Kamis, 23 Mei 2013

Santet dan Kumpul Kebo


Santet dan Kumpul Kebo
JE Sahetapy  ;  Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga
KOMPAS, 23 Mei 2013


Kita sudah memasuki abad digital dan penerbangan ruang angkasa. Namun, di Indonesia justru ada yang berusaha memutar jarum jam: kembali ke masa sebelum abad pertengahan dengan menjadikan santet sebagai suatu perbuatan pidana atau kejahatan.

Lalu, ada anggota DPR yang hendak melakukan studi santet ke Eropa. Sepanjang yang saya ketahui, santet hanya menjadi problematik hukum di beberapa negara di Afrika dan Kanada.

Bila santet mau dijadikan suatu perbuatan pidana, bagaimana merumuskan elementen (unsur) dan atau bestanddelen (bagian yang menentukan). Menurut Prof Vrij, itu adalah dua hal pokok menyangkut santet, bukan melatih polisi menentukan ada tidaknya unsur-unsur perbuatan pidana santet.

Salah menghukum

Yang mengherankan saya, dari hubungan kausal secara kriminologis dan viktimologis, mengapa si peminta/penganjur yang mendatangi tukang santet juga tidak ikut dituduh atau dipidana sebagai medepleger atau pelaku peserta. Hal ini mengingatkan saya kepada larangan mengemudi mobil berpenumpang kurang dari tiga di jalan tertentu pada jam-jam tertentu. Yang ditindak polisi ternyata bukan pengemudi/pemilik mobil, melainkan mereka yang menyediakan diri sebagai ”penumpang gelap” untuk beberapa ribu rupiah.
Secara mutatis mutandis, hal itu juga berlaku kepada peminta agar orang tertentu disantet. Peminta tidak dipidana, tetapi tukang santet yang dipidana.

Kalau santet itu benar, mengapa para koruptor dan pelaku/penjual narkoba tidak disantet saja sebagai jalan pintas. Sesungguhnya, kalau dikaji secara kriminologis-viktimologis, problematik santet itu pada dasarnya hanyalah problematik ”penipuan” belaka. Isu santet diterima rakyat akar rumput yang percaya hal gaib, termakan balas dendam tanpa alasan rasional medis.

Budaya lama

Kumpul kebo pun kini mau diatur. Padahal, fenomena kumpul kebo setua budaya manusia. Di era primitif, orang tidak mempersoalkan kumpul kebo. Saat manusia mulai membangun komunitas dengan skala nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktural masyarakat, orang mulai membedakan berzina, melacurkan diri, dan fornication.

Ketika orang mulai menata norma hukum, berzina menjadi istilah yang mencakup semua hubungan seksual tidak sah, baik yang sudah menikah maupun yang belum. Orang membedakan overspel, yaitu yang sudah menikah, lelaki atau perempuan, dengan yang belum menikah dalam hal hubungan seksual yang tidak sah/resmi.

Bagian ritual

Beberapa abad lampau sampai sekarang, pelacuran dikenal sebagai bagian dari upacara/ritual ”agama” tidak dalam arti seperti sekarang. Kini, pelacuran dimaknai macam-macam, termasuk gratifikasi seksual oleh KPK.

Sementara fornication adalah hubungan seksual yang berlawanan seks atas dasar suka sama suka dari mereka yang belum kawin/menikah.

Dalam pengertian baku menurut agama mana pun, semua hubungan seksual yang tidak sesuai ketentuan agama dilarang. Lalu, mengapa orang-orang yang terpelajar dan beragama resmi melakukan hubungan seks yang jelas-jelas terlarang?

Meski demikian, bila ada yang mau memakai hukum pidana untuk menegakkan norma agama, itu soal lain, dan Indonesia bukan negara agama. Apalagi, kalau ada adat-adat tertentu yang mengizinkan kumpul kebo untuk tujuan tertentu, atau karena tidak mampu menyelenggarakan upacara perkawinan.

Adalah diskriminatif bila seseorang kemudian dipidana dengan dalih kumpul kebo. Bagaimana dengan masyarakat adat yang belum mengenal aksara yang tunduk pada sobural adat? Janganlah mereka dipidana dengan dalih kumpul kebo.

Pejabat daerah yang kawin dengan dalih apa pun dan beberapa hari kemudian menceraikan istrinya itu, apakah juga mau diklasifikasi sebagai kumpul kebo?

Di Jakarta, menurut gosip, banyak pejabat kumpul kebo. Sesungguhnya itu juga suatu bentuk pelacuran terselubung. Kata orang Belanda, ”Hoe groter geest, hoe groter beest”. Artinya, makin tinggi status sosial atau makin pandai seseorang, makin tinggi ”kebinatangannya”.

Van Hamel, Guru Besar Hukum Pidana Belanda, sebelum Perang Dunia II, menulis (vide disertasi Sahetapy, 1978), ”Door slechte strafwetten kan het zedelijk leven van een volk worden vergifigd, de vrijheid gedood, de veiligheid vernietigd, de onschuld geofferd worden”. Artinya: melalui undang-undang pidana yang jelek, kehidupan kesusilaan rakyat (dapat) diracuni, kebebasan dimatikan, keamanan dihancurkan, dan yang tidak bersalah dikorbankan.

Camkan dan renungkan dengan etik yang bermoral! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar