Senin, 06 Mei 2013

Hardiknas


Hardiknas
Sarlito Wirawan Sarwono ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 05 Mei 2013


Beberapa hari lalu di Bekasi Utara seorang pengamen jalanan berumur delapan tahun menewaskan temannya, bocah tetangganya yang berumur enam tahun. Si pengamen minta kembali duit Rp1.000 yang pernah dipinjamkannya kepada si bocah. 

Si bocah menjawab, “Uang segitu aja ditagih?” Si pengamen merasa dilecehkan dan baku kelahilah dua anak itu, disaksikan kawan-kawan mereka yang ada di situ. Karena lebih besar, si pengamen berhasil mencemplungkan lawannya ke sebuah kolam bekas galian di dekat situ. Tetapi, si pengamen bukan hanya mencemplungkan, melainkan menenggelamkan si bocah berkali-kali sampai tewas. 

Komentar para pakar atas kejadian ini dan hampir semua media pada umumnya mencari penyebabnya. Maka muncullah pendapat-pendapat seperti “gara-gara uang Rp1.000”, “terlalu banyak menonton televisi tentang kekerasan”, “keluarga broken home”, “orang tuanya tidak perhatikan anak”, dan sebagainya. Tetapi, hampir tidak ada yang menyebut faktor gagalnya pendidikan sebagai penyebab kasus Bekasi Utara itu. 

Banyak, sangat banyak kasus lain di Indonesia yang menimbulkan banyak sekali korban benda, harta, bahkan nyawa seperti itu yang disebabkan gagalnya pendidikan di Indonesia. Geng motor yang tidak takut pada polisi dan warga, tawuran antarpreman berebut lahan parkir, kantor polisi di bakar warga gara-gara polisi menangkap maling yang tertangkap tangan, puluhan kasus KPK, 

Susno Duadji malah kabur ketika akan dieksekusi (malah ngledek aparat lewat YouTube yang diunggah dari tempat persembunyiannya), terorisme yang membantai orang-orang tak berdosa, dan seterusnya. Itu semua berasal dari gagalnya pendidikan.
Mukadimah UUD 1945 antara lain menyebutkan sebagai berikut, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ... dan seterusnya”. 

Tampaknya kata-kata “mencerdaskan” ini ditafsirkan oleh banyak orang (termasuk para orang tua dan pemerintah) sebagai memintarkan anak di sekolah. Apalagi kalau anak itu pintar di ilmu pasti, Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Maka Kemendikbud merancang berbagai program sekolah yang bisa mendorong anak jadi pintar dan kemudian diuji dengan ujian nasional. 

Maka para orang tua, guru, maupun murid berlomba-lomba untuk memenuhi target untuk lulus UN. Kalau perlu, tujuan menghalalkan cara. Kepala sekolah dan guru membantu murid mencarikan bocoran soal, orang tua memberi uang untuk membeli bocoran, anak-anak distop hobinya agar fokus belajar, para murid pun stres, takut tidak lulus. Apalagi murid yang melihat kawan-kawannya sudah mengantongi bocoran soal, padahal dirinya sendiri belum, karena orang tuanya tidak punya uang, bisa jadi murid itu bunuh diri karena frustrasi. 

Karena itulah, Mahkamah Agung pada 2009 pernah mengukuhkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tahun 2007, yang mengharuskan pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional sebelum melaksanakan UN. Tetapi, alih-alih memperbaiki, pelaksanaan UN 2013 justru lebih amburadul. Di sisi lain, ada sebagian masyarakat yang berpikir bahwa pendidikan tidak penting. Kalau anak sudah bisa menghasilkan duit, langsung saja diorbit. 

Misalnya group boyband cilik Coboy Junior. Lewat kedigdayaan industri musik, anak-anak ABG ini harus membolos sekolah entah untuk berapa lama guna melantunkan lagu-lagu yang segera ngetop, termasuk lagu Kamu, dengan liriknya “... cinta pada pandang pertama....”. Ada lagi yang namanya Tegar. Dia bekas pengamen jalanan (sama dengan pelaku kasus Bekasi Utara), tetapi entah bagaimana dia masuk dapur rekaman, dikarbit sebentar, dan langsung mengorbit dengan lagu hitnya Aku yang Dulu Bukanlah Aku yang Sekarang, dan liriknya “... cita-citaku menjadi orang kaya...”. 

Menjadi orang kaya sama sekali tidak ada salahnya. Agama (Islam) pun menyuruh umatnya menjadi orang kaya agar tidak menyusahkan orang lain, dan terutama agar bisa sebanyak-banyaknya bersedekah agar bermaslahat buat orang lain. Tetapi, orang tidak hanya perlu pintar atau kaya atau pintar dan kaya. Gayus dan Susno Duadji adalah orang-orang pintar dan kaya. Tetapi, perilakunya tidak seperti perilaku orang yang berakhlak tinggi. 

Dalam perkembangan psikologi sekarang, dalam teori Multiple Intelligence, yang namanya kecerdasan bukan hanya kepintaran atau kecerdasan intelektual (IQ), tetapi meliputi juga berbagai macam kecerdasan seperti kecerdasan sosial, kecerdasan gerak, kecerdasan emosi, kecerdasan musikal, kecerdasan alam, kecerdasan spiritual, dan sebagainya. Karena itu, upaya mencerdaskan bangsa harus meliputi sebanyak mungkin tipe-tipe kecerdasan itu. 

Mereka yang kebetulan kurang dalam kecerdasan intelektual mungkin punya kecerdasan musikal atau kecerdasan gerak yang luar biasa sehingga mereka bisa menjadi musisi sekelas Chrisye atau Titiek Puspa (berani taruhan popularitas Coboy Junior dan Tegar tidak akan bertahan lama) atau menjadi pesepakbola sekelas Lionel Messi atau penyanyi-penari sekelas Agnes Monica. Tetapi, terlepas dari semua kecerdasan yang lain, kecerdasan akhlak tentu bisa dikembangkan pada semua orang. 

Tanpa akhlak, orang sepandai atau sekaya apa pun hanya akan menyusahkan atau bahkan mengacaukan masyarakat. Akhlak bukan agama dan bukan budi pekerti saja. Kalimat-kalimat Ki Hajar Dewantara “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” adalah kalimat-kalimat pendidikan paripurna, termasuk pendidikan akhlak.

Sekarang, kalau kita cermati unjuk rasa besar-besaran 1 Mei (May Day) yang lalu, yang pas sehari sebelum Hardiknas 2 Mei, di luar tuntutan kenaikan UMR, menolak outsourcing, dan minta libur nasional untuk tanggal 1 Mei, adakah pesan-pesan akhlaknya (tekad untuk bekerja lebih keras, lebih profesional, lebih jujur, dan sebagainya? Sayang sekali, tidak ada!

Selamat Hari Buruh Internasional dan Selamat Hari Pendidikan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar