|
KORAN TEMPO, 08 Mei 2013
Sebanyak 64 calon anggota legislatif (caleg) dari kalangan
artis ikut bertarung dalam pemilihan umum (Pemilu) 2014. Sedikitnya terdapat
tiga argumen yang berkembang mengenai maraknya fenomena caleg dari kalangan artis.
Pertama, menekankan lemahnya pengkaderan dan rekrutmen pada partai politik
(parpol). Kedua, memperhatikan minimnya tingkat pengetahuan yang dimiliki artis
yang dalam urusan politik secara umum. Dan yang ketiga, menekankan adanya
momentum pemilu. Artis ataupun parpol menggunakan momentum pemilu untuk saling
dukung: artis perlu parpol, dan parpol perlu artis untuk mendulang suara. Cukup
jelas untuk dikatakan jika masalahnya bukan hanya terletak pada calegnya, tapi
juga pada parpolnya. Secara umum, ujung dari argumen-argumen tersebut
menunjukkan semakin melemahnya fungsi parpol sebagai pilar penting dalam
demokrasi. Tulisan ini memberikan gambaran lain dengan mengevaluasi dampak yang
lebih jauh jika semakin banyak anggota parlemen yang berasal dari kalangan
artis (untuk seterusnya ditulis caleg artis).
Terkait dengan caleg artis, ada tiga elemen utama yang
perlu diselidiki lebih dalam: suplai politikus bagi parpol, insentif bagi
anggota parpol, serta transaksi antara parpol dan pemilih. Secara normatif, parpol
merupakan salah satu organisasi penting dalam demokrasi, dan agak sulit
membayangkan demokrasi tanpa parpol. Jauh lebih sulit lagi membayangkan parpol
yang anggotanya berasal dari bukan kader yang kompeten dan loyal. Langkah
penunjukan caleg artis secara langsung memotong jalur suplai sebuah parpol.
Pertama, dalam sebuah sistem politik yang sehat, parpol
membutuhkan suplai politikus yang kompeten dan berpengalaman secara kontinu.
Suplai sebuah parpol bukan sembarang politikus yang hanya mampu mendulang suara
karena popularitasnya. Parpol sebagai sebuah organisasi tidak berbeda dengan
yang lainnya untuk dapat bertahan hidup jangka panjang. Hanya, daya hidup
parpol sangat ditentukan oleh berapa banyak suara yang dapat dikumpulkan pada
satu siklus pemilu yang teratur. Penunjukan artis sebagai calegnya bisa saja
menjadi pendulang suara. Namun langkah ini memotong jalur suplai yang sudah
lama terbentuk. Hampir tidak mungkin membayangkan sebuah parpol yang terputus
mata rantai suplai politikusnya.
Kedua, penunjukan caleg artis menciptakan insentif negatif
(disincentive) pada tingkat internal parpol. Penunjukan caleg dari luar atau
bukan anggota parpol akan merusak struktur insentif yang sudah dibangun
sebelumnya. Dalam kondisi biasa, parpol memberikan insentif kepada anggotanya
agar dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi. Penunjukan menjadi caleg
merupakan bentuk insentif yang tertinggi. Tawaran ini hanya diberikan setelah
seorang anggota memberikan pengabdian dan loyalitas kepada sebuah parpol, dan
yang lebih penting, dia dianggap kompeten. Penunjukan caleg dari luar dapat
meruntuhkan insentif, dan ujung-ujungnya membuat calon anggota lain yang bukan
artis malas mendaftarkan diri. Jika hal ini terjadi terus-menerus, jumlah caleg
dari kalangan artis akan semakin banyak. Sebab, hanya artis yang memiliki
insentif tinggi untuk bergabung dalam parpol. Kelompok artis dapat langsung
menjadi caleg tanpa harus memperlihatkan dedikasi, loyalitas, dan kecakapan
berpolitik.
Ketiga, transaksi politik antara parpol dan pemilih.
Hubungan utama antara caleg, parpol, dan pemilih terletak pada kepercayaan.
Namun hubungan ini juga bersifat transaksional, dan terjadi ketika Pemilu
berlangsung: pemilih memberikan suara, dan caleg serta parpolnya mendapatkan
suara. Namun hubungan keduanya harus tetap berlanjut karena pemberian suara
merupakan partisipasi nyata dari pemilih, sedangkan parpol memiliki kewajiban
untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan pemilihnya. Artinya, pemilih
percaya jika anggota legislatif, melalui parpol, akan mengupayakan upaya
terbaik mereka untuk mewujudkan harapannya melalui sebuah proses politik di
parlemen. Proses politik berujung pada lahirnya undang-undang yang merespons
kehendak pemilih.
Untuk memenuhi transaksi politik tadi, seorang politikus
mesti memenuhi persyaratan: kompetensi dalam bidang politik dan teknis.
Penguasaan teknis mensyaratkan ketekunan dan penguasaan teknis dan detail pada
masalah. Proses legislasi memerlukan keterampilan politik untuk negosiasi,
melakukan lobi, dan isu teknis yang hanya dimengerti melalui pendidikan
tertentu.
Jika caleg artis tidak memenuhi syarat tersebut, berarti
dikategorikan sebagai amatir. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi arti amatir:
kegiatan yang dilakukan atas dasar kesenangan dan bukan untuk memperoleh nafkah.
Lawan dari amatir adalah profesional, yang diartikan sebagai memerlukan
kepandaian khusus untuk menjalankannya. Maka amatir dapat dikatakan tidak
memiliki kepandaian khusus untuk menjalankannya, dan dilakukan hanya untuk
senang-senang. Dalam konteks politikus amatir, yang mencakup caleg artis, maka
artinya tidak memiliki pengetahuan yang cukup, tidak mau sepenuhnya
menginvestasikan tenaga, pikiran dan waktunya untuk politik. Jadi, berpolitik
bagi (caleg) artis hanya dilakukan tanpa memakai kecakapan khusus, dan mungkin
saja untuk senang-senang.
Setiap anggota parlemen memiliki tugas utama memperjuangkan
kepentingan publik pemilihnya. Publik (pemilih) akan dirugikan jika caleg artis
yang terpilih masih amatir. Lebih jauh, publik akan dirugikan jika anggota
legislatif tidak menjalankan tugasnya karena tidak cakap. Pembahasan mengenai
suatu rancangan undang-undang mutlak memerlukan kecakapan teknis yang memadai.
Selain itu, diperlukan komitmen jangka panjang untuk terlibat. Kecemasan muncul
terkait dengan kecakapan teknis untuk menyelesaikan masalah dengan tingkat
kompleksitas tinggi. Bidang-bidang tersebut biasanya berhubungan langsung
dengan hajat hidup orang banyak dan sangat penting. Itu mencakup ekonomi,
fiskal, energi, perburuhan, pendidikan, dan lingkungan hidup. Namun, di negeri
seperti Indonesia, yang masih berkutat keras dengan pengalokasian anggaran,
masalah fiskal selalu penting dan tidak dapat diabaikan begitu saja.
Selain transaksi bersifat individu antara caleg (atau
parpol) dan pemilih, pemilu merupakan transaksi yang sifatnya publik karena
hajatan ini menggunakan uang pajak (uang rakyat). Dari sisi ini, pemilu layak
dinilai sebagai investasi publik. Diperkirakan dana publik yang akan dipakai
pemilu mencapai Rp 16 triliun, dan ini dana yang tidak sedikit. Publik berharap
investasinya berbuah baik. Karena itu, pemilu dapat diumpamakan sebagai sebuah
proses penawaran umum. Setiap kegiatan penawaran umum mensyaratkan keterbukaan
informasi. Dalam konteks ini, keterbukaan informasi mencakup kecakapan caleg
yang memang mesti dibuka sebagai bentuk tanggung jawab atas penggunaan dana
publik dalam investasi politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar