Kamis, 09 Mei 2013

Bukan Republik Sinetron


Bukan Republik Sinetron
Asep Sumaryana   Kepala LP3AN dan Pengajar
pada llmu Administrasi Negara FISIP-Unpad
REPUBLIKA, 08 Mei 2013


Tidak ada yang melarang bagi 700 artis yang maju menjadi calon legislatif. Tidak pula terlarang bagi sejumlah parpol untuk memajang artis sebagai vote getter-nya. Yang tidak boleh, jika artis tersebut menjadikan gelanggang perjuangan di legis-latif sebagai ajang sinetron. Bila demikian adanya, maka rakyat akan sangat disakiti karena semua yang ditayangkannya tidak berhubungan langsung dengan perbaikan nasib dirinya. Potret dalam sinetron berkaitan dengan perbaikan kesejahteraan pelakunya.

Bisa jadi saat ini pun lembaga perwakilan menjadi ajang sinteron yang diskenario oleh sejumlah sutradara. Ketika terjadi pertengkaran anggota legislatif atau para anggota yang tertidur ketika rapat otomatis menjadi tontotan sejumlah rakyat dan mencemoohkannya.  Bahkan, tidak sedikit yang berujung jika menjadi anggota legislatif sangatlah nyaman karena pekerjaannya cuma datang, duduk, duit, dan dugsek (terlelap). Hanya tidak banyak terekam ketika mereka sedang bancakan anggaran. 

Peluang artis

Rakyat semakin sadar bila sejumlah oknum anggota legislatif menjadi terkenal karena keseringan tampil dan diliput media. Bisa jadi keinginannya menjadi anggota legislatif berkaitan dengan persoalan tersebut. Tidak sedikit dari mereka menghiasi layar kaca dan koran, bahkan menjadi kaya. Sementara itu, rakyat yang dijanjikan ketika kampanye tidak mengalami peningkatan kesejahteraan melalui perjuangan siginifikan yang dilakukannya.

Berkaca dari potret di atas, sejumlah rakyat berpikiran bahwa memilih orang yang tidak jelas track record-nya hanya menjadi suara dirinya, memperkaya, dan menggiringnya menjadi terkenal. Oleh sebab itu, pikirannya dibalik untuk memilih orang yang telah terkenal dan kaya, seperti di Amerika, agar dirinya konsentrasi memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Dengan pikiran hipotetik ini, peluang artis menjadi lebih terbuka untuk menjadi anggota legislatif.

Mungkin saja tampilan artis di politik becermin dari kesuksesan kalangan artis lainnya seperti artis pelawak, Doel, Naga Bonar, atau sejumlah artis seksi lain yang bisa tampil di gedung legislatif. Dengan ketenarannya, artis memiliki peluang untuk dikunjungi rakyat yang didatanginya ketika kampanye. Tidak heran sejumlah parpol menempatkan artis untuk tujuan seperti demikian. Kendati demikian, diperlukan pembinaan parpol terhadap artis yang tampil menjadi caleg dari parpolnya agar media perjuangan rakyat tidak disamakan dengan sinetron.

Artis yang senantiasa tampil sebagai figur cerdas, bijak dan soleh(hah) akan membangun simpati rakyatnya karena figur seperti itulah yang diinginkan rakyat untuk menjadi wakilnya. Ini berarti bahwa figur yang mengampanyekan dirinya dengan gelar akademik atau agamis dianggap membunglon agar dipilih rakyat, untuk kemudian mengecewakannya. Dengan demikian, keputusan untuk memilih artis lebih bersifat pertimbangan kekecewaan dan mencari figur alternatif agar nasibnya dapat diperjuangkan lebih optimal.

Konsultasi majikan

Agar kefokusan memperjuangkan nasib rakyat lebih baik, ada benarnya memahami esensi demokrasi yang di kemukakan Ranny (1996). Dikatakannya bahwa demokrasi menempatkan popular souvereignity menjadi utama. Hal demikian berarti bahwa siapa pun wakil rakyat haruslah menjunjung kedaulatan rakyat dan memperjuangkannya agar tidak dikalahkan oleh kekuatan mana pun termasuk kedaulatan parpol atau kedaulatan diri sang wakil sehingga mengabaikan popular souvereignity-nya. 

Bila kebalikannya yang terjadi, maka runtuhlah pilar demokrasi yang pertama. Political equality pun menjadi pilar penting lainnya sehingga perlakuan diskriminasi tidak dilakukan oleh siapa pun. Praktik blusukan mendatangi rakyat papa menjadi penting, dan lebih penting lagi jika nasib buruknya diperjuangkan secara optimal. Tidaklah terpuji ketika butuh suaranya blusukan, namun setelah kemenangan di tangan, mereka ditinggalkan dan sibuk dengan bancakan anggaran sehingga dana bansos, dana pembangunan infrastruktur, bahkan dana keagamaan pun dipangkasnya pula. Ketika pelaku bancakan terjerat kasus korupsi, tidaklah heran jika hukuman para wakil rakyat ini jauh lebih ringan ketimbang rakyat yang menjadi majikan ketika mencuri ayam, kopi, cokelat, bahkan sandal.

Popular consultation menjadi penting dilakukan setiap saat tanpa harus ada protokoler. Dalam konteks ini, rakyat ditempatkan sebagai subjek dan politisi yang ada di legislatif sebagai objek yang menjadi sasaran kemarahan, kekecewaan, keinginan, dan aspirasi yang harus diperjuangkan. Untuk itu, sang wakil harus menghilangkan seluruh barikade yang menghalangi hubungan dekatnya dengan rakyat banyak. Bahkan, dirinya bertanggung jawab langsung kepada rakyat sebagai majikan dan Tuhannya untuk melaporkan apa yang telah diperjuangkan di lembaga perwakilan.

Majority rule menunjuk kepada pemegang suara terbanyak sebagai pemenangnya. Hal demikian bukan saja dalam perolehan suara rakyat, namun juga ketika voting di lembaga perwakilan. Bisa saja, pengabaian atas kepentingan rakyat banyak disebabkan kemenangan pengkhianat di forum legislatif. Namun, jika logika ini digunakan, maka ketika golput sudah 50 persen lebih dalam pemilu, seluruh peserta pemilu haruslah dianggap batal karenanya. Dengan demikian, tidak ada lagi wakil rakyat yang sah dan pemilu haruslah diulang.

Keempat pilar di atas penting untuk bekal calon anggota legislatif agar kehidupan republik ini tidak seperti sinetron yang jauh panggang dari apinya. Namun, jika diabaikan, seluruh aktivitas kelegislatifan hanya menjadi tontonan rakyat tanpa berdampak positif dalam kehidupannya. 

Oleh sebab itu, seluruh caleg haruslah bertekad menjadi wakil rakyat yang setia kepada rakyatnya agar golput tidak membengkak dan pada akhirnya mampu membatalkan pemilu. Dengan 700 artis yang akan manggung, semoga suasana legislatif menjadi lebih dinamis dan optimal membela rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar