Rabu, 08 Mei 2013

Caleg Selebritas : Masih Amatir?


Caleg Selebritas : Masih Amatir?
Wahyu Prasetyawan   Dosen Ekonomi Politik di UIN Syarif Hidayatullah, Visiting Professor Di National Graduate Institute For Policy Studies (Grips), Tokyo, Jepang
KORAN TEMPO, 08 Mei 2013


Sebanyak 64 calon anggota legislatif (caleg) dari kalangan artis ikut bertarung dalam pemilihan umum (Pemilu) 2014. Sedikitnya terdapat tiga argumen yang berkembang mengenai maraknya fenomena caleg dari kalangan artis. Pertama, menekankan lemahnya pengkaderan dan rekrutmen pada partai politik (parpol). Kedua, memperhatikan minimnya tingkat pengetahuan yang dimiliki artis yang dalam urusan politik secara umum. Dan yang ketiga, menekankan adanya momentum pemilu. Artis ataupun parpol menggunakan momentum pemilu untuk saling dukung: artis perlu parpol, dan parpol perlu artis untuk mendulang suara. Cukup jelas untuk dikatakan jika masalahnya bukan hanya terletak pada calegnya, tapi juga pada parpolnya. Secara umum, ujung dari argumen-argumen tersebut menunjukkan semakin melemahnya fungsi parpol sebagai pilar penting dalam demokrasi. Tulisan ini memberikan gambaran lain dengan mengevaluasi dampak yang lebih jauh jika semakin banyak anggota parlemen yang berasal dari kalangan artis (untuk seterusnya ditulis caleg artis).
Terkait dengan caleg artis, ada tiga elemen utama yang perlu diselidiki lebih dalam: suplai politikus bagi parpol, insentif bagi anggota parpol, serta transaksi antara parpol dan pemilih. Secara normatif, parpol merupakan salah satu organisasi penting dalam demokrasi, dan agak sulit membayangkan demokrasi tanpa parpol. Jauh lebih sulit lagi membayangkan parpol yang anggotanya berasal dari bukan kader yang kompeten dan loyal. Langkah penunjukan caleg artis secara langsung memotong jalur suplai sebuah parpol.
Pertama, dalam sebuah sistem politik yang sehat, parpol membutuhkan suplai politikus yang kompeten dan berpengalaman secara kontinu. Suplai sebuah parpol bukan sembarang politikus yang hanya mampu mendulang suara karena popularitasnya. Parpol sebagai sebuah organisasi tidak berbeda dengan yang lainnya untuk dapat bertahan hidup jangka panjang. Hanya, daya hidup parpol sangat ditentukan oleh berapa banyak suara yang dapat dikumpulkan pada satu siklus pemilu yang teratur. Penunjukan artis sebagai calegnya bisa saja menjadi pendulang suara. Namun langkah ini memotong jalur suplai yang sudah lama terbentuk. Hampir tidak mungkin membayangkan sebuah parpol yang terputus mata rantai suplai politikusnya.
Kedua, penunjukan caleg artis menciptakan insentif negatif (disincentive) pada tingkat internal parpol. Penunjukan caleg dari luar atau bukan anggota parpol akan merusak struktur insentif yang sudah dibangun sebelumnya. Dalam kondisi biasa, parpol memberikan insentif kepada anggotanya agar dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi. Penunjukan menjadi caleg merupakan bentuk insentif yang tertinggi. Tawaran ini hanya diberikan setelah seorang anggota memberikan pengabdian dan loyalitas kepada sebuah parpol, dan yang lebih penting, dia dianggap kompeten. Penunjukan caleg dari luar dapat meruntuhkan insentif, dan ujung-ujungnya membuat calon anggota lain yang bukan artis malas mendaftarkan diri. Jika hal ini terjadi terus-menerus, jumlah caleg dari kalangan artis akan semakin banyak. Sebab, hanya artis yang memiliki insentif tinggi untuk bergabung dalam parpol. Kelompok artis dapat langsung menjadi caleg tanpa harus memperlihatkan dedikasi, loyalitas, dan kecakapan berpolitik.
Ketiga, transaksi politik antara parpol dan pemilih. Hubungan utama antara caleg, parpol, dan pemilih terletak pada kepercayaan. Namun hubungan ini juga bersifat transaksional, dan terjadi ketika Pemilu berlangsung: pemilih memberikan suara, dan caleg serta parpolnya mendapatkan suara. Namun hubungan keduanya harus tetap berlanjut karena pemberian suara merupakan partisipasi nyata dari pemilih, sedangkan parpol memiliki kewajiban untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan pemilihnya. Artinya, pemilih percaya jika anggota legislatif, melalui parpol, akan mengupayakan upaya terbaik mereka untuk mewujudkan harapannya melalui sebuah proses politik di parlemen. Proses politik berujung pada lahirnya undang-undang yang merespons kehendak pemilih. 
Untuk memenuhi transaksi politik tadi, seorang politikus mesti memenuhi persyaratan: kompetensi dalam bidang politik dan teknis. Penguasaan teknis mensyaratkan ketekunan dan penguasaan teknis dan detail pada masalah. Proses legislasi memerlukan keterampilan politik untuk negosiasi, melakukan lobi, dan isu teknis yang hanya dimengerti melalui pendidikan tertentu.
Jika caleg artis tidak memenuhi syarat tersebut, berarti dikategorikan sebagai amatir. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi arti amatir: kegiatan yang dilakukan atas dasar kesenangan dan bukan untuk memperoleh nafkah. Lawan dari amatir adalah profesional, yang diartikan sebagai memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Maka amatir dapat dikatakan tidak memiliki kepandaian khusus untuk menjalankannya, dan dilakukan hanya untuk senang-senang. Dalam konteks politikus amatir, yang mencakup caleg artis, maka artinya tidak memiliki pengetahuan yang cukup, tidak mau sepenuhnya menginvestasikan tenaga, pikiran dan waktunya untuk politik. Jadi, berpolitik bagi (caleg) artis hanya dilakukan tanpa memakai kecakapan khusus, dan mungkin saja untuk senang-senang.
Setiap anggota parlemen memiliki tugas utama memperjuangkan kepentingan publik pemilihnya. Publik (pemilih) akan dirugikan jika caleg artis yang terpilih masih amatir. Lebih jauh, publik akan dirugikan jika anggota legislatif tidak menjalankan tugasnya karena tidak cakap. Pembahasan mengenai suatu rancangan undang-undang mutlak memerlukan kecakapan teknis yang memadai. Selain itu, diperlukan komitmen jangka panjang untuk terlibat. Kecemasan muncul terkait dengan kecakapan teknis untuk menyelesaikan masalah dengan tingkat kompleksitas tinggi. Bidang-bidang tersebut biasanya berhubungan langsung dengan hajat hidup orang banyak dan sangat penting. Itu mencakup ekonomi, fiskal, energi, perburuhan, pendidikan, dan lingkungan hidup. Namun, di negeri seperti Indonesia, yang masih berkutat keras dengan pengalokasian anggaran, masalah fiskal selalu penting dan tidak dapat diabaikan begitu saja.
Selain transaksi bersifat individu antara caleg (atau parpol) dan pemilih, pemilu merupakan transaksi yang sifatnya publik karena hajatan ini menggunakan uang pajak (uang rakyat). Dari sisi ini, pemilu layak dinilai sebagai investasi publik. Diperkirakan dana publik yang akan dipakai pemilu mencapai Rp 16 triliun, dan ini dana yang tidak sedikit. Publik berharap investasinya berbuah baik. Karena itu, pemilu dapat diumpamakan sebagai sebuah proses penawaran umum. Setiap kegiatan penawaran umum mensyaratkan keterbukaan informasi. Dalam konteks ini, keterbukaan informasi mencakup kecakapan caleg yang memang mesti dibuka sebagai bentuk tanggung jawab atas penggunaan dana publik dalam investasi politik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar