|
KORAN
TEMPO, 03 Mei 2013
Untuk menghadapi kampanye negatif bertubi-tubi itu, dengan
difasilitasi pemerintah, semua stakeholder industri sawit harus bersatu
mendesak AS, UE, dan Australia agar merevisi, bahkan mencabut, semua ketentuan
diskriminatif tersebut.
Surabaya jadi saksi kegagalan diplomasi Indonesia saat para
menteri perdagangan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) bertemu, 20-21 April
lalu. Indonesia gagal memasukkan minyak sawit mentah (CPO) ke dalam daftar
produk ramah lingkungan (environmental
goods list/EGs list), salah satu agenda penting pertemuan itu. Kisah serupa
terjadi dalam pertemuan APEC di Vladivostok, Rusia, September lalu. Saat itu,
dari 54 produk yang masuk EGs list, sebagian besar produk manufaktur dan
peralatan mekanik milik negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang,
Kanada, dan Australia. Negara-negara maju mendominasi arena perundingan atas
negara berkembang.
Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, India, dan
Cina, mengimbangi, namun gagal. Cina hanya bisa meloloskan satu produk: olahan
bambu berbentuk lantai. Indonesia gigit jari. Usul Indonesia memasukkan CPO
ditolak AS. AS hanya berjanji melonggarkan pintu masuk CPO asal Indonesia.
Indonesia juga mencoba membendung produk negara lain dengan hanya membuka 20
jenis produk ramah lingkungan. Anggota APEC berlomba-lomba memasukkan produk ke
EGs list karena pada 2015 hanya dikenai bea masuk 5 persen. Lolosnya 54 jenis
produk itu menandakan bahwa diplomasi Indonesia kedodoran.
Kegagalan ini tidak mengagetkan. Pertama, bukan rahasia
lagi, Indonesia amat lemah dalam diplomasi, terutama diplomasi perdagangan.
Selain tidak membekali diri dengan sejumlah data yang kuat, sering kali
negosiator tidak tahu persis apa kepentingan negara yang harus diperjuangkan di
berbagai forum internasional itu. Kelemahan makin terasa karena negosiator
Indonesia juga tidak memiliki daya gertak saat bernegosiasi. Berbeda, misalnya,
dengan sikap mendiang Presiden Venezuela Hugo Chavez atau sikap Presiden
Sukarno dalam berbagai forum penting dunia, termasuk di panggung PBB.
Kedua, negosiator Indonesia buta peta pergaulan
internasional. Akibatnya, mereka tidak mampu membedakan mana yang seharusnya
dirangkul sebagai kawan untuk mengegolkan kepentingan, dan mana lawan yang
harus dijauhi. Ketika terjadi pergeseran kepentingan, negosiator Indonesia
kehilangan pegangan. Ketiga, lemahnya koordinasi antar-lembaga/kementerian.
Yang menyedihkan, sering kali justru kepentingan lembaga/kementerian satu
dengan yang lain saling bertumbukan. Kepentingan nasional tidak mudah
dirumuskan. Ujung dari semua ini, argumen dengan mudah dipatahkan.
Sawit merupakan contoh yang baik dari kegagalan diplomasi
Indonesia. Sejak 1980-an, kampanye negatif terhadap sawit sudah terjadi. Pada
1980-an, saat industri sawit mulai tumbuh, American Soybean Association
menyerukan agar tidak mengonsumsi minyak sawit. Tuduhannya, minyak sawit
mengandung kolesterol, penyebab penyakit jantung. Ketika sawit terbukti sebagai
minyak sehat dan non-kolesterol karena kandungan asam lemak jenuhnya rendah,
tema kampanye berubah: sawit penyebab polusi udara. Lahan minyak sawit dituding
mengokupasi hutan dengan cara dibakar. Terakhir, industri sawit dituduh merusak
lingkungan, mengusir orang utan, dan menjadi penyebab utama deforestasi yang
menghasilkan gas rumah kaca (GRK), biang pemanasan global. Karena sawit pula
Indonesia dituding sebagai pengemisi terbesar GRK nomor tiga setelah AS dan
Cina.
Tidak semua tudingan itu benar. Soal GRK, misalnya,
pembukaan lahan sawit dari hutan alam atau lahan gambut akan mengeluarkan
emisi. Pertanyaannya, dari 8 juta hektare area sawit, berapa yang merambah
hutan alam, cagar alam, dan hutan gambut? Dibandingkan dengan oilseeds lain,
emisi sawit lebih kecil. Sebab, sawit menyerap karbon dari leaf area index yang
tinggi, efisiensi energi input-output tinggi dan produktivitas hasil juga
tinggi (Pehnet and Vietze, 2009). Meski sama-sama monokultur, biodiversity
sawit lebih baik ketimbang tanaman monokultur di Uni Eropa (World Growth,
2009).
Masalahnya, ekspansi sawit secara monokultur dalam luasan
besar melawan alam, karena tak sesuai dengan ekologi tropis (Anonim, 1993;
Jhamtani, 2001). Ekologi tropis ditandai oleh keanekaragaman spesies yang
sangat tinggi, tetapi jumlah populasi per spesies rendah. Basis ekologis dan
ekosistem tropis keberagaman, bukan keseragaman (monokultur) seperti di daerah
temperate dan dingin. Konsekuensinya, meski tersedia lahan luas, alam Indonesia
tak cocok untuk mengembangkan tanaman monokultur dalam hamparan luas. Membuka
satu juta hektare hutan untuk sawit amat membahayakan ekosistem tropis, karena
jumlah keanekaragaman jenis satwa dan tanaman yang hilang akan sangat tinggi
dibanding di kawasan beriklim sedang dan dingin. Kerugian ini tak terhitung
nilainya.
Jika negara-negara maju mau jujur, sejatinya, dalam neraca
untung-rugi, sawit lebih unggul ketimbang minyak pangan lain. Selain keunggulan
aspek lingkungan seperti disebut di atas, sawit unggul dalam produktivitas:
5.830 liter per hektare, jauh melampaui produktivitas minyak kedelai (446 liter
per hektare), kanola (1.073), dan bunga matahari (952). Minyak sawit juga
berharga jauh lebih murah, lebih unggul dalam kualitas nutrisi (mengandung
vitamin A dan E), mengandung antioksidan, dan bebas dari asam lemak trans.
Dengan berbagai keunggulan itu, jika di masa lalu sawit adalah komoditas
pinggiran, kini sawit jadi jawara. Pada 2008, pangsa minyak sawit mencapai 27
persen, disusul minyak kedelai (23 persen), kanola (12 persen), dan bunga
matahari (7 persen). Sebagai penghasil minyak kedelai, kanola, dan bunga
matahari, AS dan UE tentu tidak ingin pangsa pasarnya terus tergerus.
Di masa depan, kampanye negatif terhadap sawit akan kian
masif. Ini bisa dibaca dari aneka regulasi di negara-negara maju yang pada
intinya menuding sawit tidak ramah lingkungan, seperti aturan Renewable Fuel
Standards oleh AS, Renewable Energy Directive oleh Uni Eropa, dan Food Standard
Amendment Truth in Labeling-Palm Oil Bill 2010 oleh Australia. Untuk menghadapi
kampanye negatif bertubi-tubi itu, dengan difasilitasi pemerintah, semua
stakeholder industri sawit harus bersatu mendesak AS, UE, dan Australia agar
merevisi, bahkan mencabut, semua ketentuan diskriminatif itu.
Sertifikasi, misalnya, penting diharmonisasi agar tak jadi
kedok terselubung untuk membendung produk asal negara berkembang. Aturan di AS,
Uni Eropa, dan Australia itu harus dicabut karena mencederai prinsip
perdagangan yang adil seperti diatur WTO. Pada saat yang sama, Indonesia Sustainable Palm Oil sebagai
komitmen memproduksi sawit ramah lingkungan harus dikampanyekan masif, terutama
di AS, UE, dan Australia. Di sinilah Indonesia perlu memperkuat diplomasi sawit
dengan memberi para negosiator bekal untuk melawan kampanye negatif yang masif
itu. Tanpa hal itu, bukan mustahil kita kembali menelan pil pahit saat menjadi
tuan rumah APEC di Bali, Oktober nanti. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar