagian dari problem solver, tentu ia akan terpanggil untuk rajin blusukan, dari rumah ke rumah, dari komunitas ke komunitas, minimal pada radius tempat tinggal dan tempat tugasnya. Bila itu dilaksanakan, ia bisa mendapat informasi aktual secara langsung dari tangan pertama. Dalam era media seperti sekarang, siapa menguasai informasi maka ia akan menang. Menang dalam segala hal, bagi polisi berarti kemenangan meraih citra dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar