|
KOMPAS, 22 Mei 2013
Belum
lama ini parpol menyetorkan daftar calon sementara untuk Pemilu 2014. Tiap
partai politik mengklaim mampu memenuhi kuota perempuan 30 persen di tiap
daerah. Terlepas
dari validitas dan kualitas calon yang didaftarkan, kaum perempuan punya
harapan besar dengan hadirnya perubahan yang memihak hak-hak mereka. Kuota
calon legislator perempuan sekurang-kurangnya 30 persen di tiap daerah
pemilihan menjadi tantangan sekaligus peluang bagi perempuan Indonesia dalam
Pemilu 2014. Kalau tantangan ini tak mampu dijawab oleh kaum perempuan, proses
demokratisasi Indonesia akan mandek di tengah jalan.
Akan
tetapi, bukan perempuan saja yang mesti menjawabnya. Partai politik sebagai
instrumen politik rakyat sebenarnya berperan penting menyiapkan kader perempuan
untuk duduk di parlemen. Mestinya parpol yang sudah mengikuti Pemilu 2009 sudah
paham soal kuota 30 persen. Namun, faktanya dalam berbagai pemberitaan di
media, partai yang sudah ikut Pemilu 2009 pun masih kebingungan mencari caleg
perempuan di Pemilu 2014.
Ruang
publik dikooptasi
Fakta
minimnya caleg perempuan ini merupakan indikasi bahwa parpol tidak serius dalam
melakukan kaderisasi. Waktu lima tahun sejak 2009 mestinya cukup untuk menyusun
agenda kaderisasi perempuan. Sayangnya tidak ada itikad baik parpol.
Apa
yang dilakukan justru menebar citra dan korupsi. Elite partai sibuk dengan
agenda korupsi. Agenda kaderisasi perempuan hanya ada dalam seminar dan
lokakarya, setelah itu bubar tidak ada tindak lanjut.
Di
Indonesia, banyak hari yang dapat dijadikan oleh kaum perempuan untuk
mengukuhkan lahirnya ”era baru” sebuah emansipasi yang demokratis. Ada Hari
Kartini, Hari Perempuan, Hari Antikekerasan terhadap Perempuan, Hari Ibu, dan
lainnya. Sayangnya, hari-hari itu hanya menjadi selebrasi yang seremonial,
bukan komitmen menghapuskan kekerasan dan diskriminasi, bukan pula komitmen
pemberdayaan dan kaderisasi politik. Ruang publik yang emansipatoris dan
demokratis masih dikooptasi dengan penuh hegemoni.
Menurut
Karlina Supelli (2001), kondisi ruang publik di Indonesia sekarang ini adalah
kondisi ultraliberal atomis dan atomistik, yang sesekali ditabrak
kekuatan-kekuatan tribal sektarian dalam bentuk sektarianisme agama, etnis, dan
sebagainya. Di tengah kondisi demikian, kontestasi ruang publik bagi perempuan
banyak terjebak dalam ajaran patriarkat. Sektarianisme agama dan etnis menjadi
tembok besar yang sering kali menggulung ruang publik perempuan yang
demokratis. Perempuan sering kali ”kalah” dalam perebutan ruang publik tersebut
karena selain masih kuatnya tembok besar itu, perempuan sendiri masih banyak
yang belum berdaya.
Tantangan
berat dalam kontestasi ruang publik ini adalah globalisasi. Karena, selain
sebuah keniscayaan sejarah, globalisasi—bagi Habermas—juga telah menginjeksikan
kepalsuan dalam spiral komunikasi sehingga dalam praktiknya sering melahirkan
distorsi komunikasi. Resistensi dari sebagian kelompok tertentu bahkan
memanifestasi dalam tindakan teror yang berasal dari distorsi komunikasi.
Globalisasi secara kejam telah membagi dunia ke dalam kelompok pemenang dan
pecundang. Tragisnya, perempuan selalu menjadi pecundang dan terus
dipecundangi.
Ruang
publik, lagi-lagi meminjam terminologi Jurgen Habermas, merupakan kondisi
komunikasi yang dapat menumbuhkan kekuatan solidaritas yang mengutuhkan sebuah
masyarakat dalam perlawanannya terhadap sumber-sumber lain. Sumber-sumber lain
itu tak lain adalah uang (pasar kapitalis) dan kuasa (birokrasi negara) agar
tercapai suatu keseimbangan (Hardiman dkk, 2011:18).
Perempuan
merupakan salah satu entitas yang berada dalam pergumulan ruang publik.
Kontestasi perempuan dalam ruang publik yang dihegemoni pasar dan kuasa negara
ini membutuhkan beragam kekuatan yang tidak sedikit.
Masyarakat
yang terbuka
Perjuangan
perempuan secara serempak sangat dibutuhkan untuk memberdayakan kaum perempuan.
Sejatinya, ruang publik sekarang ini telah dibuka bagi siapa saja, termasuk
perempuan. Namun, struktur sosial memang masih penuh ketimpangan.
Proyek
sangat strategis bagi kaum perempuan sekarang ini adalah menciptakan apa yang
dikatakan Karl Popper sebagai masyarakat terbuka. Masyarakat terbuka model
Popper adalah masyarakat warga yang mengandalkan ruang publik. Ruang publik
tersebut menjamin kebebasan setiap individu menyampaikan pemikiran dan
keyakinan, dan memungkinkan daya kritis mengemuka dengan bebas.
Popper
mengandaikan masyarakat sanggup menyelesaikan beragam persoalan dengan ”pikiran
jernih dan pengalaman ketimbang emosi dan hasrat”. Juga bersedia mengakui
setiap gagasan, pengetahuan, dan keyakinan bisa salah.
Dengan
sikap itu, perbedaan bukanlah momok yang perlu ditindas, tetapi ruh yang
menghidupkan ruang publik. Yang menghalangi hadirnya perbedaan adalah musuh
terwujudnya masyarakat terbuka. Musuh itu di daftar Popper ada fasisme dan
komunisme, rezim fasis-klerik, rezim korup, rezim militer diktator, dan
nasionalisme militan.
Dalam
konteks ini, perbedaan laki-laki dan perempuan dalam kontestasi ruang publik
merupakan ruh yang saling menghidupkan ruang publik. Maka dari itu, kaum
perempuan harus berdaya, baik berdaya hati, pikiran, maupun geraknya.
Kontestasi
ruang publik penuh kompetisi sehingga kaum perempuan butuh strategi jitu. Ini
mengamini tiga strategi perubahan sosial Kuntowijoyo (2001: 112) di tengah
transformasi sosial, yakni strategi struktural, strategi kultural, dan strategi
mobilitas sosial.
Strategi
struktural merupakan mobilisasi kolektivitas kaum perempuan dengan tujuan
jangka pendek. Strategi ini sering disebut juga strategi politik di mana
metodologinya melalui jalan birokrasi kekuasaan.
Strategi
kultural lebih menitikberatkan pada penyadaran intersubyektif melalui berbagai
media dan dialog yang dilakukan terus-menerus. Alhasil basis kultural perempuan
tetap kuat, sadar sejak dari budaya berpikirnya, tak mudah dimanipulasi, dan
teguh pada prinsip hidupnya.
Sementara
strategi mobilitas sosial adalah mendialektikakan kedua strategi di atas.
Strategi ini memang bersifat jangka panjang, bukan dengan cara instan, di mana
metodenya adalah melalui pendidikan dan peningkatan kualitas SDM kaum
perempuan.
Ketiga
strategi yang disuguhkan Kuntowijoyo sangat tepat dijadikan pijakan oleh kaum
perempuan di tengah kontestasi politik menuju ruang publik yang demokratis.
Perempuan akan hadir sebagai dirinya sendiri yang diakui, berdaulat, dan
berdaya.
Gerakan
emansipasi di tengah publik yang demokratis jangan sampai terjebak dengan
anomali dan patologi. Hanya dengan begitu gerakan kaum perempuan tidak
terjerembap dalam persoalan artifisial di ruang publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar