|
KOMPAS, 23 Mei 2013
Di
awal perkembangan ilmu administrasi publik, ilmu yang obyeknya tentang
hal-ihwal tindakan pemerintahan, terjadi dua perdebatan yang hangat. Perdebatan
itu tentang akuntabilitas dan etika dalam pemerintahan ini.
Perdebatan
pertama dilakukan Friedrich (1940) dan Finer (1941). Adapun debat yang kedua
dilakukan antara Herbert Simon dan Dwight Waldo.
Carl
J Friedrich berpendapat, akuntabilitas di dalam pemerintahan tidak efektif dan
tidak diperlukan karena sudah dilakukan administrator yang profesional melalui
garis hierarki kepada pejabat internal. Pendapat itu disanggah Herbert Finer
karena, meski dilakukan profesional, di dalam pemerintahan yang bersumber dari
rakyat, secara etika pejabat harus bertanggung jawab kepada publik. Debat Simon
dan Waldo sejalan dengan Friedrich dan Finer tersebut.
Akuntabilitas
dan demokrasi
Di
dalam pemerintahan yang demokratis, segala hal yang dikerjakan pemerintah harus
bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Pemahaman publik ini wujudnya adalah
seluruh komponen rakyat yang menjadi sumber terbentuknya pemerintahan yang
demokratis itu. Gaya kepemerintahan seperti ini, menurut Stephen Goldsmith dan
Willian Eggers dalam Governing by
Networking (2004) dan David McNabb dalam New Face of Government (2009), menjadikan gaya kepemerintahan yang
dilakukan institusi dan perilaku pejabat yang dekat dengan nasib rakyatnya.
Itulah sebabnya ada kecenderungan, jika rakyatnya menyatakan kepemimpinan
pejabat itu menyakiti amanat hati rakyat, moral etikanya pemimpin itu harus
mundur dari jabatannya.
Pejabat
yang gaya kepemerintahan normatif tradisional bersikap bergantung kepada
prosedur hierarki jabatan (Friedrich dan Simon). Pejabat yang diangkat dalam
jabatannya itu oleh pejabat yang berwenang hanya merasa bertanggung jawab
kepada atasannya itu. Itulah gaya kepemerintahan birokrasi Weberian yang banyak
diperbaiki kedua buku tersebut.
Gaya
kepemerintahan normatif prosedural birokrasi hierarki tersebut, kata Goldsmith
dan Eggers, telah diubah menjadi gaya kepemimpinan muka baru yang disebut networking. Dengan demikian,
pemberantasan korupsi, misalnya, secara normatif prosedural seharusnya bukan
hanya tugas pokok KPK dan lembaga penegak hukum lainnya, melainkan secara
networking juga melibatkan semua aktor, termasuk rakyat, partai politik,
lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi profit ataupun nonprofit. Dengan
jalinan networking ini, semoga pemberantasan korupsi akan bisa segera menuai
hasil yang memuaskan semua pihak. Bukan semata-mata menonjolkan kekuasaan yang
luar biasa.
Mundur
dari jabatan
Pertanggungjawaban
kepemerintahan memang ada dua perspektif. Pertama, seperti disinggung di depan,
dilakukan melalui jalur komando hierarki. Setiap pejabat yang diangkat oleh
pejabat atasannya merasa bertanggung jawab kepada atasannya. Karena itu,
seorang menteri yang diangkat oleh presiden, moral komando hierarkinya harus
bertanggung jawab kepada presiden.
Sistem
aturan ini tidak akan hilang dan telah lama hidup dalam sistem birokrasi
pemerintahan sejak zaman kuno dahulu. Sistem hierarki ini banyak dikritik para
pemikir ilmu sosial dan politik karena sistem seperti ini merupakan perwujudan
dari dominasi kekuasaan (Barry Hindess, 1966) dan mengekang kreativitas orang.
Selain itu, yang amat penting, telah mengesampingkan suara rakyat dalam
pemerintahan yang demokratis.
Pertanggungjawaban
kedua dalam kepemerintahan yang demokratis selalu dikaitkan dengan publik,
yakni kepada rakyat yang membentuk pemerintahan ini. Tidak ada presiden di
dalam pemerintahan demokratis jika tidak dipilih rakyat. Tidak ada seseorang
yang bakal menjadi menteri kalau tidak dipilih presiden yang dipilih rakyat.
Dengan demikian, menteri pun logikanya tidak bisa mengesampingkan suara rakyat.
Bahkan,
pertanggungjawaban kedua ini dikaitkan dengan moral dan etika kepemerintahan
(Finer dan Waldo). Sanksinya bersifat moral. Dengan demikian, jika pejabat yang
kebijakannya dan sikap tindakan manajerialnya membuat susahnya rakyat yang
mengangkatnya, moral pejabat tersebut tidak etis. Supaya etis, pejabat itu
diharuskan rela mundur sebelum diberhentikan oleh pejabat hierarki yang
mengangkatnya. Pertanggungjawaban semacam ini amat didambakan dalam
pemerintahan yang berwajah baru, suatu sikap manajerial pemerintahan yang
demokratis.
Akhir-akhir
ini, banyak pejabat pemerintah yang kebijakan, tindakan, sikap, dan perilakunya
bikin susah, sulit, bahkan mematikan rakyat, tetapi masih menunggu belas
kasihan presiden untuk diberhentikan. Pejabat semacam itu sudah kehilangan
etika dan moral akuntabilitas publik. Dahulu, di awal kemerdekaan dan
pemerintahan yang demokratis, Bung Hatta memberi contoh mundur dari jabatan
wakil presiden ketika tidak lagi cocok dengan kebijakan Bung Karno. Nama Bung
Hatta tetap harum: pribadi dan sikap perilakunya prominen, terhormat, dan
terpuji sampai akhir hayatnya.
Mundur
dari jabatan karena merasa bersalah bukanlah aib, melainkan satria. Barangkali,
karena perkembangan pemerintahan yang demokratis di tempat kita belum sampai
pada tataran menghitung etika, pejabat menunggu diganti oleh atasannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar