Senin, 20 Mei 2013

Kebangkitan versus Bad News


Kebangkitan versus Bad News
Sirikit Syah ;  Dosen Stikosa dan Analis Media
JAWA POS, 20 Mei 2013

APA yang kita pikirkan ketika menghadapi peringatan Hari Kebangkitan Nasional hari ini? Kita perlu bertanya: Apakah Indonesia sudah benar-benar bangkit?

Bangsa kita, yang waktu itu belum bernama Indonesia, mulai bangkit dari keterlenaan ''diurusi'' oleh penjajah, ketika para pemudanya bersatu padu. Para saudagar muslim yang berkecukupan tak berdiam diri dalam gelimang kekayaan. Mereka membangun syarikat dagang yang kemudian menjadi cikal bakal partai politik di Indonesia. Para bangsawan juga tidak berdiam diri di dalam kedaton. Bahkan, kaum terpelajar seperti Soekarno, Hatta, dokter Tjipto Mangunkusumo, dan para pemuda Nusantara yang ber-privilege pendidikan tinggi hingga ke negeri Belanda juga bersepakat untuk membangkitkan bangsa yang kelak dinamai Indonesia. 

Betul-betul membanggakan. Para kaum elite cerdik cendekia, kaum pedagang (pebisnis), dan kaum berdarah biru yang hidupnya nyaman bersatu padu dengan gerakan rakyat tertindas, memikirkan bagaimana agar bangsa bangkit dan merdeka. Ini betul-betul khas founding fathers bangsa Indonesia. Mereka bukan golongan miskin dan tak berdaya, tapi mereka tak terlena dengan kenikmatan sosial dan tak puas bila seluruh bangsa belum bangkit.

Sekarang, apakah kita sudah bangkit? Tampak para pemuda kita terpotret menjalani hidup sebagai preman dengan geng motor, kapak merah, kelompok Klewang, tawuran, seks bebas, serta tersaruk-saruk dalam aneka problem sosial. Pemuda yang tampak baik-baik, keluaran pondok pesantren, malah terlibat kasus suap dan korupsi yang dihiasi kehadiran perempuan-perempuan penghibur. Para intelektual yang terjun ke politik dan birokrasi melebur diri dalam kultur pencurian uang rakyat. Di mana kebangkitan pemuda Indonesia?

Di sinilah peran media massa dipertanyakan. Apakah sudah cukup adil dalam memotret kebangkitan bangsa Indonesia? Atau hanya bersikukuh pada jargon klise 
bad news is good news? Sebagai contoh selera atau pilihan media: pekan lalu teater mahasiswa dari Jurusan Sendratasik (seni rupa, drama, tari, dan musik) FBS Unesa meraih juara pertama tingkat dunia di Maroko. Beritanya diselipkan di halaman dalam tanpa foto; sedangkan halaman depan dihiasi headline dan foto Achmad Fathonah dan beberapa perempuan yang terlibat kasus suap daging sapi impor. Segmen-segmen pertama berita televisi juga diisi kekerasan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh geng motor. Padahal, banyak prestasi lain yang luar biasa. Memang diliput media, tetapi tak segegap gempita berita kebusukan.

Media massa terpaku bahwa konflik laku dan hanya bertugas memotret kenyataan. Padahal, paradigma baru jurnalisme yang disebarluaskan oleh Johan Galtung dkk di Eropa diakui lebih bermanfaat: media massa tak hanya mengawasi (watch), tapi juga berpartisipasi dan ''memungkinkan'' (participate dan enable). Dalam liputan konflik, media massa boleh berpartisipasi dan mewadahi kemungkinan damai. Dalam laporan korupsi, media massa juga berhak menyeleksi narasumber mengacaukan ke solusi. The media have the power. Sudah sepatutnya power itu digunakan sebijaksana mungkin.

Dalam waktu dekat, Indonesia akan mengalami dua tahun yang istimewa: 2035 dan 2045. Pada 2035, Indonesia bersama beberapa negara berkembang saat ini, antara lain Brasil, akan mengalami bonus demografi. Negara didominasi penduduk berusia produktif 18-40 tahun, yang angkanya bisa mencapai 60 persen. Ini sebuah kekuatan yang luar biasa, aset bangsa yang amat potensial.

Kecuali, kondisi tidak disiapkan dari sekarang. Bila 60 persen penduduk Indonesia pada 2035 adalah kaum muda produktif, tetapi tak tersedia lapangan kerja, dan mereka juga tak memiliki keterampilan atau 
mindsetwirausaha (entrepreneurship), apa jadinya? Di titik ekstrem, kita mencemaskan mereka akan menjadi ''preman''. Pendidikan kewirausahaan dapat mencegah hal itu sehingga mereka kelak menciptakan pekerjaan. Dengan begitu, tahun 2035 Indonesia akan menikmati bonus demografinya.

Tahun 2045, Indonesia mengalami tahun emas. Satu abad Indonesia. Pertanyaannya, pada saat itu, apakah kita semua sudah bangkit, bangun dari tidur, terentas dari kemiskinan, melek huruf dan angka, cukup gizi, dan menikmati infrastruktur yang layak? Kita mungkin sudah merdeka 100 tahun, tapi apakah kita sudah berketuhanan, berperikemanusiaan, bersatu, berkeadilan sosial, berkedaulatan, dan sejahtera? Itu juga harus dibangun dari sekarang.

Dalam renungan kebangkitan nasional hari ini, alangkah indah berpikir positif dan optimistis. Banyak pejabat korup dan pemerintahan salah kelola, tapi jangan itu membunuh optimisme kita. Francis Fukuyama menulis dalam bukunya The Great Disruption tentang ambruknya moral dan peradaban bangsa Amerika (penembakan masal di sekolah-sekolah di AS yang terjadi setiap tahun merupakan bukti teori Fukuyama). Namun, Fukuyama meyakini akan munculnya tatanan baru yang lebih baik. Kita juga tak perlu banyak menghujat koruptor. Bila tiba waktunya pilkada atau pemilu, jangan lagi pilih mereka atau golongan/partai mereka. Kita bangun tatanan sosial baru. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar