Senin, 13 Mei 2013

Mempersoalkan Caleg Bermasalah


Mempersoalkan Caleg Bermasalah
Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
KORAN SINDO, 13 Mei 2013


Lantaran partai politik (parpol) tidak siap menghadapi pemilu umum (pemilu) 2014, banyak calon anggota legislatif (caleg) ditemukan Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) merupakan sosok bermasalah. 

Parpol terkesan masih mengandalkan pada popularitas seseorang, sehingga di antara caleg yang diajukan merupakan sosok bermasalah. Kita berharap agar caleg bermasalah tidak diloloskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Caleg yang dikategorikan bermasalah bukan hanya karena terkait masalah hukum, melainkan juga yang tidak memenuhi persyaratan administrasi, karena kolusi dan nepotisme atau hubungan keluarga dengan pimpinan parpol. 

Korupsi bukan satu-satunya masalah, sebab unsur nepotisme merupakan cacat dalam bentuk lain. Misalnya dalam daftar caleg sementara (DCS) hasil verifikasi administrasi KPU terhadap berkas para caleg DPR (7/5), banyak pasangan suami-istri, anak, adik, dan ipar dari pimpinan parpol tanpa pertimbangan kualitas. Data itu membuat kita pesimistis bahwa Pemilu 2014 akan mampu menghasilkan anggota legislatif berkualitas, yang mau dan mampu memperjuangkan nasib rakyat. 

Ketidakberanian partai mencoret pemain lama yang beraroma korupsi, menjadi indikasi kalau partai tidak melakukan perubahan apa-apa. Kekuasaan tetap menjadi pilihan utama, meski ada masalah. Malah ada tiga parpol, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan dan Persatuan (PKPI), seratus persen tidak memenuhi syarat administrasi. Mereka terancam tidak ikut pemilu jika tidak mampu memenuhi syarat administrasi sampai 22 Mei 2013. 

Daur Ulang 

Ternyata sekitar 90,1% DCS untuk DPR masih pemain lama. Parpol melakukan jalan pintas dengan mendaur ulang calegnya atau memasang selebritas dari kalangan artis. Dari satu sisi bisa dipahami kenapa parpol masih mencalonkan kader lama yang sedang duduk di parlemen. Tentu ini pertimbangan pragmatis, mereka masih diandalkan meraup suara lantaran sudah menanam jasa politik di masyarakat. 

Tetapi pada sisi lain, caleg daur ulang mengindikasi bahwa parpol belum berhasil melakukan kaderisasi. Belum ada upaya radikal untuk mendidik kader muda yang bisa diandalkan untuk dijual ke publik. Indikasi lain dari kegagalan parpol dari sisi administrasi adalah: adanya caleg ganda yang maju melalui lebih dari satu partai atau berada di lebih dari satu daerah pemilihan. I

ni menandakan amburadulnya administrasi internal partai. Ada kegalauan parpol dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kaderisasi pemimpin dan politisi unggul. Lebih memprihatinkan lagi, karena ada parpol memasang harga mahal bagi calegnya. Hasil penelitian disertasi Doktor Pramono Anung menyebut: biaya untuk maju dalam pencalonan legislatif bervariasi antara Rp250 juta hingga Rp6 miliar. Muncullah sinisme, orang miskin dilarang jadi caleg. 

Memang tidak ada yang salah, bahkan sama sekali tidak dilarang dalam undang-undang. Hanya, sebagian dari mereka punya implikasi yang kurang menguntungkan terhadap institusi parlemen, sebab ada yang terindikasi kasus hukum. Maka itu, rakyat tidak punya banyak pilihan, malah ada keraguan kualitas parlemen mendatang tidak akan lebih baik dari sebelumnya. 

Ketua DPR Marzuki Alie juga mengakui soal itu. Setidaknya muka-muka lama akan menentukan bulatlonjong atau hitam-putihnya wajah parlemen mendatang. Mereka dianggap ”siap saji” lantaran sudah berpengalaman. Tetapi sayangnya, muka-muka lama, baik caleg DPR maupun DPRD sudah telanjur dicap publik belum mampu menunjukkan kinerja yang baik. 

Misalnya malas mengikuti persidangan, menghamburkan anggaran lantaran doyan pelesiran dengan modus proses legislasi, menuntut banyak fasilitas mewah, bahkan tidak sedikit yang terlibat kasus korupsi dan asusila. 

Caleg Artis 

Bukan hanya parpol lama yang masih mengandalkan artis untuk meraup kursi di Senayan. Partai NasDem, salah satu parpol pendatang baru juga tidak mau kalah. Sederetan nama artis juga masuk dalam daftar calon legislatif. Sebut saja Doni Damara, Jane Shalimar, Mel Sandy, Melly Manuhutu, Sarwana, dan mantan pemain bulu tangkis Ricky Subagja. Kita masih tetap ragu terhadap kualitas dan kompetensi caleg artis, terutama artis pemain baru di dunia politik. 

Maka itu, jangan terlalu banyak berharap pada sosok wakil rakyat untuk benar-benar menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Sangat sedikit parpol yang berani mengajukan kader baru, sementara artis hanya sekadar dijadikan alat untuk mendulang suara (vote getter). 

Realitas di DPR, banyak kasus wakil rakyat dari kalangan artis hanya sebagai pajangan karena tidak memberikan kontribusi pemikiran yang brilian. Seharusnya parpol menyuguhkan beragam alternatif dengan mengajukan caleg yang lebih segar, lebih berintegritas, punya kualitas kompetensi, dan berani memperjuangkan kepentingan rakyat. 

Akan lebih bermartabat sekiranya pemilu legislatif tidak sekadar dijadikan pesta demokrasi formalitas lima tahunan. Juga tidak boleh cuma menjadi momentum yang menandai babak baru perpolitikan, tetapi miskin substansi dan kualitas. 

Pengalaman di berbagai negara demokrasi yang sudah mapan, pemilu selalu dijadikan wahana pembaruan dan penyegaran politik. Bukan mengulang kekeliruan masa lalu. Pemilu 2014 bisa terintegrasi dengan baik, jika parpol peserta pemilu benar-benar melakukan fungsi kaderisasi dan rekrutmen caleg dengan berdasarkan pada orientasi dan akar masyarakat. 

Parpol harus melepaskan diri dari belenggu ”keranjang sampah” yang diisi barang serbamewah, tetapi tidak menyehatkan. Malah, berpotensi menumbuhkan kaderisasi calon koruptor lantaran banyaknya biaya yang dikeluarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar