|
REPUBLIKA, 08 Mei 2013
Tidak ada
yang melarang bagi 700 artis yang maju menjadi calon legislatif. Tidak pula
terlarang bagi sejumlah parpol untuk memajang artis sebagai vote getter-nya. Yang tidak boleh,
jika artis tersebut menjadikan gelanggang perjuangan di legis-latif sebagai
ajang sinetron. Bila demikian adanya, maka rakyat akan sangat disakiti
karena semua yang ditayangkannya tidak berhubungan langsung dengan perbaikan
nasib dirinya. Potret dalam sinetron berkaitan dengan perbaikan kesejahteraan
pelakunya.
Bisa jadi
saat ini pun lembaga perwakilan menjadi ajang sinteron yang diskenario oleh
sejumlah sutradara. Ketika terjadi pertengkaran anggota legislatif atau para
anggota yang tertidur ketika rapat otomatis menjadi tontotan sejumlah rakyat
dan mencemoohkannya. Bahkan, tidak sedikit yang berujung jika menjadi
anggota legislatif sangatlah nyaman karena pekerjaannya cuma datang, duduk, duit,
dan dugsek (terlelap). Hanya tidak banyak terekam ketika mereka sedang bancakan
anggaran.
Peluang artis
Rakyat
semakin sadar bila sejumlah oknum anggota legislatif menjadi terkenal karena
keseringan tampil dan diliput media. Bisa jadi keinginannya menjadi anggota legislatif
berkaitan dengan persoalan tersebut. Tidak sedikit dari mereka menghiasi layar
kaca dan koran, bahkan menjadi kaya. Sementara itu, rakyat yang dijanjikan
ketika kampanye tidak mengalami peningkatan kesejahteraan melalui perjuangan
siginifikan yang dilakukannya.
Berkaca
dari potret di atas, sejumlah rakyat berpikiran bahwa memilih orang yang tidak
jelas track record-nya hanya menjadi
suara dirinya, memperkaya, dan menggiringnya menjadi terkenal. Oleh sebab itu,
pikirannya dibalik untuk memilih orang yang telah terkenal dan kaya, seperti di
Amerika, agar dirinya konsentrasi memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Dengan
pikiran hipotetik ini, peluang artis menjadi lebih terbuka untuk menjadi
anggota legislatif.
Mungkin
saja tampilan artis di politik becermin dari kesuksesan kalangan artis lainnya
seperti artis pelawak, Doel, Naga Bonar, atau sejumlah artis seksi lain yang
bisa tampil di gedung legislatif. Dengan ketenarannya, artis memiliki peluang
untuk dikunjungi rakyat yang didatanginya ketika kampanye. Tidak heran
sejumlah parpol menempatkan artis untuk tujuan seperti demikian. Kendati
demikian, diperlukan pembinaan parpol terhadap artis yang tampil menjadi caleg
dari parpolnya agar media perjuangan rakyat tidak disamakan dengan sinetron.
Artis yang
senantiasa tampil sebagai figur cerdas, bijak dan soleh(hah) akan membangun
simpati rakyatnya karena figur seperti itulah yang diinginkan rakyat untuk
menjadi wakilnya. Ini berarti bahwa figur yang mengampanyekan dirinya dengan
gelar akademik atau agamis dianggap membunglon agar dipilih rakyat, untuk
kemudian mengecewakannya. Dengan demikian, keputusan untuk memilih artis lebih
bersifat pertimbangan kekecewaan dan mencari figur alternatif agar nasibnya
dapat diperjuangkan lebih optimal.
Konsultasi majikan
Agar
kefokusan memperjuangkan nasib rakyat lebih baik, ada benarnya memahami esensi
demokrasi yang di kemukakan Ranny (1996). Dikatakannya bahwa demokrasi
menempatkan popular souvereignity
menjadi utama. Hal demikian berarti bahwa siapa pun wakil rakyat haruslah
menjunjung kedaulatan rakyat dan memperjuangkannya agar tidak dikalahkan oleh
kekuatan mana pun termasuk kedaulatan parpol atau kedaulatan diri sang wakil
sehingga mengabaikan popular
souvereignity-nya.
Bila
kebalikannya yang terjadi, maka runtuhlah pilar demokrasi yang pertama. Political equality pun menjadi pilar
penting lainnya sehingga perlakuan diskriminasi tidak dilakukan oleh siapa pun.
Praktik blusukan mendatangi rakyat papa menjadi penting, dan lebih penting lagi
jika nasib buruknya diperjuangkan secara optimal. Tidaklah terpuji ketika butuh
suaranya blusukan, namun setelah kemenangan di tangan, mereka ditinggalkan dan
sibuk dengan bancakan anggaran sehingga dana bansos, dana pembangunan infrastruktur,
bahkan dana keagamaan pun dipangkasnya pula. Ketika pelaku bancakan terjerat
kasus korupsi, tidaklah heran jika hukuman para wakil rakyat ini jauh lebih
ringan ketimbang rakyat yang menjadi majikan ketika mencuri ayam, kopi,
cokelat, bahkan sandal.
Popular consultation
menjadi penting dilakukan setiap saat tanpa harus ada protokoler. Dalam konteks
ini, rakyat ditempatkan sebagai subjek dan politisi yang ada di legislatif
sebagai objek yang menjadi sasaran kemarahan, kekecewaan, keinginan, dan
aspirasi yang harus diperjuangkan. Untuk itu, sang wakil harus menghilangkan
seluruh barikade yang menghalangi hubungan dekatnya dengan rakyat banyak.
Bahkan, dirinya bertanggung jawab langsung kepada rakyat sebagai majikan dan
Tuhannya untuk melaporkan apa yang telah diperjuangkan di lembaga perwakilan.
Majority rule menunjuk
kepada pemegang suara terbanyak sebagai pemenangnya. Hal demikian bukan saja
dalam perolehan suara rakyat, namun juga ketika voting di lembaga perwakilan. Bisa saja, pengabaian atas
kepentingan rakyat banyak disebabkan kemenangan pengkhianat di forum
legislatif. Namun, jika logika ini digunakan, maka ketika golput sudah 50
persen lebih dalam pemilu, seluruh peserta pemilu haruslah dianggap batal karenanya.
Dengan demikian, tidak ada lagi wakil rakyat yang sah dan pemilu haruslah
diulang.
Keempat
pilar di atas penting untuk bekal calon anggota legislatif agar kehidupan republik
ini tidak seperti sinetron yang jauh panggang dari apinya. Namun, jika diabaikan,
seluruh aktivitas kelegislatifan hanya menjadi tontonan rakyat tanpa berdampak
positif dalam kehidupannya.
Oleh
sebab itu, seluruh caleg haruslah bertekad menjadi wakil rakyat yang setia
kepada rakyatnya agar golput tidak membengkak dan pada akhirnya mampu membatalkan
pemilu. Dengan 700 artis yang akan manggung, semoga suasana legislatif menjadi
lebih dinamis dan optimal membela rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar