|
SUARA
KARYA, 03 Mei 2013
Harian Suara Karya edisi 30 April
2013 memuat hasil wawancara wartawannya dengan AP Batubara, anggota Dewan
Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP. Hasil wawancara itu berisi paling tidak lima
pendapat yang menarik untuk ditanggapi karena, antara lain ada yang berkandungan
paradoks.
Pendapat pertama, AP Batubara
mengemukakan, negeri ini tidak maju dan sejahtera, karena Presiden SBY telah
mengingkari UUD 1945. Jika PDIP menang Pemilu 2014 dan Megawati terpilih
sebagai presiden, konstitusi akan kembali ke naskah asli UUD 1945.
Paradoksnya, penentu utama
terbitnya empat amandemen konstitusi tersebut adalah PDIP sendiri. Dalam Pemilu
Legislatif pertama di era Reformasi, 7 Juni 1999, - pemilu itu dinilai paling
jujur dan adil - justru pemenang peringkat pertama adalah PDIP, meraih suara 33,7
persen. Disusul peringkat dua sampai enam, yakni Golkar (22,4%), PKB (12,6%),
PPP (10,7%), PAN (7,1%), PDI (0,62%). Partai Demokrat belum lahir.
Amandemen I terbit pada Sidang
Umum MPR, Oktober 1999. Amandemen II, III, IV berturut-turut merupakan hasil Sidang
Tahunan MPR pada Agustus 2000, November 2001 dan Agustus 2002. Dalam
sidang-sidang MPR tersebut justru kontribusi PDIP paling signifikan. Jadi, jika
ada yang mempersalahkan amandemen konstitusi sebagai penyebab kondisi buruk
sekarang ini mestinya mempersalahkan penyumbang utamanya, yakni PDIP.
Pendapat kedua, narasumber
wawancara itu mengatakan, jika Megawati terpilih menjadi presiden, Deperpu PDIP
akan mengusulkan agar menteri-menteri yang ditunjuk haruslah orang-orang yang
memiliki hati nurani, pintar, jujur dan sederhana. Usulan itu sangat baik.
Namun, dari surat-surat kabar terbitan 2011-2014 - ketika Megawati menjadi
presiden -, menurut penasihat ekonomi Presiden Megawati, Frans Seda, praktik
KKN disinyalir tidak menurun, tapi justru makin meluas dan lebih parah
dibanding era pemerintahan Orde Baru. Sementara temuan Menteri PPN/Kepala
Bappenas yang juga Ketua DPP PDIP, Kwik Kian Gie, total uang negara yang
dikorupsi setiap tahun mencapai ratusan triliun rupiah.
Masyarakat kita sudah semakin
cerdas dan mengetahui benar bahwa sadar atau tidak, sebagian besar politisi
kita adalah pengikut doktrin Machiavelli. Ia antara lain mengajarkan, "Seseorang penguasa tidak perlu
melaksanakan janji-janji politiknya, bila dengan melaksanakannya bertentangan
dengan kepentingan penguasa tersebut."
Pendapat ketiga, SBY tidak
mengerti UUD 1945. SBY sudah menang mutlak dalam pemilu sehingga tidak perlu
koalisi. Kalau Megawati terpilih sebagai presiden, menteri-menteri yang
dipilih, bukan berdasarkan akomodasi parpol. Pendapat ini dapat terwujud jika
baik dalam Pemilu Legislatif maupun Pilpres 2014, Megawati menang mutlak.
Ketika Gus Dur menjadi presiden (20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001), hampir setiap
hari digoyang oleh politisi non PKB. Dia tidak berdaya, karena kekuatan partainya
di DPR hanya 10,2% dan di MPR 8,20%.
Kalau Megawati memenangkan suara
terbanyak dalam Pilpres 2014 dan kemudian terpilih menjadi presiden, sementara
dalam Pemilu Legislatif hanya, misalnya, meraih 20% suara, tanpa koalisi dengan
beberapa parpol lain, pemerintahannya hampir pasti sama sekali tidak efektif.
Pendapat keempat, mekanisme
pemilihan presiden dan wapres akan dikembalikan ke MPR. Tanpa pembatasan
dicantumkan di konstitusi, seperti rumusan "Presiden dan Wapres memegang
jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan," dengan mekanisme seperti
dikemukakan bahwa skenario Orde Lama dan Orde Baru kembali akan terulang. MPR
dimungkinkan menetapkan presiden menjadi presiden seumur hidup, atau memilih
calon yang sama sampai 7-8 kali masa jabatan.
Pendapat narasumber ke-5, anggota
DPR dan MPR dipilih secara langsung dalam pemilu. Paradoksnya, gagasan seperti
ini juga tidak sesuai naskah asli UUD 1945. Sesuai dengan naskah asli, anggota
MPR terdiri dari anggota DPR dan wakil-wakil golongan yang ditunjuk tanpa
dipilih lewat pemilihan langsung oleh rakyat.
Amandemen konstitusi sudah berusia
nyaris 14 tahun, tapi masih juga dipolemikkan. Pendukung amandemen meyakini
perubahan itu justru untuk meluruskan UUD 1945 yang atas nama Demokrasi
Terpimpin dan Demokrasi Pancasila telah diselewengkan rezim sebelumnya.
Isi pokok amandemen itu, antara
lain presiden dan wapres dipilih langsung oleh rakyat dan hanya boleh memegang
jabatannya maksimum dua kali. Pasal 28 dikembangkan menjadi Pasal 28 A sampai
28 J sebagai landasan konstitusional perlindungan HAM. Pasal 18 ayat (2), (5),
(6), dan (7) jadi landasan penyelenggaraan otonomi daerah. Pasal 28 F
mempertegas hak berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta hak mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, serta mengolah dan menyampaikan informasi
adalah hak konstitusional warga negara.
Sementara, sejumlah kalangan masih
memimpikan kembalinya UUD 1945 yang asli. Mereka sepertinya merindukan, antara
lain, presiden boleh seumur hidup, paling tidak boleh dipilih sampai 7 kali
masa jabatan. TNI dan Polri boleh ber-dwi fungsi. Presiden dimungkinkan
memonopoli kekuasaan. Melanggar HAM boleh demi menjaga stabilitas nasional.
Kemerdekaan berserikat, berkumpul dan pers hanya berlaku untuk pendukung rezim.
Daripada terus-menerus
memperdebatkan konstitusi, ada baiknya kita menyimak kata-kata bijak Lord
Denning. Give me bad laws, but good
judges, people will get justices; give me good laws, but bad judges, people
will get injustices.
Persoalan utama negeri ini bukan
terletak pada konstitusinya, yang masih bermasalah atau sudah sangat baik.
Tapi, bagaimana mengubah pola pikir dan pola tindak elite bangsa, yakni
pejabat, politisi dan pengusaha bermental korup menjadi berorientasi menaati
tujuan kita bernegara. Yakni, melindungi segenap bangsa, memajukan
kesejahteraan dan mencerdaskan bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar