|
INILAH.COM,
02 Mei 2013
Wafatnya Ustadz Jeffry Al Buchori
(Uje) setidaknya memberi tiga pelajaran penting bagi banyak orang.
Pelajaran pertama adalah
bahwa, jangan pernah mencemooh atau
menganggap rendah orang lain, meski ia seorang pendosa. Sebab sang pendosa pada akhirnya bisa jadi justru lebih
baik dari yang menghina.
Sebab lebih mulia, dan jauh lebih dicintai Tuhan, seorang ‘bekas
pendosa’ yang bertaubat ketimbang ‘mantan orang baik’. Kemudian, sesiapa yang
kembali ke jalan-Nya lalu tetap istiqamah di jalan itu dapat meraih ‘akhir
hidup yang indah’ (khusnul khatimah), dan terhindarkan dari
akhir yang buruk (su’ul khatimah).
Itu dibuktikan lewat perjalanan hidup Uje. Bekas penari
malam yang sempat terperosok pada penyalahgunaan narkoba itu nyatanya bisa
bangkit dan malah berbalik 180 derajat, menjadi pemuda yang saleh, penyeru
(da’i) kepada kebaikan, dan teladan bagi jutaan kaum muda.
Dalam batas tertentu, perjalanan hidup Uje itu mengingatkan
kita pada Umar bin Khattab (ra). Sahabat Nabi saw itu awalnya sangat gencar
menentang Islam, tetapi belakangan ia dikenal sebagai salah satu khalifah yang
tegas.
Uje mengingatkan kita bahwa sejatinya memang tidak ada
manusia yang terbebas dari dosa (ma’shum), kecuali Nabi saw
dan keluarga (Ahlul Bait)-nya saja yang suci. Meski disucikan Tuhan, sepanjang
hidupnya Nabi dan keluarganya tetap memberi suri tauladan dalam amal dan ilmu
terbaik bagi umat Muslimin.
Akan halnya Uje, ramainya orang yang menangisi kepergiannya
membuktikan bahwa ‘ustadz gaul’ itu manusia yang dicintai banyak orang. Dan
hanya orang baik saja yang mendapatkan cinta orang banyak.
Cinta orang banyak itu seperti mewakili Tuhan di bumi,
seperti membuktikan kepada Uje hadis yang bilang, “Bila engkau mendekati-Ku selangkah maka Aku akan mendekatimu sehasta,
dan bila kau mendekat pada-Ku dengan berjalan maka Aku akan berlari menuju
padamu.”
Terkait yang pertama, pelajaran
kedua Uje adalah tingkah-lakunya belakangan ini yang menyadarkan kita
bahwa ustadz seperti dirinya juga manusia yang juga punya kelemahan, dan perlu
mendapat peringatan dari orang lain.
Beberapa hari sebelum kepergiannya Uje sempat bicara pada
penyanyi religi Opick tentang keinginannya menerima ceramah orang lain. "Kalau saya terus yang ceramah, terus
siapa dong yang mau ceramahin saya," tutur Opick menirukan ucapan Uje.
Uje rupanya sadar benar bahwa sebagai hamba Tuhan, setiap
orang bisa terjebak dosa karena bermaksiat kepada Tuhan yang tak putus menguji
setiap hamba-Nya, sehingga perlu ada yang mengingatkan. Jangankan ustadz,
bahkan para nabi juga menerima ujian Tuhan.
Pesan Uje kepada Opick itu bagaikan menghentakkan semua
orang bahwa, jangan pernah lengah, jangan berpikir engkau seorang pahlawan atau
suci, sehingga bebas dari kelemahan.
Uje mengingatkan kita, bahwa manusia tidak pernah imun dari
pengaruh nafsu dan setan, bahwa masih banyak jeratan kemegahan artifisial yang
bisa membuta-tulikan orang.
Sebagai da’i kondang, Uje merasa tidak boleh terlalu yakin
dan bangga diri, sebab selalu ada kemungkinan untuk ‘jatuh’ pada setiap puncak;
dan kejatuhan dari puncak yang tinggi bisa sangat tragis dan mengancurkan.
Inspirasi ketiga dari
Uje adalah bahwa, dakwah yang mengandalkan
kekerasan sama sekali tidak akan berhasil, karena cinta dan pendekatan damai
sajalah yang justru membuat orang terpengaruh dan bisa berubah.
Di sebuah stasiun TV, Uje menceritakan bagaimana ia
mengobrak-abrik ruangan diskotik di dekat rumahnya. Saat itu Uje sangat keras. “Gak boleh lihat ada orang main judi,
langsung kita datengin dan kita ajak ribut,” kata Uje pada acara televisi
itu.
Tetapi ia kemudian menyadari, dakwah lewat kekerasan itu
sama sekali tak berguna , meski harus diakuinya bahwa kekerasanlah yang awalnya
membawa jalan hidayah kepada Uje. Ketika itu, ia sempat membela diri bahwa,
‘anarkis fisiknya itu lebih baik ketimbang anarkis moral yang dikritiknya.’
Tetapi setelah itu, “Lama-lama saya berpikir bahwa cara
dakwah seperti ini bukan makin dekat, justru (membuat orang) makin jauh,” kata
Uje.
Dan ia mengingatkan kita pada pesan guru sufi asal Srilanka
Bawa Muhaiyadeen, "Belas kasihanlah
yang menaklukan. Kesatuanlah yang menaklukan. Pedang tidak menaklukan, cinta
kasih lebih tajam daripada pedang."
Uje rupanya melihat bahwa salah satu sumber masalah kita
adalah diri kita sendiri, karena sering salah menempatkan niat di hati, dan
memandang dari sudut sempit, mencari pembenaran untuk melindungi diri dan
prasangka, menjadi cemas, menafikan kehadiran orang lain, dan terjebak pada
keyakinan yang belum teruji serta harapan-harapan diri yang menggelembung.
Uje rupanya tak mau begitu. Ia ingin mengajari kita agar
dapat memecahkan masalah bangsa kita dengan baik, dan bukan menjadikan diri
kita sebagai bagian dari masalah itu.
Alhasil, tampak bahwa sesungguhnya semua inspirasi Uje
bermuara pada tujuan Islam, yang bermaksud menjadikan pemeluknya sebagai
penyayang bagi seluruh alam semesta – rahmatan lil ‘alamiin, sebagaimana
dicanangkan dalam misi kenabian Rasulullah SAW.
Ustadz Aje, Anda
sudah jalan duluan, kami segera menyusul… ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar