Selasa, 04 September 2012

Urgensi Reformasi Birokrasi


Urgensi Reformasi Birokrasi
Agun Gunanjar Sudarsa Ketua Komisi II DPR RI
MEDIA INDONESIA , 04 September 2012


DI setiap negara, birokrasi memegang peranan penting ka rena ia menjalankan keputusan politik atau kebijakan pemerintah. Karena itu, birokrasi hendaknya didesain seefektif dan seefisien mungkin agar optimal dalam menjalankan fungsi. Pola birokrasi yang sentralistis, dan kurang peka terhadap perkembangan ekonomi, sosial, dan politik masyarakat harus ditinggalkan, diarahkan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Seiring dengan meningkatnya transparansi publik, kita harus mampu menciptakan birokrasi yang terbuka, profesional, dan akuntabel.

Hal itu tak lain agar birokrasi mampu memicu pemberdayaan masyarakat dan mengutamakan pelayanan tanpa diskriminasi. Birokrasi demikian dapat terwujud jika terbentuk suatu sistem yang memungkinkan terjadinya mekanisme birokrasi yang efisien dan efektif dengan menjaga sinergi yang konstruktif antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.

Saat ini, posisi, wewenang, dan peranan birokrasi masih sangat kuat, baik dalam mobilisasi sumber daya, perencanaan, maupun pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Di samping itu, kepekaan birokrasi untuk mengantisipasi tuntutan perkembangan masyarakat mengenai perkembangan ekonomi, sosial, dan politik sangat kurang sehingga fungsi birokrasi yang seharusnya melayani masyarakat masih bersifat vertical top down daripada horizontal participative. Birokrasi belum efisien antara lain ditandai adanya tumpangtindih kegiatan antarinstansi dan masih banyak fungsi yang mestinya dapat diserahkan kepada masyarakat masih ditangani pemerintah.

Dengan makin besarnya peran yang dijalankan masyarakat, seharusnya peran birokrasi sebagai agen pembaruan, pelayanan, dan pemberdayaan masyarakat. Karena itu, fungsi pengaturan dan pengendalian yang dilakukan negara ialah perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang berfungsi sebagai motivator dan fasilitator guna tercapainya swakarsa dan swadaya masyarakat, termasuk dunia usaha.

Peran lain yang mestinya dijalankan birokrasi adalah sebagai consensus building, yaitu membangun pemufakatan antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Peran itu harus dijalankan birokrasi mengingat fungsi mereka sebagai agen pembaruan dan fasilitator. Sebagai agen pembaruan, birokrasi harus mampu mengambil inisiatif dan memelopori suatu kebijakan atau tindakan.

Sebagai fasilitator, birokrasi harus dapat memfasilitasi kepentingan masyarakat, sektor swasta, dan negara.

Selain itu, pemisahan peran yang melekat pada aparatur pemerintah menjadi suatu keharusan. Aparatur pemerintah h harus melayani masyarakat a apa pun latar belakangnya. Perbedaan ideologi dan pilihan politik tak boleh menghalangi peran mereka sebagai pelayan publik. Agar peran birokrasi optimal, harusnya kebijaksanaan debirokratisasi, deregulasi, dan desentralisasi perlu dilanjutkan dan pelaksanaannya dikawal. Begitu juga dengan peningkatan pelayanan publik.

Reformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi menjadi sangat mendesak mengingat implikasinya begitu luas bagi masyarakat dan negara. Laman Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara d an Reforma si Birokrasi menyebutkan pada dasarnya reformasi birokrasi adalah perubahan mindset dan cultural set, dari penguasa menjadi pelayan, dari wewenang menjadi peranan, dari jabatan menjadi amanah, dari ego sektoral menjadi ego nasional, dan dari output menjadi outcome. Selain itu, mengubah sistem manajemen berbasis kinerja, yang meliputi bidang tata laksana, kelembagaan, sumber daya manusia, budaya kerja, dan informasi teknologi. Reformasi birokrasi diperlukan karena penghematan anggaran negara, optimalisasi alokasi sumber daya, optimalisasi kinerja, peningkatan mutu pelayanan, pencegahan korupsi, dan perbaikan sistem.

David Osborne dan Ted Gaebler (1995) menyarankan paradigma birokrasi modern yang hierarkis diubah menjadi birokrasi yang memperhatikan partisipasi, kerja tim, dan kontrol rekan kerja (peer group), bukan lagi dominasi atau kontrol atasan. Osborne dan Gaebler juga memperkenalkan paradigma baru birokrasi di antaranya catalytyc goverment: steering rather than rowing; pemerintah sebagai katalis, lebih baik menyetir daripada mendayung.

Pemerintah dan birokrasinya sebaiknya melepaskan bidang-bidang atau pekerjaan yang sudah dapat dikerjakan masyarakat. Community owned goverment: empowering rather than serving; pemerintah milik masyarakat, lebih baik memberdayakan daripada melayani. Pemerintah dipilih wakil masyarakat se hingga menjadi milik masyarakat. Lebih baik memberdayakan masyarakat untuk meng urus masalah mereka secara mandiri daripada menjadikan masyarakat bergantung kepada pemerintah. Competitive goverment: injecting competitition into service delivery; pemerintahan kompetitif adalah pemerintahan yang memasukkan semangat kompetisi dalam birokrasinya. Dengan bersaing, pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang-barang kebutuhan publik akan semakin optimal.

Dalam model pemerintahan entrepreneur, pemerintah dan birokrasi hanya mengarahkan, bukan mengurus semua bidang; melakukan pemberdayaan masyarakat; bersaing dalam memberikan pelayanan yang terbaik; digerakkan misi yang ditetapkan negara, bukan aturan yang dibuat sendiri; menghasilkan pendanaan, bukan menunggu anggaran; dikendalikan warga negara pembayar pajak; memperhitungkan tabungan; mencegah daripada mengobati; melakukan kerja kelompok, bukan kerja individu; dan memperhatikan kemauan pasar atau publik.

Birokrasi dengan paradigma baru itu dapat terwujud jika ada political will dan keteladanan elite untuk mereformasi birokrasi. Birokrasi harus bebas dari kepentingan politik mana pun, mampu mengubah paradigma lama dengan paradigma baru. Payung hukum harus diperkuat sebagai landasan operasional kerja serta mengubah kultur birokrasi yang mengarah ke terwujudnya birokrasi sipil yang bersih dan efektif.

Rekrutmen CPNS

Baik-buruknya birokrasi tak bisa dilepaskan dari keberadaan pegawai negeri sipil (PNS) karena PNS-lah yang menjalankan birokrasi. Sukses-tidaknya reformasi birokrasi sebagian besar akan ditentukan kinerja, etos, dan kultur yang dibangun PNS. Karena itu, PNS hendaknya menjadi titik fokus pembenahan aparatur pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraannya di forum DPR dan DPD pada 16 Agustus 2012 menyatakan pentingnya menuntaskan pelaksanaan program reformasi birokrasi. Mestinya, para pembantu Presiden cepat menindaklanjuti agar reformasi bi rokrasi benar-benar tuntas.

Masalah yang berdampak pada pelaksanaan reformasi birokrasi ialah rekrutmen calon PNS (CPNS). Ada adagium yang mengatakan bila dalam mengerjakan sesuatu dimulai dengan proses yang baik, akan dihasilkan output yang baik dan demikian juga sebaliknya.

Sebagaimana kita ketahui, saat ini dilakukan tahapan rekrutmen CPNS dan tes tertulisnya digelar serentak pada 8 September 2012. Tentu dapat dipahami, jika tiap instansi menyelenggarakan rekrutmen sendiri karena merekalah yang paling mengetahui persoalan rumah tangga masing-masing. Akan tetapi, lebih baik lagi kiranya jika rekrutmen CPNS dilakukan secara terpadu oleh satu instansi kemudian hasilnya didistribusikan kepada setiap instansi yang membutuhkan. Tentunya instansi yang menyelenggarakan rekrutmen berkoordinasi lebih dulu dengan setiap instansi yang membutuhkan. Dengan demikian, pengawasannya juga akan lebih mudah dan dapat terhindar dari praktik KKN.

Masalah dalam rekrutmen CPNS, misalnya adanya ketidaksepahaman mengenai mekanisme rekrutmen CPNS, seperti Pemkot Surabaya dengan Kementerian PAN-Rebiro (Lensaindonesia.com, 9/8). Disadari atau tidak, hal itu dapat mengakibatkan rekrutmen CPNS tidak optimal dan akan berpengaruh terhadap jalannya reformasi birokrasi. Paling tidak, rekrutmen CPNS bisa dijadikan tolok ukur oleh publik dalam menilai serius-tidaknya pemerintah dalam menuntaskan reformasi birokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar