Kamis, 09 Mei 2013

Internasionalisasi Papua


Internasionalisasi Papua
Fahmi Alfansi P Pane   Tenaga Ahli DPR RI
REPUBLIKA, 08 Mei 2013


Protes Pemerintah Indonesia dan klaim dukungan Pemerintah Inggris terhadap kedaulatan Indonesia atas Papua pascapembukaan kantor Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Oxford belum memadai untuk membendung internasionalisasi masalah Papua. Soalnya, pada 2 Mei Komisi Tinggi PBB untuk HAM Navi Pillay menilai, sejak Mei 2012 terjadi pelanggaran HAM, pembunuhan, tekanan terhadap kebebasan berekspresi, dan penggunaan kekuatan yang berlebihan di Papua. 

Meskipun demikian, Pillay mengakui banyak kasus tersebut berhubungan dengan konflik komunal. Dinamika internasionalisasi masalah Papua perlu ditanggapi hati-hati. Pada satu sisi, semula hanya OPM dan organisasi kemasyarakatan yang menggunakan pendekatan hard power (kekuatan memaksa). Namun, jika pernyataan Pillay di baca utuh, terutama kalimat "Iurge the Government of Indonesia to allow peaceful protest and hold accountable those involved in abuses", terlihat ada pergeseran pendekatan organisasi internasional. Hal ini menunjukkan pejabat PBB ingin Pemerintah Indonesia mengizinkan aksi dukungan terhadap OPM sepanjang itu dilakukan tanpa penggunaan senjata, serta memproses hukum aparat Indonesia yang terlibat kekerasan terhadap pendukung OPM. 

Pada sisi lain, realitas politik menunjukkan kekuatan riil OPM di pentas internasional tidaklah besar. Pengecekan klaim Benny Wenda di situsnya yang mengaku didukung Bertha Foundation, misalnya, menunjukkan situs yayasan tersebut dalam perbaikan, atau dapat dinilai lembaga tersebut tidak kredibel.
Sementara jaringan toko Lush, misalnya, juga tidak bersifat ideologis, dan boleh jadi memanfaatkan isu Papua untuk jualan pernak-pernik murahannya. 

Pada sisi ini, antisipasi langsung yang berlebihan dari Pemerintah Indonesia dapat membesarkan nama OPM dan Wenda. Klaim Pemerintah Inggris atas dukungannya terhadap Papua sebagai bagian dari Indonesia perlu dihargai. Terlebih, kerja sama kedua negara telah meningkat, baik dalam urusan pendidikan, pertahanan, maupun kerja sama ekonomi. Namun, Inggris tampaknya menarik keuntungan lebih besar. 

Akan tetapi, berharap Pemerintah Inggris menutup kantor OPM atau menghalangi segala bentuk kampanye OPM agaknya sulit sepanjang ada perbedaan nilai antara kedua bangsa dalam memandang kebebasan. Bahkan, jika nanti ada perjanjian komprehensif atau strategis antara Indonesia dan Inggris, dan salah satu isinya adalah pengakuan kedaulatan Indonesia atas Papua, hal ini tidak menjamin pemerintah mereka akan membatasi segala upaya internasionalisasi masalah Papua, terutama kampanye separatismenya. 

Pengalaman dengan Australia menunjukkan bahwa sekalipun Pasal 2 ayat 3 Perjanjian Lombok melarang para pihak untuk mendukung atau berpartisipasi dalam kegiatan yang mengancam stabilitas, kedaulatan, dan integritas teritorial pihak lain, termasuk dengan menggunakan wilayahnya untuk hal tersebut, Australia masih membiarkan wilayahnya digunakan untuk kegiatan separatisme Papua. 

Misalnya, Wenda berpidato pada forum TEDx Sydney pada 4 Mei 2013. Selain itu, berharap negara Barat menerapkan standar yang adil dan imparsial terhadap HAM orang Indonesia, apalagi aparat keamanan, juga sangat sulit. PBB bungkam ketika OPM menyerang penduduk pendatang di Papua. Mereka pun mencampuradukkan kasus kekerasan karena konflik komunal atau pemilukada yang selalu terjadi di sana, dengan dugaan pelanggaran HAM oleh aparat. Bahkan, lidah PBB pingsan ketika delapan aparat keamanan yang tidak sedang beroperasi militer, dan sebagian di antaranya tidak bersenjata, dihabisi oleh OPM pada 21 Februari 2013.

Namun, sejarah bangsa-bangsa membuktikan keadilan itu harus diperjuangkan, dan itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang berani dan kuat. Untuk itu, ada beberapa saran bagi pemerintah dan bangsa Indonesia. Pertama, berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua harus diselesaikan, termasuk ketika aparat TNI dan Polri menjadi korban. Pelaku penembakan terhadap delapan anggota TNI Februari lalu, misalnya, harus diproses hukum, dan sebarkan ke seluruh dunia apa hasilnya. Ketegasan kita terhadap OPM yang melanggar hukum, termasuk pemerasan terhadap para investor, justru mereduksi dukungan terhadap OPM. 

Kedua, ini era informasi dan para pelaku konfl ik/perang menggunakan internet untuk memengaruhi para pemimpin negara secara langsung. Karena itu, kita juga harus mengantisipasinya dengan rutin memperbarui informasi yang akurat dan detail ke seluruh dunia tentang perbaikan kehidupan rakyat Papua. Diplomasi basa-basi tidak berguna lagi karena apa yang terjadi saat ini di pedalaman pegunungan Papua dapat disebarluaskan ke seluruh dunia seketika itu juga. Keterbukaan informasi yang benar juga akan mematahkan klaim OPM dan pendukungnya, bahkan memungkinkan mereka diusut karena menyebarluaskan kebohongan publik. 

Ketiga, libatkan seluruh pihak, termasuk komunitas pendidikan, bisnis, media, ormas, dan bahkan jaringan WNI/orang Indonesia di luar negeri. Serangan senjata OPM tentu urusan aparat keamanan, tetapi kampanye OPM di internet dan berbagai forum internasional tidak cocok dihadapi langsung oleh pemerintah. Selayaknya, kampanye OPM dihadapi oleh orang Indonesia dalam bentuk second track diplomacy dengan dukungan pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar