Senin, 13 Mei 2013

Hegemoni Rezim Survei


Hegemoni Rezim Survei
Asmadji As Muchtar  ;  Dosen Pascasarjana UII Yogyakarta
REPUBLIKA, 06 Mei 2013


Rezim survei semakin menampakkan diri sebagai hegemoni baru yang mendominasi isu-isu politik di negeri ini. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun seolah-olah tunduk pada hasil survei, sehingga kemudian tergopoh-gopoh membenahi Partai Demokrat agar elektabilitasnya (merujuk hasil survei) tidak makin terpuruk. 

Sebagai hegemoni, rezim survei seolah-olah punya kekuatan super yang mampu mengobok-obok partai dan mendikte suara rakyat. Jika hasil survei ternyata sesuai dengan hasil pemilu atau plikada, mungkin karena rakyat memang terpengaruh olehnya. Dalam hal ini, diskusi-diskusi tentang prediksi hasil pemilu atau pilkada di ruang-ruang pubik cenderung merujuk hasil survei.

Jika, misalnya, ada pihak yang menolak hasil survei serta-merta akan diadang dengan pertanyaan tentang apa dasar penolakannya? Jika penolakannya hanya berdasarkan ketidakpercayaan terhadap hasil survei, pasti juga akan disudutkan sebagai pihak yang tidak realistis karena hasil survei sudah telanjur dianggap sebagai sesuatu yang realistis atau sebagai bukti autentik yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 

Dalam hal ini, yang dominan tentu saja pihak yang merasa realistis karena urusan politik memang bukan sekadar fantasi atau personifi kasi imajinasi.
Dengan kata lain, yang sekadar berfantasi atau berimajinasi jika melontarkan asumsi, akan dianggap omong kosong belaka tak layak dipercaya. Sebab, setiap orang, bahkan sebodoh apa pun bisa saja berfantasi dan berimajinasi yang sangat spektakuler hanya berdasarkan sentimentalis atau romantisme yang membabi buta terhadap suatu partai.

Iklan politik

Hegemoni rezim survei akan makin dominan dan berpotensi mendikte suara rakyat manakala didukung iklan di media yang gencar secara kreatif. Hal ini dapat dimengerti karena mayoritas rakyat mudah terpengaruh iklan. Bahkan, banyak yang menduga iklan politik merupakan realitas politik, bukan sekadar fantasi yang memesona untuk meninabobokan publik.

Dewasa ini, iklan politik di media elektronik bahkan cenderung bombastis.
Tapi, publik sering tak paham bahwa itu hanya iklan, bukan realitas. Maka, iklan- iklan politik pun mirip dengan iklan- iklan produk pemutih kulit yang konon bisa mengubah kulit hitam menjadi putih dalam waktu singkat. 

Harus diakui, iklan politik sering merupakan corong rezim survei yang bertujuan membentuk opini baru tentang suatu kekuatan politik. Lebih konkretnya, suatu partai atau seorang bakal calon presiden dan calon kepala daerah yang diiklankan bisa dicitrakan sebagai kebanggaan rakyat bersama, padahal keyataannya sangat banyak rakyat yang belum mengenalnya dengan jelas.
Ketika rezim survei menjadi hegemoni yang mendominasi isu-isu politik, partai-partai akan cenderung makin mengabaikan rakyat sebagai konstituen. Atau, partai-partai akan lebih sibuk berlomba-lomba menjadi paling unggul dalam survei-survei tanpa melibatkan banyak rakyat, kecuali kalangan responden yang jumlahnya sangat terbatas.

Karena itu, suatu ketika mungkin akan muncul realitas politik yang sama sekali berbeda dengan hasil survei. Seperti yang pernah terjadi di Jakarta dalam pilkada yang dimenangkan oleh pasangan Jokowi-Ahok yang semula tidak diunggulkan dalam sejumlah survei menjelang pilkada. Realitas politik yang berbeda dari hasil survei mungkin akan semakin sering terjadi manakala rakyat makin cerdas, sehingga tidak mudah didikte oleh pihak manapun dalam menyuarakan aspirasi politiknya. Pada titik ini, rakyat akan berhasil merebut kembali hegemoni politik yang akan menentukan realitas politik, sehingga rezim survei mengalami krisis kepercayaan, lantas dengan sendirinya akan gulung tikar.

Survei tandingan

Ketika hegemoni rezim survei mendominasi isu-isu politik, sangat mungkin akan melahirkan fenomena survei-survei tandingan. Dalam hal ini, setiap partai mungkin akan membentuk lembaga survei masing-masing untuk menandingi lembaga-lembaga survei independen. Pada titik ini, setiap hasil survei pasti akan selalu dilawan dengan hasil survei juga, sehingga perang terbuka antarrezim survei tak bisa terelakkan yang akan menghabiskan banyak dana.

Tentu akan sangat konyol manakala perang antarrezim survei betul-betul terjadi karena rakyat sangat mungkin tidak akan memihak salah satu rezim survei. Bahkan, bisa jadi rakyat akan sama-sama antipati terhadap semua rezim survei karena merasa bosan didikte. Belakangan, setiap ada hasil survei dibeberkan di ruang publik akan segera ditandingi oleh hasil survei yang lain. Pada titik ini, cepat atau lambat hegemoni rezim survei dalam mendominasi isu-isu politik akan berakhir. 

Selanjutnya, perkembangan peta politik akan berjalan alamiah lagi, saat suara rakyat merupakan rahasia sebelum hasil pemilu atau pilkada selesai dihitung.
Meski demikian, karena survei-survei telah menjadi bagian dari bisnis baru dalam ranah politik dan demokrasi yang konon menggiurkan bagi banyak pihak, tentu masing-masing rezim survei akan terus berupaya untuk tetap bisa menjadi hegemoni yang mendominasi isu-isu politik. Dalam hal ini, media-media berpotensi untuk terkooptasi. Atau, justru media-media yang berlomba- lomba melahirkan rezim survei atau melakukan survei sesuai pesanan atau karena kepentingan promosi media itu sendiri. 

Karena itu, media-media perlu diingatkan untuk tidak ceroboh melakukan survei politik karena begitu hasil survei dipublikasikan, publik serta-merta akan menjadi juri yang adil: Jika hasil survei yang dilakukan media terbukti berbeda dengan realitas politik, taruhannya adalah kepercayaan publik tergadap media akan luntur. Padahal, hidup matinya media juga lebih banyak bergantung oleh kepercayaan publik terhadapnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar