Sabtu, 04 Mei 2013

Kembali ke UUD’45 yang Asli


Kembali ke UUD’45 yang Asli
Kukuh Setianegara ;  Pengamat Politik
SUARA KARYA, 03 Mei 2013

  
Harian Suara Karya edisi 30 April 2013 memuat hasil wawancara wartawannya dengan AP Batubara, anggota Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP. Hasil wawancara itu berisi paling tidak lima pendapat yang menarik untuk ditanggapi karena, antara lain ada yang berkandungan paradoks.

Pendapat pertama, AP Batubara mengemukakan, negeri ini tidak maju dan sejahtera, karena Presiden SBY telah mengingkari UUD 1945. Jika PDIP menang Pemilu 2014 dan Megawati terpilih sebagai presiden, konstitusi akan kembali ke naskah asli UUD 1945.

Paradoksnya, penentu utama terbitnya empat amandemen konstitusi tersebut adalah PDIP sendiri. Dalam Pemilu Legislatif pertama di era Reformasi, 7 Juni 1999, - pemilu itu dinilai paling jujur dan adil - justru pemenang peringkat pertama adalah PDIP, meraih suara 33,7 persen. Disusul peringkat dua sampai enam, yakni Golkar (22,4%), PKB (12,6%), PPP (10,7%), PAN (7,1%), PDI (0,62%). Partai Demokrat belum lahir.

Amandemen I terbit pada Sidang Umum MPR, Oktober 1999. Amandemen II, III, IV berturut-turut merupakan hasil Sidang Tahunan MPR pada Agustus 2000, November 2001 dan Agustus 2002. Dalam sidang-sidang MPR tersebut justru kontribusi PDIP paling signifikan. Jadi, jika ada yang mempersalahkan amandemen konstitusi sebagai penyebab kondisi buruk sekarang ini mestinya mempersalahkan penyumbang utamanya, yakni PDIP.

Pendapat kedua, narasumber wawancara itu mengatakan, jika Megawati terpilih menjadi presiden, Deperpu PDIP akan mengusulkan agar menteri-menteri yang ditunjuk haruslah orang-orang yang memiliki hati nurani, pintar, jujur dan sederhana. Usulan itu sangat baik. Namun, dari surat-surat kabar terbitan 2011-2014 - ketika Megawati menjadi presiden -, menurut penasihat ekonomi Presiden Megawati, Frans Seda, praktik KKN disinyalir tidak menurun, tapi justru makin meluas dan lebih parah dibanding era pemerintahan Orde Baru. Sementara temuan Menteri PPN/Kepala Bappenas yang juga Ketua DPP PDIP, Kwik Kian Gie, total uang negara yang dikorupsi setiap tahun mencapai ratusan triliun rupiah.

Masyarakat kita sudah semakin cerdas dan mengetahui benar bahwa sadar atau tidak, sebagian besar politisi kita adalah pengikut doktrin Machiavelli. Ia antara lain mengajarkan, "Seseorang penguasa tidak perlu melaksanakan janji-janji politiknya, bila dengan melaksanakannya bertentangan dengan kepentingan penguasa tersebut."

Pendapat ketiga, SBY tidak mengerti UUD 1945. SBY sudah menang mutlak dalam pemilu sehingga tidak perlu koalisi. Kalau Megawati terpilih sebagai presiden, menteri-menteri yang dipilih, bukan berdasarkan akomodasi parpol. Pendapat ini dapat terwujud jika baik dalam Pemilu Legislatif maupun Pilpres 2014, Megawati menang mutlak. Ketika Gus Dur menjadi presiden (20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001), hampir setiap hari digoyang oleh politisi non PKB. Dia tidak berdaya, karena kekuatan partainya di DPR hanya 10,2% dan di MPR 8,20%.

Kalau Megawati memenangkan suara terbanyak dalam Pilpres 2014 dan kemudian terpilih menjadi presiden, sementara dalam Pemilu Legislatif hanya, misalnya, meraih 20% suara, tanpa koalisi dengan beberapa parpol lain, pemerintahannya hampir pasti sama sekali tidak efektif.

Pendapat keempat, mekanisme pemilihan presiden dan wapres akan dikembalikan ke MPR. Tanpa pembatasan dicantumkan di konstitusi, seperti rumusan "Presiden dan Wapres memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan," dengan mekanisme seperti dikemukakan bahwa skenario Orde Lama dan Orde Baru kembali akan terulang. MPR dimungkinkan menetapkan presiden menjadi presiden seumur hidup, atau memilih calon yang sama sampai 7-8 kali masa jabatan.

Pendapat narasumber ke-5, anggota DPR dan MPR dipilih secara langsung dalam pemilu. Paradoksnya, gagasan seperti ini juga tidak sesuai naskah asli UUD 1945. Sesuai dengan naskah asli, anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan wakil-wakil golongan yang ditunjuk tanpa dipilih lewat pemilihan langsung oleh rakyat.
Amandemen konstitusi sudah berusia nyaris 14 tahun, tapi masih juga dipolemikkan. Pendukung amandemen meyakini perubahan itu justru untuk meluruskan UUD 1945 yang atas nama Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila telah diselewengkan rezim sebelumnya.

Isi pokok amandemen itu, antara lain presiden dan wapres dipilih langsung oleh rakyat dan hanya boleh memegang jabatannya maksimum dua kali. Pasal 28 dikembangkan menjadi Pasal 28 A sampai 28 J sebagai landasan konstitusional perlindungan HAM. Pasal 18 ayat (2), (5), (6), dan (7) jadi landasan penyelenggaraan otonomi daerah. Pasal 28 F mempertegas hak berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta hak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, serta mengolah dan menyampaikan informasi adalah hak konstitusional warga negara.

Sementara, sejumlah kalangan masih memimpikan kembalinya UUD 1945 yang asli. Mereka sepertinya merindukan, antara lain, presiden boleh seumur hidup, paling tidak boleh dipilih sampai 7 kali masa jabatan. TNI dan Polri boleh ber-dwi fungsi. Presiden dimungkinkan memonopoli kekuasaan. Melanggar HAM boleh demi menjaga stabilitas nasional. Kemerdekaan berserikat, berkumpul dan pers hanya berlaku untuk pendukung rezim.

Daripada terus-menerus memperdebatkan konstitusi, ada baiknya kita menyimak kata-kata bijak Lord Denning. Give me bad laws, but good judges, people will get justices; give me good laws, but bad judges, people will get injustices.

Persoalan utama negeri ini bukan terletak pada konstitusinya, yang masih bermasalah atau sudah sangat baik. Tapi, bagaimana mengubah pola pikir dan pola tindak elite bangsa, yakni pejabat, politisi dan pengusaha bermental korup menjadi berorientasi menaati tujuan kita bernegara. Yakni, melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan dan mencerdaskan bangsa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar