|
SUARA
KARYA, 16 Mei 2013
Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) selalu menegaskan lembaganya tidak mau diseret-seret ke politik. Bahkan,
dengan percaya diri, KPK menyatakan keputusan politik berbeda dengan keputusan
hukum.
Argumen KPK seperti itu mengundang
pertanyaan mendalam sekaligus memberi pesan kepada publik tentang sikap KPK.
Apa yang dimaksud KPK tidak mau diseret-seret ke kancah politik, tidak
dimengerti. Semua kasus korupsi berhubungan dengan penyalahgunaan kewenangan
atau kekuasaan. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di AS dan Singapura
sekalipun, korupsi yang menyogok pihak penguasa selalu menunjukkan
penyalahgunaan kekuasaan pihak yang disuap.
Pertanyaannya sekarang apakah
pihak yang berkuasa itu berani menghadapi kenyataan bahwa ada unsur yang
mencederai nama baik partai dan merusak kepercayaan publik akibat tindakan korupsi? Tentu tidak! Apalagi, kalau partai
itu menggunakan slogan cerdas, bersih, dan santun. Apakah dengan alasan tidak
mau diseret ke kancah politik, lantas KPK menjadi independen terhadap
kekuasaan? Itu tidak juga.
Dalam debat di
sebuah radio swasta yang disebarluaskan secara nasional, saya mengatakan
ketidakinginan diseret ke kancah politik itu justru menunjukkan KPK masuk ke
ranah politik melalui politik penyelidikan dan penyidikan. Maksudnya, dengan
mengajukan pertanyaan tertentu disebabkan tujuan tertentu, maka jawaban
terperiksa bisa menunjukkan empat hal.
Pertama, diajukan pertanyaan yang
memenuhi kepentingan politik sehingga jawaban tidak menemukan unsur tindak
pidana korupsi atau pencucian uang. Kedua, diajukan pertanyaan tertentu yang
bermaksud tidak menyinggung penguasa. Jawabannya, ditemukan bukti tapi tidak
memadai atau dikenal dengan bukti yang sumir. Ketiga, pertanyaan terfokus pada
tindak pidana korupsi, tapi ada mata rantai yang hilang antara subjek hukum dan
objek hukum. Keempat, penyelidikan sejak awal memang dimaksudkan sebagai
konsumsi politik sehingga sangat tergantung pada subjektivitas penguasa.
Oleh sebab itu, penegak hukum
diminta untuk tidak memakai kacamata kuda yuridis formal. Benar bahwa persoalan
pidana hanya berpijak pada hukum positif. Tetapi, saat penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan serta vonis tidak menggunakan hati nurani yang tidak bisa
membohongi setiap pribadi, kecuali memang sengaja diabaikan, maka hukum gagal
mencerminkan dan menumbuhkembangkan rasa keadilan. Di sana hukum
ditransaksikan, baik secara material (uang dan kekayaan) maupun jabatan.
Sekadar mengingatkan, perilaku
kekuasaan dan penegak hukum seperti itu akan berakhir secara tidak
menyenangkan, apalagi menenteramkan. Penguasa dan penegak hukum sepantasnya berupaya
agar jabatannya memberi martabat dan pangkatnya mampu membangun rasa hormat.
Jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka begitu mendalamnya kerusakan moral
kekuasaan.
Karena, saya menyerahkan banyak
dokumen ke penegak hukum pada berbagai kasus terindikasi korupsi sejak 2000
hingga 21 November 2008, baik ke Kejaksaan Agung maupun ke KPK. Maka politik
penyelidikan sangat menentukan tinggi rendahnya muatan rasa keadilan masyarakat
yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.
Begitu proses penyidikan dan
proses di pengadilan hingga vonis, sangat tergantung pada kedalaman dan atau
kedangkalan adopsi dan adaptasi rasa keadilan masyarakat. Makin dalam muatan
kepentingan politik penguasa dan subjektivitas pemeriksa, makin dangkal rasa
keadilan masyarakat diadopsi dan diadaptasi.
Apalagi, jika penegak hukum
berkilah-kilah pada istilah-istilah hukum yang muatannya justru mengaburkan
yuridis filosofis dan menenggelamkan yuridis sosiologis. Masyarakat akan
merasakan bahwa rekayasa hukum sedang dilakukan demi kredibilitas penguasa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar