|
SUARA
KARYA, 16 Mei 2013
Kemerdekaan ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Kalimat itu merupakan
teori kebebasan dan hak setiap manusia yang tersirat dalam UUD 1995, di mana
teori ini bisa kita jadikan landasan bahwa sebenarnya manusia diciptakan dalam
keadaan bebas dan sifat manusia yang berkembang.
Ini jika kita mengacu kepada
sebuah teori dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Sejak bangsa
Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945 adalah awal di mana kebebasan mulai sedikit
dirasakan oleh masyarakat dan sejak itu pula masyarakat bisa hidup berkembang
karena telah bebas dari penjajahan kolonialisme Belanda.
Harus kita akui bahwa hakikat
manusia merupakan makhluk yamg memiliki dua dorongan jika kita mengacu kepada
konsep manusia menurut Karl Marx.
Pertama, menusia memiliki dorongan
konstan, hal ini merupakan sebuah orientasi kebebasan yang bersifat lahiriah
dan setiap manusia memiliki rasa atau dorongan konstan yang sama. Misalnya,
dorongan untuk melakukan hubungan seksual, setiap manusia memiliki dorongan
yang sama akan hal ini terkecuali orang yang cacat mental. Atau, dorongan untuk
makan, semua manusia mengalami lapar atau rasa yang menggelisahkan jika
dibenturkan dengan keadaan lapar. Inti daripada dorongan ini adalah bahwa
setiap manusia memiliki hak dan keinginan yang sama untuk hidup.
Kedua, dorongan lingkungan yang
berorientasi kepada perkembangan atau ekpresi yang ingin direalisasikan oleh
setiap manusia dalam kehidupan masing-masing. Karena, ekspresi atau perkembangan
yang dilakukan oleh menusia dalam hidupnya mengikuti atau sesuai dengan
dorongan lingkungan yang mereka alami.
Kedua hal di atas akan dapat
dilakukan manusia jika sudah melalui prinsip dasar keaadaan dan kesadaran.
Keadaan dan kesadaran merupakan dua sudut yang saling berkesinambungan kerena
manusia tidak akan pernah sadar dan tidak pernah mau untuk berkembang jika
mereka tidak mampu merasakan keadaan di sekitarnya.
Negara sebagai organisasi yang
betugas untuk memerdekaan dan memberikan ruang ekpresi kapada menusia atau
masyrakatnya memiliki tanggung jawab untuk merelisasikan apa yang telah menjadi
potensi dan bakat masyarakat untuk dikembangkan agar bisa memperbaiki sistem
sosial yang telah ada. Tapi, pada kenyataanya negara tidak mampu merealisasikan
apa yang telah dicita-citakan oleh sebuah teori yang membicarakan hakikat
manusia tersebut. Terutama, di negara-negara dunia ke-3 yang masih dalam tahap
berkembang.
Negara kelas mungkin adalah
istilah yang tepat untuk menggambarkan peran dan fungsi negara untuk
menyediakan ruang dan memberikan hak kepada manusia atau masyarakatnya. Hal ini
dikarenakan ada sebagian kelas masyarakat yang merasakan keterasingan dari
lingkungan sosial akibat ketimpangan sistem piranti-piranti sosial yang tidak
representatif lagi untuk memberikan hak dan menciptakan ruang bagi rakyatnya
untuk berekspresi. Misalanya, sistem ekonomi politik yang dijalankan oleh suatu
nagara yang berorientasi kepada ekonomi dan memutarbalikkan hakikat manusia
sebagai penggerak sistem sosial secara keseluruhan.
Indonesia, misalnya, adalah salah
satu negara yang gagal memberikan hak dan menciptakan ruang berekpresi bagi
masyarakatnya. Hal ini terbukti semakin maraknya konflik buruh dan petani
(kelas proletariat) dengan para pemilik modal (kelas kapital) akibat
ketimpangan sistem yang dijalankan oleh piranti sosial tersebut.
Ironisnya, kegagalan tersebut
bukan saja disebabkan oleh pihak pemilik modal, tetapi juga oleh pemangku
kebijakan yang melegitimasi ketimpangan sistem dengan UU atau aturan tertulis.
Dengan demikian, masyarakatnya tidak mendapatkan hak dan tidak menemukan ruang
berekspresi dalam lingkungan sekitar. Atau, lebih tepatnya, kebijakan tersebut
bertentangan dengan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi negara Indonesia.
Bukti konkrit legitimasi hukum
yang menyebabkan hilangnya hak dan ruang bagi masyarakat untuk berekpresi
adalah Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) Tahun 1967, di mana UU
tersebut menyebabkan hilangnya sebagian hak masyarakat untuk mengelola tanah
dan kekayaan alam di Indonesia yang telah jelas diatur dalam UUD 1945 pasal 33.
Ini akibat para investor asing berlomba-lomba menanamkam modal untuk
mendapatkan kekayaan alam Indonesia.
Kemudian, Peraturan Presiden No.
36 Tahun 2005 yang mengatur pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur.
Bila dicermati, hal tersebut menghilangkan sebagian ruang petani untuk
berekpresi demi mengembangkan hasil produksi pangan yang menjadi peran petani
dalam menjaga ketahanan pangan negara Indonesia yang sampai sekarang masih
diakui sebagai negara agraris.
Kemudian, sebagian realita di atas
menghadirkan pertanyaan, apakah negara Indonesia memberikan hak dan mencitakan
ruang berekpresi bagi masyarakatnya jika keterasingan manusia mendapatkan
legitimasi hukum seperti dijelaskan di atas? Dan, apakah benar setiap sistem
sosial yang dijalankan dan dikendalikan negara Indonesia adalah merupakan
perjuangan antar-kelas penindas dan kelas tertindas? Jika memang benar di
manakah ruang berekspresi masyarakat dan HAM di Indonesia jika mengacu pada UUD
1945 yang menegaskan bahwa negara betanggung jawab akan hal itu.
Sejak awal kemerdekaan negara
Indonesia, cita-cita mulia terhadap hakikat manusia sudah dimimpikan oleh para
pendiri bangsa. Tetapi, dampak arus globalisasi dan tergerusnya kebudayaan
akibat intermediasi sosial bangsa asing sebagai penganut ideologi kapitalisme
mengakibatkan negara bangsa ini kehilangan eksistensi rasional dan eksistensi
sosialnya, yang pada dasarnya itu adalah hak setiap manusia yang hidup dalam
sebuah negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar