|
REPUBLIKA,
06 Mei 2013
Rezim
survei semakin menampakkan diri sebagai hegemoni baru yang mendominasi isu-isu
politik di negeri ini. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun
seolah-olah tunduk pada hasil survei, sehingga kemudian tergopoh-gopoh
membenahi Partai Demokrat agar elektabilitasnya (merujuk hasil survei) tidak
makin terpuruk.
Sebagai
hegemoni, rezim survei seolah-olah punya kekuatan super yang mampu
mengobok-obok partai dan mendikte suara rakyat. Jika hasil survei ternyata
sesuai dengan hasil pemilu atau plikada, mungkin karena rakyat memang
terpengaruh olehnya. Dalam hal ini, diskusi-diskusi tentang prediksi hasil
pemilu atau pilkada di ruang-ruang pubik cenderung merujuk hasil survei.
Jika,
misalnya, ada pihak yang menolak hasil survei serta-merta akan diadang dengan
pertanyaan tentang apa dasar penolakannya? Jika penolakannya hanya berdasarkan
ketidakpercayaan terhadap hasil survei, pasti juga akan disudutkan sebagai
pihak yang tidak realistis karena hasil survei sudah telanjur dianggap sebagai
sesuatu yang realistis atau sebagai bukti autentik yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dalam hal
ini, yang dominan tentu saja pihak yang merasa realistis karena urusan politik
memang bukan sekadar fantasi atau personifi kasi imajinasi.
Dengan kata lain, yang sekadar berfantasi atau berimajinasi jika melontarkan
asumsi, akan dianggap omong kosong belaka tak layak dipercaya. Sebab, setiap
orang, bahkan sebodoh apa pun bisa saja berfantasi dan berimajinasi yang sangat
spektakuler hanya berdasarkan sentimentalis atau romantisme yang membabi buta
terhadap suatu partai.
Iklan politik
Hegemoni
rezim survei akan makin dominan dan berpotensi mendikte suara rakyat manakala
didukung iklan di media yang gencar secara kreatif. Hal ini dapat dimengerti
karena mayoritas rakyat mudah terpengaruh iklan. Bahkan, banyak yang menduga
iklan politik merupakan realitas politik, bukan sekadar fantasi yang memesona
untuk meninabobokan publik.
Dewasa
ini, iklan politik di media elektronik bahkan cenderung bombastis.
Tapi, publik sering tak paham bahwa itu hanya iklan, bukan realitas. Maka, iklan- iklan politik pun mirip dengan iklan- iklan produk pemutih kulit yang konon bisa mengubah kulit hitam menjadi putih dalam waktu singkat.
Tapi, publik sering tak paham bahwa itu hanya iklan, bukan realitas. Maka, iklan- iklan politik pun mirip dengan iklan- iklan produk pemutih kulit yang konon bisa mengubah kulit hitam menjadi putih dalam waktu singkat.
Harus
diakui, iklan politik sering merupakan corong rezim survei yang bertujuan
membentuk opini baru tentang suatu kekuatan politik. Lebih konkretnya, suatu
partai atau seorang bakal calon presiden dan calon kepala daerah yang
diiklankan bisa dicitrakan sebagai kebanggaan rakyat bersama, padahal
keyataannya sangat banyak rakyat yang belum mengenalnya dengan jelas.
Ketika rezim survei menjadi hegemoni yang mendominasi isu-isu politik, partai-partai
akan cenderung makin mengabaikan rakyat sebagai konstituen. Atau, partai-partai
akan lebih sibuk berlomba-lomba menjadi paling unggul dalam survei-survei tanpa
melibatkan banyak rakyat, kecuali kalangan responden yang jumlahnya sangat
terbatas.
Karena
itu, suatu ketika mungkin akan muncul realitas politik yang sama sekali berbeda
dengan hasil survei. Seperti yang pernah terjadi di Jakarta dalam pilkada
yang dimenangkan oleh pasangan Jokowi-Ahok yang semula tidak diunggulkan dalam
sejumlah survei menjelang pilkada. Realitas politik yang berbeda dari
hasil survei mungkin akan semakin sering terjadi manakala rakyat makin cerdas,
sehingga tidak mudah didikte oleh pihak manapun dalam menyuarakan aspirasi
politiknya. Pada titik ini, rakyat akan berhasil merebut kembali hegemoni
politik yang akan menentukan realitas politik, sehingga rezim survei mengalami
krisis kepercayaan, lantas dengan sendirinya akan gulung tikar.
Survei tandingan
Ketika
hegemoni rezim survei mendominasi isu-isu politik, sangat mungkin akan
melahirkan fenomena survei-survei tandingan. Dalam hal ini, setiap partai mungkin
akan membentuk lembaga survei masing-masing untuk menandingi lembaga-lembaga
survei independen. Pada titik ini, setiap hasil survei pasti akan selalu
dilawan dengan hasil survei juga, sehingga perang terbuka antarrezim survei tak
bisa terelakkan yang akan menghabiskan banyak dana.
Tentu
akan sangat konyol manakala perang antarrezim survei betul-betul terjadi karena
rakyat sangat mungkin tidak akan memihak salah satu rezim survei. Bahkan, bisa
jadi rakyat akan sama-sama antipati terhadap semua rezim survei karena merasa
bosan didikte. Belakangan, setiap ada hasil survei dibeberkan di ruang
publik akan segera ditandingi oleh hasil survei yang lain. Pada titik ini,
cepat atau lambat hegemoni rezim survei dalam mendominasi isu-isu politik akan
berakhir.
Selanjutnya,
perkembangan peta politik akan berjalan alamiah lagi, saat suara rakyat
merupakan rahasia sebelum hasil pemilu atau pilkada selesai dihitung.
Meski demikian, karena survei-survei telah menjadi bagian dari bisnis baru
dalam ranah politik dan demokrasi yang konon menggiurkan bagi banyak pihak,
tentu masing-masing rezim survei akan terus berupaya untuk tetap bisa menjadi
hegemoni yang mendominasi isu-isu politik. Dalam hal ini, media-media
berpotensi untuk terkooptasi. Atau, justru media-media yang berlomba- lomba melahirkan
rezim survei atau melakukan survei sesuai pesanan atau karena kepentingan
promosi media itu sendiri.
Karena
itu, media-media perlu diingatkan untuk tidak ceroboh melakukan survei politik
karena begitu hasil survei dipublikasikan, publik serta-merta akan menjadi juri
yang adil: Jika hasil survei yang dilakukan media terbukti berbeda dengan realitas
politik, taruhannya adalah kepercayaan publik tergadap media akan luntur.
Padahal, hidup matinya media juga lebih banyak bergantung oleh kepercayaan
publik terhadapnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar