Jumat, 17 Mei 2013

KPK : Antara Hukum dan Politik


KPK : Antara Hukum dan Politik
Ichsanuddin Noorsy ;  Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) 
SUARA KARYA, 16 Mei 2013


Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu menegaskan lembaganya tidak mau diseret-seret ke politik. Bahkan, dengan percaya diri, KPK menyatakan keputusan politik berbeda dengan keputusan hukum.

Argumen KPK seperti itu mengundang pertanyaan mendalam sekaligus memberi pesan kepada publik tentang sikap KPK. Apa yang dimaksud KPK tidak mau diseret-seret ke kancah politik, tidak dimengerti. Semua kasus korupsi berhubungan dengan penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di AS dan Singapura sekalipun, korupsi yang menyogok pihak penguasa selalu menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan pihak yang disuap.

Pertanyaannya sekarang apakah pihak yang berkuasa itu berani menghadapi kenyataan bahwa ada unsur yang mencederai nama baik partai dan merusak kepercayaan publik akibat tindakan korupsi? Tentu tidak! Apalagi, kalau partai itu menggunakan slogan cerdas, bersih, dan santun. Apakah dengan alasan tidak mau diseret ke kancah politik, lantas KPK menjadi independen terhadap kekuasaan? Itu tidak juga. 

Dalam debat di sebuah radio swasta yang disebarluaskan secara nasional, saya mengatakan ketidakinginan diseret ke kancah politik itu justru menunjukkan KPK masuk ke ranah politik melalui politik penyelidikan dan penyidikan. Maksudnya, dengan mengajukan pertanyaan tertentu disebabkan tujuan tertentu, maka jawaban terperiksa bisa menunjukkan empat hal.

Pertama, diajukan pertanyaan yang memenuhi kepentingan politik sehingga jawaban tidak menemukan unsur tindak pidana korupsi atau pencucian uang. Kedua, diajukan pertanyaan tertentu yang bermaksud tidak menyinggung penguasa. Jawabannya, ditemukan bukti tapi tidak memadai atau dikenal dengan bukti yang sumir. Ketiga, pertanyaan terfokus pada tindak pidana korupsi, tapi ada mata rantai yang hilang antara subjek hukum dan objek hukum. Keempat, penyelidikan sejak awal memang dimaksudkan sebagai konsumsi politik sehingga sangat tergantung pada subjektivitas penguasa.

Oleh sebab itu, penegak hukum diminta untuk tidak memakai kacamata kuda yuridis formal. Benar bahwa persoalan pidana hanya berpijak pada hukum positif. Tetapi, saat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta vonis tidak menggunakan hati nurani yang tidak bisa membohongi setiap pribadi, kecuali memang sengaja diabaikan, maka hukum gagal mencerminkan dan menumbuhkembangkan rasa keadilan. Di sana hukum ditransaksikan, baik secara material (uang dan kekayaan) maupun jabatan.

Sekadar mengingatkan, perilaku kekuasaan dan penegak hukum seperti itu akan berakhir secara tidak menyenangkan, apalagi menenteramkan. Penguasa dan penegak hukum sepantasnya berupaya agar jabatannya memberi martabat dan pangkatnya mampu membangun rasa hormat. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka begitu mendalamnya kerusakan moral kekuasaan.

Karena, saya menyerahkan banyak dokumen ke penegak hukum pada berbagai kasus terindikasi korupsi sejak 2000 hingga 21 November 2008, baik ke Kejaksaan Agung maupun ke KPK. Maka politik penyelidikan sangat menentukan tinggi rendahnya muatan rasa keadilan masyarakat yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.

Begitu proses penyidikan dan proses di pengadilan hingga vonis, sangat tergantung pada kedalaman dan atau kedangkalan adopsi dan adaptasi rasa keadilan masyarakat. Makin dalam muatan kepentingan politik penguasa dan subjektivitas pemeriksa, makin dangkal rasa keadilan masyarakat diadopsi dan diadaptasi. 

Apalagi, jika penegak hukum berkilah-kilah pada istilah-istilah hukum yang muatannya justru mengaburkan yuridis filosofis dan menenggelamkan yuridis sosiologis. Masyarakat akan merasakan bahwa rekayasa hukum sedang dilakukan demi kredibilitas penguasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar