Kamis, 09 Mei 2013

Buruh dan Monologisme Korporasi


Buruh dan Monologisme Korporasi
Siti Marwiyah   Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya
SUARA KARYA, 08 Mei 2013


Salah satu elemen sosial berlabel miskin adalah buruh (pekerja), yang memang berasal dari kalangan akar rumput (the grassroot). Mereka ini tersebar di perusahaan-perusahaan untuk menjalankan pekerjaan di level standar minimum pengupahan regional (daerah), bahkan kurang dari ketentuan pengupahan yang ditentukah oleh pemerintah. Mereka menerima upah yang tidak sebanding dengan kebutuhan atau kepentingan hidup sehari-harinya.

Memang, jika direlasikan dengan realitas tuntutan aneka kebutuhan hidup yang serba mencekik, seperti biaya sekolah, biaya pengobatan, kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang semakin 'eksklusif', maka posisi buruh semakin terhimpit dan termarjinalkan. Pasalnya, apa yang diperoleh mereka dari perusahaan (korporasi) yang bersifat 'sekedarnya', rasanya mustahil bisa dijadikan modal oleh buruh untuk menjawab kebutuhan tersebut.

Semestinya, yang ikut bertanggung jawab secara privilitas dan fundamentalitas adalah perusahaan. Bagaimanapun perusahaan bisa menjadi besar, pemilik dan pemegang sahamnya dapat keuntungan besar, hal ini tidak lepas dari peran para buruhnya. Saat buruh 'mengeksploitasi' tenaga dan pikirannya untuk menjaga keberlanjutan dan mengembangkan perusahaan, sebenarnya mereka sudah menjadi pilar yang menunaikan kewajibannya dengan benar.

Alangkah damai, sejahtera, dan bahagianya buruh yang kehidupan kesehariannya digaransi oleh korporasinya? Mereka (buruh) tidak akan sampai terjerembab dalam kemiskinan absolut atau kehilangan pekerjaan, yang berarti masih bisa menikmati upah dan atmosfer kedamaian, manakala perusahaan memperlakukan buruh sebagai saudara atau mitra yang dimanusiakan.

Sayangnya, pimpinan perusahaan seringkali masih melihat buruh sebagai 'warga kelas dua' yang paling membutuhkan dirinya, sehingga ketika korporasi mengalami kesulitan mengembangkan atau menjaga keberlanjutan keuntungan ekonominya, serta-merta buruh yang dijadikan objek pertaruhannya. Buruh dikorbankan dengan paradigma pragmatis hegemonitas oleh perusahaan, bahwa keberadaan buruh sudah tidak lagi menguntungkan, sehingga harus ditumbalkan atau dimarjinalkan. PHK atau kebijakan rasionalisasi dengan berbagai dalih, misalnya, diajukan oleh perusahaan sebagai 'vonis' mematikannya.

Kebijakan tak populis yang dilakukan oleh seorang pemimpin strategis korporasi itu, seperti dinyatakan L Wochaves, dapat berdampak makro bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, khususnya yang paling berdekatan. Tidak sedikit hak-hak sakral dan fundamental buruh bisa hancur di tangan pemimpin berwatak atau bergaya monologis (mengutamakan kepentingan atau kesenangan diri sendiri), tetapi masa depannya juga serba tidak pasti. Buruh yang 'didehumanisasi' (ditelantarkan) oleh perusahaannya atau diabaikan nasibnya oleh majikan, berarti harus ditempatkan sebagai kumpulan manusia yang digagalkan sebagai 'manusia' oleh perusahaan atau komunitas pemilik modal.

Mereka (buruh) kesulitan mendapatkan hak kesejahteraan akibat sepak terjang elemen strategis korporasi yang menempatkan dirinya sekedar menjadi 'pencari' dan pemburu nafkah (upah), dan bukan sebagai elemen fundamental yang menentukan keberlanjutan hidup dan progresivitas korporasi. Jika korporasinya mengemas sikap monologis seperti itu, rasanya orang miskin seperti buruh di negeri ini akan tetap berada dalam 'lingkaran setan' ketidakberdayaan atau cengkeraman keterpurukan, ketidaksejahteraan, dan ketidakmanusiawiannya.

Mereka akan kesulitan menemukan jalan yang memanusiakan atau menyejahterakan dirinya akibat tangan humanistik, yang seharusnya menyejahterakannya, justru lebih memilih lebih mengutamakan keselamatan dirinya sendiri. Dhus, elemen strategis korporasi wajib menggunakan nalar cerdas dan humaniatasnya dalam membaca kondisi riil kehidupan buruh, pasalnya puluhan juta orang miskin, yang di dalamnya ada elemen buruh, masih kesulitan membebaskan dirinya dari 'jajahan' dan 'rajaman' kefakiran atau kepapan ekonomi.

Mereka (buruh) yang seharusnya dimanusiakan dan diberikan atmosfer oleh korporasi untuk menjadi mitra atau sesama yang hidup berkelayakan, kini benar-benar sedang atau telah sekian lama dihadapkan pada realitas memilukan.

Laporan Bank Dunia terbaru menunjukkan, sebagian besar penduduk miskin di Asia Tenggara tinggal di Indonesia. Lebih dari 110 juta orang Indonesia hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dolar AS atau kurang dari Rp 19.000 per hari. Jumlah orang sebanyak itu sama dengan total penduduk Malaysia ditambah seluruh penduduk Vietnam dan Kamboja. (Halim Imawan, 2011)

Laporan Bank Dunia tersebut seharusnya menjadi bahan refleksi oleh korporasi, bahwa penderitaan yang dialami oleh buruh (orang miskin), merupakan realitas yang menjadi proyeksi kewajiban berbasis kemanusiaan yang harus diwujudkannya. Buruh menempati ranah mengenaskan atau menyejahterakan, tak bisa dilepaskan dari kebijakan makro perusahaan. Ketika krisis ekonomi, misalnya, dikalkukasi sebagai ancaman serius keberlanjutan hidup korporasi maka korporasi akan berusaha keras untuk tidak tergesa-gesa membebankan kesulitannya kepada buruh.

Memang, selama ini mencuat asumsi bahwa negara sedang kehilangan keberdayaan dan kecerdasannya saat berhadapan dengan korporasi besar, meski korporasi ini jelas-jelas menciptakan petaka nasional maupun disinyalir sering memolitisasi hak-hak buruh. negara menjadi ciut nyali saat berhadapan dengannya akibat politik 'kedermawanan' yang diduga mengalir padanya. Inilah yang pernah diingatkan Aristoteles, bahwa semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan, maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, keadilan, dan kepatutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar