Survei Pendidikan
|
KOMPAS,
06 Mei 2013
Praktik
sistem pendidikan nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses
demokratisasi negara. Pascareformasi, semangat memperbaiki sistem pendidikan
menguat seiring membesarnya kewenangan daerah di era otonomi. Hasil survei
menunjukkan, kebijakan pemerintah bidang pendidikan memperoleh apresiasi cukup
tinggi dari para guru yang menjadi responden.
Terkait
pelaksanaan kurikulum saat ini, yakni Kurikulum 2006, tujuh dari setiap 10
responden menyatakan puas terhadap pelaksanaannya. Tingkat kepuasan terhadap
pelaksanaan Kurikulum 2006 lebih tinggi daripada terhadap Kurikulum 2004 yang
lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Di
mata responden, Kurikulum 2004 cenderung menyeragamkan kurikulum di seluruh
Indonesia dan kurang menghargai keunggulan lokal. Kurikulum 2006, yang
merupakan penyempurnaan kurikulum sebelumnya, dinilai menjadi pedoman penyelenggaraan
pendidikan yang demokratis.
Namun,
kepuasan itu tampak merupakan wacana permukaan. Keterbatasan kemampuan guru
menjabarkan struktur kurikulum menyebabkan penerapan Kurikulum 2006 bolong di
sejumlah lini. Ada kesenjangan yang tercipta antara konsep ideal visioner dan
kemampuan guru menerjemahkan menjadi rencana pengajaran.
Kurikulum
2006 dikenal dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Secara
yuridis, KTSP diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Apabila
ditelusuri lebih lanjut, setidaknya terdapat dua persoalan yang menyebabkan
muatan konsep demokratisasi pendidikan dalam Kurikulum 2006 berjalan limbung.
Persoalan pertama terkait dengan kesiapan guru sebagai ujung tombak kegiatan
pendidikan di sekolah. Kurun tujuh tahun pelaksanaan Kurikulum 2006 tidak
serta-merta membuat guru memahami konsep dan isi kurikulum ini secara optimal.
Pola penerapan KTSP terbentur pada masih minimnya kemampuan guru dan sekolah.
Survei
memperlihatkan, hanya separuh bagian responden yang memahami isi kurikulum
dengan baik. Kelompok ini terutama dari kalangan kepala sekolah dan guru kelas.
Separuh lain, terutama dari kelompok guru bidang, cenderung hanya mengetahui
garis besarnya. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara pemahaman guru
sertifikasi dan tidak bersertifikasi, dari sekolah favorit berakreditasi A
ataupun sekolah berakreditasi B dan C.
Kebanyakan
guru merupakan tipe mediocre dengan kemampuan pas-pasan yang cenderung
satu arah dan belum kreatif ”menerjemahkan” kurikulum. Padahal, gagasan ideal
KTSP mengharapkan lahirnya kebaruan pemikiran yang berbasis pada lokalitas.
Dalam KTSP, seorang guru dituntut untuk lebih kreatif dalam menjalankan
pendidikan. Artinya, dengan keterbatasan tingkat pemahaman guru terhadap KTSP,
sulit mengharapkan munculnya kreativitas pendidikan dari dalam kelas.
Evaluasi
Persoalan
kedua terkait dengan muatan struktur KTSP yang dinilai terlalu padat. Tiga dari
empat responden menilai, KTSP terlalu sesak yang ditunjukkan dengan banyaknya
mata pelajaran dan materi yang terlalu luas. Kesukarannya juga dinilai
melampaui tingkat perkembangan usia anak.
Bagi
siswa SD, ada 10 mata pelajaran, termasuk muatan lokal dan pengembangan diri,
dengan porsi hingga 36 jam per minggu. Siswa SMP memiliki 12 mata pelajaran,
termasuk muatan lokal serta Teknologi Informasi dan Komunikasi, dengan porsi 38
jam per minggu. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat hanya ada empat subyek
sebagai inti kurikulum di SD, yakni bahasa, matematika, ilmu sosial, dan
pengetahuan alam.
Beban
kurikulum masih ditambah dengan standar evaluasi lulusan melalui mekanisme
ujian nasional (UN) yang mengukur mutu sekaligus menentukan kelulusan siswa. UN
dipandang cenderung membatasi siswa dan guru yang berminat mengeksplorasi
pengetahuan di luar materi yang diujikan. Sebagian besar responden menilai, UN
tidak relevan menggambarkan pencapaian pendidikan nasional secara utuh, yang
meliputi mental, spiritual, dan intelektual. Keluhan ini terutama disuarakan
para guru dari sekolah swasta (66,9 persen), sementara guru di sekolah negeri
cenderung gamang menyikapi.
Gamang
Rencana
peralihan kurikulum dari KTSP menjadi Kurikulum 2013 tak urung menerbitkan
tanda tanya bagi sebagian guru responden. Hal ini terkait dengan kegamangan
para guru melihat kenyataan mereka sehari-hari yang masih jauh dari kata siap
dalam menjalankan praktik pengajaran yang bersifat tematik dalam Kurikulum
2013. Dua dari lima responden tidak yakin bahwa rencana peralihan kurikulum
menjadi cara yang tepat meningkatkan mutu pendidikan.
Apalagi,
dalam praktiknya, ”nasib” guru sekolah saat ini sangat ditentukan kebijakan
dinas pendidikan di setiap daerah. Hal yang paling menjadi pertanyaan para guru
adalah, jika KTSP yang dinilai ”baik” belum dievaluasi plus dan minus
pelaksanaannya, mengapa sudah buru-buru mau menerapkan kurikulum baru? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar