Kamis, 09 Mei 2013

Ambiguitas RUU Ormas


Ambiguitas RUU Ormas
Eka Azwin Lubis   Staf Pusat Studi HAM Unimed
SUARA KARYA, 08 Mei 2013


Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggagas satu Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Organisasi Kemasyarakatan. Mereka beranggapan bahwa UU Nomor 8 tahun 1985 tentang Ormas yang selama ini berlaku sudah tidak lagi representatif dengan dinamikan ormas yang ada saat ini.

Alasan-alasan yang mendasar dari digagasnya RUU ini adalah tidak ada spesifikasi aturan yang jelas mengenai sanksi yang dijatuhkan terhadap ormas apabila melanggar aturan, selain pembekuan dan pembubaran. Selain itu, ada tudingan bahwa terdapat beberapa ormas yang selama ini justru menjadi wadah bernaungnya para teroris yang senantiasa menyebar ancaman di Indonesia. Alasan lain dari DPR untuk menggagas RUU ini adalah tidak adanya transparansi dari ormas didanai baik dari dalam maupun luar negeri.
Sehingga melalui panitia khusus (pansus) yang dibentuk untuk melakukan konsolidasi RUU ini ke beberapa daerah seperti Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara, diharapkan anggota DPR dapat menyusun satu landasan hukum yang lebih tegas dan spesifik tentang ormas.

Namun, di sisi lain para penggiat ormas justru menganggap gagasan tentang RUU Ormas ini sebagai satu bentuk pengekangan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. RUU ini dikhawatirkan akan mengalami tumpang tindih dengan aturan-aturan sejenis yang telah ada sebelumnya.

Apabila pemerintah butuh produk hukum yang akurat untuk mengatur tentang permasalahan organisasi di Indonesia, bukankah sudah ada UU Nomor 28 tahun 2004 tentang yayasan dan staatblad tentang perkumpulan. Jika yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya spesifikasi sanksi bagi ormas yang melanggar aturan hukum, bukankah sudah ada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dengan tegas mengatur sanksi dari segala bentuk pelanggaran oleh masyarakat.

Anggapan dari anggota DPR bahwa ormas selama ini tidak transparan dalam hal keuangan dan yang lainnya, seharusnya ada rujukan yang pas untuk mengatur hal itu yakni UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jika benar, terbukti ada ormas yang menaungi para teroris di Indonesia ada UU Nomor 15/2003 tentang Anti Terorisme yang menjadi aturan rujukan.

Oleh sebab itu RUU tentang ormas ini dikhawatirkan pada akhirnya akan menjadi pemicu kerenggangan antara pemerintah dengan ormas yang selama ini banyak membantu kinerja pemerintah dalam hal membina kehidupan masyarakat meskipun tanpa harus mendapat kucuran dana dari pemerintah.

Paranoid tak Beralasan

Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara kesatuan yang memiliki berbagai latar belakang. Sudah lumrah jika banyak persepsi yang muncul ditengah perbedaan tersebut. Namun, adakalanya masyarakat Indonesia yang plural tadi disatukan dalam satu wadah yang merupakan arena berserikat atau berkumpul untuk mencapai satu visi yang sama diantara sesama anggota organisasi tersebut.

Banyak ormas muncul di Indonesia bahkan jauh sebelum negara ini lahir. Tentu kita masih ingat Budi Utomo, organisasi yang berdiri pada 1908 sebagai wadah bagi para pejuang Indonesia yang ingin menggelorakan semangat kemerdekaan pada saat itu. Hingga kini hari lahirnya Budi Utomo tetap diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Selain itu, ada benyak organisasi di Indonesia baik yang bersifat keagamaan, kedaerahan, atau bahkan kemahasiswaan yang kesemuanya merupakan wadah berkumpul bagi orang-orang yang memiliki satu pemahaman dan tujuan yang sama.

Pada tahun 1928 yang merupakan momentum dimana para pemuda yang tergabung dalam organisasi kedaerahannya seperti Jong Celebes, Jong Java, Jong Minahasa, Jong Sumatra Bond, dan lain-lain, melakukan satu pertemuan dan menghasilkan Sumpah Pemuda yang mengandung tiga poin penting sebagai alat pemersatu bangsa yang saat itu masih terpecah belah. Ini merupakan gambaran bagaimana ormas-ormas sudah muncul jauh sebelum negara ini merdeka dan memberi dampak positif dalam membangun semangat kebangsaan. Ormas-ormas tersebut selain bertujuan sebagai wadah berkumpul, namun juga memiliki peran vital untuk merebut kemerdekaan Indonesia.

Seiring dengan kehidupan kemerdekaan, semangat berorganisasi juga perlahan semakin berkembang ditengah masyarakat. Banyak organisasi yang lahir pasca kemerdekaan. Tidak hanya organisasi yang dibawah naungan pemerintah, namun organisasi non pemerintah juga subur bermunculan dalam mewarnai kebebasan berserikat dan berkumpul yang sudah diatur dalam pasal 28E ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Bahwa pasca kemerdekaan Indonesia banyak ormas yang bermunculan di tengah masyarakat Indonesia, sehingga pada tahun 1985 pemerintah mengeluarkan UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. UU ini lahir dengan semangat mengontrol dan merepresi dinamika ormas dan merupakan salah satu acuan hukum yang dibuat pemerintah untuk mengatur kehidupan berorganisasi di Indonesia.

Namun ada satu hal yang unik dalam UU ini karena ada pasal yang mengatur masalah pembekuan dan pembubaran (13 dan 14) sebuah organisasi oleh pemerintah apabila melanggar beberapa poin yang juga diatur dalam pasal tersebut tanpa mensyaratkan proses pengadilan yang adil dan berimbang. Ini menjadi satu hal yang sangat rancu karena apabila ada sebuah organisasi yang melanggar aturan dan dibubarkan oleh pemrintah, tidak ada kesempatan bagi mereka untuk membela diri di depan hukum yang berlaku.

Kemelut tentang aturan hukum yang mengatur tentang kehidupan berorganisasi di Indonesia diperparah dengan munculnya wacana pembuatan RUU tentang ormas. Apakah pemerintah yakin setelah RUU itu disahkan maka pengorganisiran massa akan lebih baik? Semoga aturan ini tidak memperpanjang blunder yang kerap dilakukan oleh pemerintah dalam membuat aturan hukum di republik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar