|
KOMPAS, 05 Mei 2013
Kehilangan
orang yang dicintai karena meninggal sama seperti kehilangan sebagian dari diri
sendiri. Hal ini pasti merupakan pengalaman yang sangat menyakitkan. Bagaimana
sebaiknya menghadapi kondisi berduka (”grieve”)
yang mengacu pada adanya penderitaan emosional yang kuat tersebut?
Berikut
akan dipaparkan pandangan Duffy dan Atwater (2005) dalam bukunya, Psychology for Living, Adjustment, Growth
and Behavior Today.
Masa
berduka yang wajar terdiri dari kondisi membebaskan diri secara emosional dari
orang yang telah meninggal, menyesuaikan kembali kehidupan tanpa keberadaan
almarhum, melanjutkan aktivitas sehari-hari, serta membentuk berbagai hubungan
baru. Awalnya kita bereaksi terhadap kematian seseorang tercinta dengan
perasaan shock (sangat terkejut) dan
tidak percaya, terutama jika kematian terjadi secara mendadak.
Ketika
kita sudah mengantisipasi terjadinya kematian pada seseorang, seperti dalam
kasus sang ibu yang telah lama menderita sakit parah, respons awal mungkin
lebih tenang dan disertai dengan rasa lega karena melihat penderita justru
terbebas dari penderitaannya.
Setelah
shock awal habis, kita cenderung akan
terganggu oleh berbagai kenangan mengenai almarhum. Seseorang, misalnya, jadi
tidak menyukai bersosialisasi dengan teman-temannya, terutama pada kegiatan
yang akan mengingatkannya pada almarhum. Emosi-emosi negatif, seperti marah dan
rasa bersalah, cenderung muncul ke permukaan pada tahap ini. Kita mungkin
menyalahkan Tuhan, nasib, atau mereka yang telah merawat almarhum. Merupakan
hal yang tidak aneh untuk menyalahkan almarhum karena telah meninggalkan kita,
terutama jika orang tersebut melakukan bunuh diri. Kita mungkin juga merasa
bersalah karena sesuatu yang telah kita ucapkan atau lakukan atau merasa bahwa
seharusnya kita melakukan sesuatu ketika almarhum masih hidup.
Gejala
Fisik
Intensitas
emosional dari kondisi berduka sering muncul dalam bentuk gejala fisik,
terutama di kalangan orang yang sudah lebih tua. Pada bulan-bulan awal masa
berkabung, gejala yang paling umum dari berduka adalah menangis, perasaan
depresi, kurang nafsu makan, dan kesulitan berkonsentrasi di tempat kerja atau
di rumah. Pada umumnya, berbagai gejala ini tidak akan berlangsung lama karena
adanya resiliensi pada seseorang (kemampuan untuk bangkit kembali).
Pada
tahap akhir dari proses berduka, biasanya kita mencoba untuk berdamai dengan
kehilangan dan melanjutkan kegiatan kita sehari-hari. Tahap ini dapat terjadi
mulai dari beberapa bulan sampai satu tahun atau lebih setelah kehilangan awal,
bergantung pada seberapa dekat hubungan kita dan kondisi yang terjadi di sekitar
kematiannya. Penelitian telah menunjukkan bahwa jangka sekitar satu tahun
merupakan standar untuk masa berduka yang normal (Lindstrom, 1995), tetapi ahli
lain menemukan bahwa kesedihan yang normal dapat lebih panjang melampaui tahun
pertama (Davis, 2001).
Depresi
dan reaksi emosional lainnya terhadap kematian orang yang dicintai umumnya
menurun setelah tahun pertama. Setelah itu, kita cenderung untuk mengingat
orang yang meninggal dengan berbagai kenangan yang menyenangkan. Untuk beberapa
hubungan, mungkin kita tidak pernah sepenuhnya dapat mengatasi kehilangan itu,
seperti sebagai orangtua, anak, atau pasangan. Bagaimanapun, semakin penuh
usaha kita melalui kedukaan kita, semakin besar kemungkinan kita akan dapat
melanjutkan kehidupan.
Kedukaan
yang belum terselesaikan ini merupakan keadaan di mana reaksi emosional
seseorang terhadap kehilangan tetap ditekan, sering kali tampil dalam gejala
gangguan fisik atau psikologis yang tidak dapat dijelaskan. Sebagai contoh,
beberapa orang tidak mau lagi pergi ke rumah sakit atau ke ruangan tempat
almarhum meninggal karena duka yang tidak terselesaikan.
Reaksi
Kesedihan
Beberapa
orang lainnya mengingat bahwa mereka tidak pernah menangis atau mengalami
reaksi kesedihan yang biasa, tetapi beberapa tahun kemudian baru menemukan
perasaan dendam mereka terhadap almarhum. Beberapa orang melakukan hal yang
berlawanan, mereka justru terlalu banyak memikirkan kedukaan mereka dan
kehilangan tersebut. Perenungan terus-menerus dan keterpakuan pada kematian
bisa menjadi hal yang buruk.
Seseorang
yang terlalu terpaku atau terus-menerus membicarakan secara rinci tentang
kematian tersebut, terutama juga kurang mendapat dukungan sosial dan mengalami
pemicu stres lainnya, akan lebih mengalami depresi dan pesimistis. Kondisi
berduka yang berkepanjangan dan kompleks mungkin memerlukan perhatian khusus
dari profesional.
Bagaimanapun,
terdapat beberapa aspek positif dari kedukaan. Melalui proses retrospeksi,
kedukaan dapat membantu kita mengapresiasi orang tercinta yang telah meninggal
dan menghargai hubungan kita dengan mereka yang masih hidup, bahkan membina
kedekatan baru sambil menerima kekurangan yang mereka miliki. Singkatnya,
kedukaan yang baik membuat kita belajar sesuatu dan berkembang menjadi pribadi
yang lebih positif.
Salah
satu cara untuk membuat pengalaman berduka lebih efektif adalah dengan
mengeluarkannya. Meski awalnya sangat sulit untuk bicara tentang kematian
seseorang, biasanya dengan mengutarakannya dapat sangat membantu. Hal utama
yang perlu diingat, fokusnya adalah pada perasaan berduka. Beberapa hal mungkin
terdengar sepele, seperti ”setidaknya dia keluar dari penderitaannya”, tetapi
seorang teman yang baik harus berusaha untuk mendengarkan dan membantu orang
yang tengah berduka untuk membicarakan perasaannya sebanyak mungkin.
Seseorang
yang mendorong dan memberdayakan teman yang tengah berduka agar mengungkapkan
perasaannya merupakan hal yang melegakan. Orang cenderung tidak malu jika dapat
bercerita kepada beberapa teman dekat yang dapat dipercaya. Dukungan akan sangat
membantu apabila teman dekat tidak menginterupsi pembicaraan dengan berbagai
penilaian atau respons yang justru menghakimi dan menimbulkan emosi negatif
yang baru.
Cara
lain untuk mengatasi kedukaan adalah menggunakan cara yang relevan, misalnya
dengan aktivitas fisik, seperti jalan cepat, membantu untuk mengurangi
ketegangan, setidaknya untuk sementara. Beberapa upacara pemakaman dan doa
bersama secara psikologis dapat menjadi penyaluran untuk melepas kedukaan.
Membereskan urusan almarhum yang belum selesai juga dapat menjadi sesuatu yang
bersifat terapeutis.
Semoga membantu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar