Kamis, 09 Mei 2013

Negeri Darurat Premanisme


Negeri Darurat Premanisme
Abd Hannan   Anggota Tim Riset Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu  Budaya Universitas Trunojoyo Madura
SUAR OKEZONE, 08 Mei 2013


Beberapa waktu lalu media disibukkan pemberitaan perihal premanisme. Diawali dari penangkapan Hercules, si penguasa tanah abang hingga meluas pada skandal premanisme struktural kenegaraan, melibatkan nama besar Kopassus (baca, Cebongan). Seakan membudaya, setiap kali muncul aksi premanisme, maka muncul gerakan balasan yang disertai dengan aksi premanisme pula. Bedanya, aksi premanisme yang pertama dilakukan oleh kelompok preman. Sedangkan yang kedua aksi premanisme pembalasan dilakukan oleh sejumlah oknum aparat negara. Hal itu menunjukkan, negeri kita sedang berada dalam posisi genting, terperangkap di tengah-tengah pusaran premanisme.
  
Jika boleh menyatakan, premanisme di negeri ini bukan lagi sekadar bentuk perilaku menyimpang. Melainkan kian bergeser menjadi satu “profesi” memenuhi kebutuhan hidup. Meski tergolong suatu yang negatif, namun tak bisa dielak, bahwa premanisme dewasa ini menjadi satu ajang “industrialisasi ekonomi”  yang begitu menjanjikan.
  
Faktor penyebab menggeliatnya perilaku premanisme tidaklah tunggal, namun ada banyak faktor melatarbelakanginya. Dalam konteks sosiologis, perilaku menyimpang merupakan salah satu bentuk realitas sosial. Dan itu akan terus selalu ada sebagai kelanjutan atas pribadi manusia yang memiliki kehendak untuk bebas. Sedangkan dalam konteks bermasyarakat, premanisme adalah satu jenis peyimpangan norma-nilai yang perlu dikontrol. Baik dalam bentuk represif maupun preventif. Karenanya, keterlibatan semua pihak, khususnya aparatur pengamanan negara memiliki peran sentral dalam menekan aksi premanisme.

Lemahnya Supremasi Hukum

  
Lemahnya supremasi hukum dalam kapasitasnya sebagai salah satu pilar penegakan peradilan menjadi satu faktor paling rasional. Demikian tidaklah berlebihan, mengingat hukum merupakan satu lembaga peradilan yang memiliki kekuatan besar memberi efek jera terhadap para pelaku kekacauan. Belajar dari realitas yang ada, supremasi hukum di negeri kita masih bisa dikatakan berada pada titik rendah, timpang dan lebih cenderung diskriminatif. Ompong, dan belum cukup maksimal menunjukkan taring. Kalaupun sudah, itu sebatas pada “gertak sambel”, paling rentan bisa dilihati manakala berhadapan dengan kelas bawah.

Bobroknya penegakan hukum di negeri kita terungkap melalui hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Hasil itu menunjukkan bahwa kepuasan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia berada pada titik terendah. Hanya 29,8 persen responden yang menyatakan puas terhadap penegakan hukum. Sebanyak 56 persen responden menyatakan tidak puas. Sisanya sebanyak 14,2 persen responden menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab. (al-Islam 12/4/2013).

Adalah hal wajar jika banyak asumsi miring berkenaan dengan kondisi peradilan kita. masyarakat mulai hilang kepercayaan perihal penegakan hukum yang terkesan tebang pilih. Istilah hukum yang berbasis keadilan dan independen tak ubahnya simbol dan hiasan belaka. Bukan rahasia umum lagi bila penerapan hukum bisa dibeli degan uang. Jika ada pulus, hukum pun mulus. Jika tidak, mampus!

Uang seolah menjadi dewa di negeri ini. Apa-apa selalu saja diukur dengan uang, sekalipun itu harus menggadaikan harga diri dan mengorbankan hak rakyat. Dapat dibayangkan, bagaimana kondisi bangsa ke depan jika setiap permasalahan yang timbul selalu saja dihadapkan pada nilai materi. Hedonisme seakan menjadi identitas para pilar penegak hukum kita. Entah itu polisi, hakim, jaksa, apalagi pengacara. Substansi hukum yang sebenarnya bermuara pada keadilan kini berpindah haluan menjadi pembela yang punya uang.

Sebagai korbannya, hak rakyat pun banyak berlarian lantaran pemegang tampuk kekuasaan cenderung mata duitan. Bagaimana bangsa ini bisa hidup nyaman jika untuk menagih hak pribadi saja sudah harus ditukar dengan uang.  Nampaknya sifat materialisme sudah menjadi identitas dan karakter peradilan kita. Jika kondisi negara tetap saja demikian, lantas sampai kapan bangsa ini bisa mendapati rakyatnya hidup tenteram jika diusianya yang ke 67 ini lembaga peradilan kita masih terkatung-katung dan jungkar balik tak menentu arah
  
Hal lain yang menambah lemah penegakan hukum di negeri kita adalah adanya kemungkinan persekongkolan antara aktor preman dengan para pemangku kekuasaan, pejabat negara. Sebab seperti diungkapkan oleh sosiolog UI Paulus Wirutomo, organisasi preman itu sampai ke atas, sampai pada orang-orang yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat, pejabat-pejabat yang duduk dalam pemerintahan atau negara, baik militer maupun sipil, dan orang-orang yang punya modal kuat. Karenya, tidak heran manakala tumpukan kasus premanisme tidak begitu disigapi oleh penegak hukum. Dikarenakan sudah diintervensi oleh kekeuasaan dan wewenang pihak tertentu. Sampai disini, maka wajar-wajar saja jika premanisme menggeliat, berkecambah diberbagai penjuru negeri.

Kesenjangan Ekonomi
  
Faktor lain yang menjadi pangkal penyebab menggeliatnya aksi premanisme di negeri kita sebagian besar dipicu tuntutan ekonomi yang kian hari kian mencekik (al-Islam.12/04/2013). Sulitnya mencari penghidupan membuat masyarakat terjebak pada pola kehidupan yang disebut Rimba. Dimana adu kekuatan menjadi satu modal mempertahankan hidup. Anarkisme dan pemeberontakan menjadi satu tontonan lumrah. Layaknya di Hutan, satu persatu dari mereka saling senggol menyenggol karena harus berkompetisi, berebutan kebutuhan komoditas yang semakin menghimpit. 
  
Di negeri yang (katanya) kaya akan sumber daya alam ini, isu kemiskinan menggurita mewarnai lingkup elemen masyarakat. Bukan hanya di pedesaan, di sudut perkotaan pun kemiskinan menjadi satu pemandangan lazaim kita dapati. Di kolom jembatan, hingga dipinggiran sungai sedeeretan rumah kumuh dan tak layak huni membanjiri. Realitas demikian merupakan satu potret nyata bagaimana kesenjangan ekonomi sampai detik ini masih menghantui bangsa kita. 
  
Adalah sangat memungkinkan jika pada suatu saat negeri ini akan dihuni oleh premanisne. Lantaran kondisi bangsa terus saja terkatung-terkatung dibawah keterbatasan. Lebih-lebih kita tahu, komoditas ekonomi merupakan kebutuhan sentral. Suatu bangsa dapat dikatakan sejahtera manakala keberadaan negara mampu mengakomodir kebutuhan rakyat. Jika tidak, maka sudah sepantasnya negara tersebut dibilang gagal.
  
Karenanya, perbaikan dalam segala lini perlu dipertegas kembali. Utamanya perihal penegakan kembali supremasi hukum dan perbaikan ekomoni sosial. Syukur-syukur jika sampai menciptakan perubahan. Pada satu sisi, aparat peradilan sebagai salah satu pilar pengakan hukum harus menunjukkan sikap konsistensi dan memiliki mental kuat. Jangan sampai mau diintervensi—atau dalam bahasa ekstrimnya—diperbudak oleh pihak manapun, termasuk pemerintah. Sekalipun itu penguasa tertinggi, Presiden.
  
Dan bersamaan dengan itu, pemerintah selaku pengayom rakyat diharapkan betul-betul menjalankan amanah sebagai mana mestinya. Jangan sampai lengah, terlebih jika sampai menyalahgunakan wewenang. Kedepankan kepentingan rakyat, dan kuatkanlah perekonomian bangsa agar setiap lapisan masyarakat tidak lagi terjebak pada pergumulan sosial. Karena apabila suatu negera mampu menjamin kebutuhan hidup setiap warganya, maka ketentraman pun akan mudah didapati, dan konfrontasi sosial pun bisa ditekan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar