Senin, 06 Mei 2013

Menjalani Masa Berduka


Menjalani Masa Berduka
Agustine Dwiputri ;  Penulis Rubrik Konsultasi Psikologi Kompas
KOMPAS, 05 Mei 2013


Kehilangan orang yang dicintai karena meninggal sama seperti kehilangan sebagian dari diri sendiri. Hal ini pasti merupakan pengalaman yang sangat menyakitkan. Bagaimana sebaiknya menghadapi kondisi berduka (”grieve”) yang mengacu pada adanya penderitaan emosional yang kuat tersebut?
Berikut akan dipaparkan pandangan Duffy dan Atwater (2005) dalam bukunya, Psychology for Living, Adjustment, Growth and Behavior Today.

Masa berduka yang wajar terdiri dari kondisi membebaskan diri secara emosional dari orang yang telah meninggal, menyesuaikan kembali kehidupan tanpa keberadaan almarhum, melanjutkan aktivitas sehari-hari, serta membentuk berbagai hubungan baru. Awalnya kita bereaksi terhadap kematian seseorang tercinta dengan perasaan shock (sangat terkejut) dan tidak percaya, terutama jika kematian terjadi secara mendadak.

Ketika kita sudah mengantisipasi terjadinya kematian pada seseorang, seperti dalam kasus sang ibu yang telah lama menderita sakit parah, respons awal mungkin lebih tenang dan disertai dengan rasa lega karena melihat penderita justru terbebas dari penderitaannya.

Setelah shock awal habis, kita cenderung akan terganggu oleh berbagai kenangan mengenai almarhum. Seseorang, misalnya, jadi tidak menyukai bersosialisasi dengan teman-temannya, terutama pada kegiatan yang akan mengingatkannya pada almarhum. Emosi-emosi negatif, seperti marah dan rasa bersalah, cenderung muncul ke permukaan pada tahap ini. Kita mungkin menyalahkan Tuhan, nasib, atau mereka yang telah merawat almarhum. Merupakan hal yang tidak aneh untuk menyalahkan almarhum karena telah meninggalkan kita, terutama jika orang tersebut melakukan bunuh diri. Kita mungkin juga merasa bersalah karena sesuatu yang telah kita ucapkan atau lakukan atau merasa bahwa seharusnya kita melakukan sesuatu ketika almarhum masih hidup.

Gejala Fisik

Intensitas emosional dari kondisi berduka sering muncul dalam bentuk gejala fisik, terutama di kalangan orang yang sudah lebih tua. Pada bulan-bulan awal masa berkabung, gejala yang paling umum dari berduka adalah menangis, perasaan depresi, kurang nafsu makan, dan kesulitan berkonsentrasi di tempat kerja atau di rumah. Pada umumnya, berbagai gejala ini tidak akan berlangsung lama karena adanya resiliensi pada seseorang (kemampuan untuk bangkit kembali).

Pada tahap akhir dari proses berduka, biasanya kita mencoba untuk berdamai dengan kehilangan dan melanjutkan kegiatan kita sehari-hari. Tahap ini dapat terjadi mulai dari beberapa bulan sampai satu tahun atau lebih setelah kehilangan awal, bergantung pada seberapa dekat hubungan kita dan kondisi yang terjadi di sekitar kematiannya. Penelitian telah menunjukkan bahwa jangka sekitar satu tahun merupakan standar untuk masa berduka yang normal (Lindstrom, 1995), tetapi ahli lain menemukan bahwa kesedihan yang normal dapat lebih panjang melampaui tahun pertama (Davis, 2001).

Depresi dan reaksi emosional lainnya terhadap kematian orang yang dicintai umumnya menurun setelah tahun pertama. Setelah itu, kita cenderung untuk mengingat orang yang meninggal dengan berbagai kenangan yang menyenangkan. Untuk beberapa hubungan, mungkin kita tidak pernah sepenuhnya dapat mengatasi kehilangan itu, seperti sebagai orangtua, anak, atau pasangan. Bagaimanapun, semakin penuh usaha kita melalui kedukaan kita, semakin besar kemungkinan kita akan dapat melanjutkan kehidupan.

Kedukaan yang belum terselesaikan ini merupakan keadaan di mana reaksi emosional seseorang terhadap kehilangan tetap ditekan, sering kali tampil dalam gejala gangguan fisik atau psikologis yang tidak dapat dijelaskan. Sebagai contoh, beberapa orang tidak mau lagi pergi ke rumah sakit atau ke ruangan tempat almarhum meninggal karena duka yang tidak terselesaikan.

Reaksi Kesedihan

Beberapa orang lainnya mengingat bahwa mereka tidak pernah menangis atau mengalami reaksi kesedihan yang biasa, tetapi beberapa tahun kemudian baru menemukan perasaan dendam mereka terhadap almarhum. Beberapa orang melakukan hal yang berlawanan, mereka justru terlalu banyak memikirkan kedukaan mereka dan kehilangan tersebut. Perenungan terus-menerus dan keterpakuan pada kematian bisa menjadi hal yang buruk.

Seseorang yang terlalu terpaku atau terus-menerus membicarakan secara rinci tentang kematian tersebut, terutama juga kurang mendapat dukungan sosial dan mengalami pemicu stres lainnya, akan lebih mengalami depresi dan pesimistis. Kondisi berduka yang berkepanjangan dan kompleks mungkin memerlukan perhatian khusus dari profesional.

Bagaimanapun, terdapat beberapa aspek positif dari kedukaan. Melalui proses retrospeksi, kedukaan dapat membantu kita mengapresiasi orang tercinta yang telah meninggal dan menghargai hubungan kita dengan mereka yang masih hidup, bahkan membina kedekatan baru sambil menerima kekurangan yang mereka miliki. Singkatnya, kedukaan yang baik membuat kita belajar sesuatu dan berkembang menjadi pribadi yang lebih positif.

Salah satu cara untuk membuat pengalaman berduka lebih efektif adalah dengan mengeluarkannya. Meski awalnya sangat sulit untuk bicara tentang kematian seseorang, biasanya dengan mengutarakannya dapat sangat membantu. Hal utama yang perlu diingat, fokusnya adalah pada perasaan berduka. Beberapa hal mungkin terdengar sepele, seperti ”setidaknya dia keluar dari penderitaannya”, tetapi seorang teman yang baik harus berusaha untuk mendengarkan dan membantu orang yang tengah berduka untuk membicarakan perasaannya sebanyak mungkin.

Seseorang yang mendorong dan memberdayakan teman yang tengah berduka agar mengungkapkan perasaannya merupakan hal yang melegakan. Orang cenderung tidak malu jika dapat bercerita kepada beberapa teman dekat yang dapat dipercaya. Dukungan akan sangat membantu apabila teman dekat tidak menginterupsi pembicaraan dengan berbagai penilaian atau respons yang justru menghakimi dan menimbulkan emosi negatif yang baru.

Cara lain untuk mengatasi kedukaan adalah menggunakan cara yang relevan, misalnya dengan aktivitas fisik, seperti jalan cepat, membantu untuk mengurangi ketegangan, setidaknya untuk sementara. Beberapa upacara pemakaman dan doa bersama secara psikologis dapat menjadi penyaluran untuk melepas kedukaan. Membereskan urusan almarhum yang belum selesai juga dapat menjadi sesuatu yang bersifat terapeutis.

Semoga membantu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar