Jumat, 03 Mei 2013

Diplomasi Sawit yang Memble


Diplomasi Sawit yang Memble
Khudori ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
KORAN TEMPO, 03 Mei 2013


Untuk menghadapi kampanye negatif bertubi-tubi itu, dengan difasilitasi pemerintah, semua stakeholder industri sawit harus bersatu mendesak AS, UE, dan Australia agar merevisi, bahkan mencabut, semua ketentuan diskriminatif tersebut. 
Surabaya jadi saksi kegagalan diplomasi Indonesia saat para menteri perdagangan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) bertemu, 20-21 April lalu. Indonesia gagal memasukkan minyak sawit mentah (CPO) ke dalam daftar produk ramah lingkungan (environmental goods list/EGs list), salah satu agenda penting pertemuan itu. Kisah serupa terjadi dalam pertemuan APEC di Vladivostok, Rusia, September lalu. Saat itu, dari 54 produk yang masuk EGs list, sebagian besar produk manufaktur dan peralatan mekanik milik negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Australia. Negara-negara maju mendominasi arena perundingan atas negara berkembang.
Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, India, dan Cina, mengimbangi, namun gagal. Cina hanya bisa meloloskan satu produk: olahan bambu berbentuk lantai. Indonesia gigit jari. Usul Indonesia memasukkan CPO ditolak AS. AS hanya berjanji melonggarkan pintu masuk CPO asal Indonesia. Indonesia juga mencoba membendung produk negara lain dengan hanya membuka 20 jenis produk ramah lingkungan. Anggota APEC berlomba-lomba memasukkan produk ke EGs list karena pada 2015 hanya dikenai bea masuk 5 persen. Lolosnya 54 jenis produk itu menandakan bahwa diplomasi Indonesia kedodoran.
Kegagalan ini tidak mengagetkan. Pertama, bukan rahasia lagi, Indonesia amat lemah dalam diplomasi, terutama diplomasi perdagangan. Selain tidak membekali diri dengan sejumlah data yang kuat, sering kali negosiator tidak tahu persis apa kepentingan negara yang harus diperjuangkan di berbagai forum internasional itu. Kelemahan makin terasa karena negosiator Indonesia juga tidak memiliki daya gertak saat bernegosiasi. Berbeda, misalnya, dengan sikap mendiang Presiden Venezuela Hugo Chavez atau sikap Presiden Sukarno dalam berbagai forum penting dunia, termasuk di panggung PBB. 
Kedua, negosiator Indonesia buta peta pergaulan internasional. Akibatnya, mereka tidak mampu membedakan mana yang seharusnya dirangkul sebagai kawan untuk mengegolkan kepentingan, dan mana lawan yang harus dijauhi. Ketika terjadi pergeseran kepentingan, negosiator Indonesia kehilangan pegangan. Ketiga, lemahnya koordinasi antar-lembaga/kementerian. Yang menyedihkan, sering kali justru kepentingan lembaga/kementerian satu dengan yang lain saling bertumbukan. Kepentingan nasional tidak mudah dirumuskan. Ujung dari semua ini, argumen dengan mudah dipatahkan.
Sawit merupakan contoh yang baik dari kegagalan diplomasi Indonesia. Sejak 1980-an, kampanye negatif terhadap sawit sudah terjadi. Pada 1980-an, saat industri sawit mulai tumbuh, American Soybean Association menyerukan agar tidak mengonsumsi minyak sawit. Tuduhannya, minyak sawit mengandung kolesterol, penyebab penyakit jantung. Ketika sawit terbukti sebagai minyak sehat dan non-kolesterol karena kandungan asam lemak jenuhnya rendah, tema kampanye berubah: sawit penyebab polusi udara. Lahan minyak sawit dituding mengokupasi hutan dengan cara dibakar. Terakhir, industri sawit dituduh merusak lingkungan, mengusir orang utan, dan menjadi penyebab utama deforestasi yang menghasilkan gas rumah kaca (GRK), biang pemanasan global. Karena sawit pula Indonesia dituding sebagai pengemisi terbesar GRK nomor tiga setelah AS dan Cina.
Tidak semua tudingan itu benar. Soal GRK, misalnya, pembukaan lahan sawit dari hutan alam atau lahan gambut akan mengeluarkan emisi. Pertanyaannya, dari 8 juta hektare area sawit, berapa yang merambah hutan alam, cagar alam, dan hutan gambut? Dibandingkan dengan oilseeds lain, emisi sawit lebih kecil. Sebab, sawit menyerap karbon dari leaf area index yang tinggi, efisiensi energi input-output tinggi dan produktivitas hasil juga tinggi (Pehnet and Vietze, 2009). Meski sama-sama monokultur, biodiversity sawit lebih baik ketimbang tanaman monokultur di Uni Eropa (World Growth, 2009).
Masalahnya, ekspansi sawit secara monokultur dalam luasan besar melawan alam, karena tak sesuai dengan ekologi tropis (Anonim, 1993; Jhamtani, 2001). Ekologi tropis ditandai oleh keanekaragaman spesies yang sangat tinggi, tetapi jumlah populasi per spesies rendah. Basis ekologis dan ekosistem tropis keberagaman, bukan keseragaman (monokultur) seperti di daerah temperate dan dingin. Konsekuensinya, meski tersedia lahan luas, alam Indonesia tak cocok untuk mengembangkan tanaman monokultur dalam hamparan luas. Membuka satu juta hektare hutan untuk sawit amat membahayakan ekosistem tropis, karena jumlah keanekaragaman jenis satwa dan tanaman yang hilang akan sangat tinggi dibanding di kawasan beriklim sedang dan dingin. Kerugian ini tak terhitung nilainya.
Jika negara-negara maju mau jujur, sejatinya, dalam neraca untung-rugi, sawit lebih unggul ketimbang minyak pangan lain. Selain keunggulan aspek lingkungan seperti disebut di atas, sawit unggul dalam produktivitas: 5.830 liter per hektare, jauh melampaui produktivitas minyak kedelai (446 liter per hektare), kanola (1.073), dan bunga matahari (952). Minyak sawit juga berharga jauh lebih murah, lebih unggul dalam kualitas nutrisi (mengandung vitamin A dan E), mengandung antioksidan, dan bebas dari asam lemak trans. Dengan berbagai keunggulan itu, jika di masa lalu sawit adalah komoditas pinggiran, kini sawit jadi jawara. Pada 2008, pangsa minyak sawit mencapai 27 persen, disusul minyak kedelai (23 persen), kanola (12 persen), dan bunga matahari (7 persen). Sebagai penghasil minyak kedelai, kanola, dan bunga matahari, AS dan UE tentu tidak ingin pangsa pasarnya terus tergerus. 
Di masa depan, kampanye negatif terhadap sawit akan kian masif. Ini bisa dibaca dari aneka regulasi di negara-negara maju yang pada intinya menuding sawit tidak ramah lingkungan, seperti aturan Renewable Fuel Standards oleh AS, Renewable Energy Directive oleh Uni Eropa, dan Food Standard Amendment Truth in Labeling-Palm Oil Bill 2010 oleh Australia. Untuk menghadapi kampanye negatif bertubi-tubi itu, dengan difasilitasi pemerintah, semua stakeholder industri sawit harus bersatu mendesak AS, UE, dan Australia agar merevisi, bahkan mencabut, semua ketentuan diskriminatif itu. 
Sertifikasi, misalnya, penting diharmonisasi agar tak jadi kedok terselubung untuk membendung produk asal negara berkembang. Aturan di AS, Uni Eropa, dan Australia itu harus dicabut karena mencederai prinsip perdagangan yang adil seperti diatur WTO. Pada saat yang sama, Indonesia Sustainable Palm Oil sebagai komitmen memproduksi sawit ramah lingkungan harus dikampanyekan masif, terutama di AS, UE, dan Australia. Di sinilah Indonesia perlu memperkuat diplomasi sawit dengan memberi para negosiator bekal untuk melawan kampanye negatif yang masif itu. Tanpa hal itu, bukan mustahil kita kembali menelan pil pahit saat menjadi tuan rumah APEC di Bali, Oktober nanti. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar