Dramartugi
Keragaman
Asep Salahudin ; Wakil Rektor IAILM
Pesantren Suryalaya,
Kandidat Doktor
Unpad
|
MEDIA
INDONESIA , 04 September 2012
MEMAKSAKAN pendapat, apalagi dengan mengerahkan pasukan dan
melakukan kerusakan, bukan hanya mencerminkan absennya akal sehat, melainkan
juga refleksi dari sikap inferior, ketidakpercayaan diri dan buntunya nalar.
Itulah yang sering terjadi akhir-akhir ini dalam ruang publik kita, termasuk
sejumlah aksi kekerasan di Tanah Air.
Dalam sepuluh tahun terakhir kita saksikan ada sebagian ormas,
baik yang mengusung risalah keagamaan ataupun kebangsaan, dengan jemawa
mengklaim paling benar dan beranggapan di luar dirinya sebagai keliru dan harus
diluruskan.
Data Setara Institute menunjukkan serangan atas nama agama naik
dari 135 kasus pada 2007 menjadi 216 kasus pada 2010, dan 244 kasus pada 2011.
Kekerasan itu dilakukan terhadap Ahmadiyah, Bahai, Kristen, Syiah, dan berbagai
gerakan tarekat.
Data 2009 bahkan menyebut dari 291 tindakan kekerasan atas nama
agama, 139 pelanggaran melibatkan negara sebagai aktor, baik melalui 101
tindakan aktif negara (by commission)
maupun 38 tindakan pembiaran (by omission).
(Media Indonesia, 18/5).
Sikap-sikap seperti itu, apabila terus dibiarkan oleh negara yang
notabene satu-satunya pemilik otoritas untuk menciptakan tertib sosial dan rasa
damai, jelas bisa mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara. Kebinekaan yang
telah tersemai dalam payung besar Pancasila dapat rontok oleh segelintir ormas
yang kurang faham tentang falsafah keragaman dan makna kemajemukan. Apalagi
kalau sampai aparatur negeri melakukan pemihakan kepada salah satu yang
bertikai, alamat kiamat bernegara semakin dekat.
Hukum Alam
Keragaman adalah fakta sosial yang tidak terbantahkan, termasuk
keragaman dalam pilihan keyakinan. Apalagi dalam konteks negara kita dengan
sekian ribu pulau, bahasa yang jumlahnya ratusan, budaya yang membentang
sepanjang garis khatulistiwa m menjadi contoh nyata tentang e ekspresi keragaman
ini.
Keragaman bisa bermakna positif manakala diapresiasi dengan benar.
Menjadi pintu masuk untuk saling menghargai dan bisa dijadikan jendela dalam
memperluas cara pandang. Dapat juga destruktif apabila selalu dianggap sebagai
ancaman yang harus dimusnahkan dan atau diseragamkan disesuaikan dengan sudut
pandang dirinya.
Contoh paling nyata dalam latar kenabian ialah Piagam Madinah.
Bagaimana Baginda Rasul menjadikan piagam itu sebagai traktat politik untuk
menjadi tenda bagi berbagai kepercayaan dan kepentingan di atas haluan tujuan
yang sama; menciptakan negara (masyarakat) Madinah yang beradab, mewujudkan
keadaban publik.
Itulah piagam yang disebut-sebut almarhum Nurcholish Madjid
sebagai tautan ilmiah masyarakat madani (civil
society) dalam perspektif Islam dengan identitas utama; egalitarianisme,
penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras
dan sebagainya), keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif),
penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme serta musyawarah.
Masyarakat Madani yang kemudian dengan sangat bagus
dikonseptualisasikan Ibnu Khaldun dalam tamadhun (masyarakat yang berperadaban)
atau al-Madinah al fadhilah (Madinah
sebagai negara utama) yang diungkapkan filsuf Al Farabi pada abad pertengahan.
Ciri-cirinya banyak memiliki kemiripan dengan gagasan masyarakat
Madani hari ini, yaitu free public sphere (ruang publik yang bebas),
demokratisasi, toleransi, pluralisme, keadilan sosial (social justice), partisipasi sosial, dan supremasi hukum.
Bisa juga merujuk pada Bahmueller (1997): 1) Terintegrasinya
individu-individu dan kelompok-kelompok eksklusif ke dalam masyarakat melalui
kontrak sosial dan aliansi sosial, 2) Menyebarnya kekuasaan sehingga
kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh
kekuatan-kekuatan alternatif, 3)
Dilengkapinya programprogram pembangunan yang
didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis
masyarakat, 4) Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara
karena keanggotaan organisasi-organisasi sukarelawan mampu memberikan
masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah, 5) Tumbuh kembangnya
kreativitas yang pada mulanya terhambat oleh rezim-rezim totaliter. Meluasnya
kesetiaan (loyality) dan kepercayaan
(trust) sehingga individu-individu
mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri,
6) Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan
berbagai ragam perspektif.
Perenial Sunda
Dalam konteks masyarakat Sunda (juga etnik lainnya), sebenarnya
apresiasi positif terhadap keragaman ini telah tumbuh jauh pada masa-masa raja
Sunda berjaya. Prabu Siliwangi adalah salah satu modelnya. Pada masanya
masyarakat Padjadjaran diberikan kebebasan beragama. Bahkan salah seorang istri
dan anaknya beragama Islam.
Carita Parahiyangan, Amanat Galunggung, Sanghiyang Siksakandang Karesian adalah
sekian dari kearifan lokal Sunda yang di antaranya berisi dokumen penting
tentang etika bermasyarakat, pedoman agar bagaimana keragaman menjadi jendela
untuk membangun lingkungan yang santun.
Someah hade ka semah,
silih asah asih asuh, ulah medal sila mun ka panah, leuleus jeujeur liat tali,
ulah cueut kanu hideung ulah ponteng kanu koneng adalah beberapa contoh
dari kearifan perenial Sunda yang menggambarkan tentang bagaimana orang Sunda
seha rusnya menghadapi fakta sosial yang beragam dan majemuk itu.
Dalam praktiknya, sejarah juga mengajarkan bahwa bangsa dan
peradaban yang luhur dicirikan dari watak kosmopolit, inklusif, terbuka, dan
selalu berupaya membuka dialog dengan yang berbeda. Hal itu telah berlangsung
sejak Yunani, helenisme (masa Islam banyak menyerap filsafat Yunani), sampai
ketika masyarakat Barat belajar ke Andalusia.
Harus ditegaskan bahwa dalam kenyataannya, klaim autentisitas
(keaslian) itu hanyalah mitos walaupun dirujukkan kepada teks suci. Sebab di
seberang itu masyarakat lain bisa juga merujukkan kepada teks yang sama dengan
tafsir yang berbeda. Seperti yang diungkapkan dengan rendah hati oleh Imam
Syafii (Sunni) yang notabene muridnya, Imam Jafar ash-Shadiq, adalah Syiah, “Pendapatku adalah benar, tetapi tidak
menutup kemungkinan salah; sedangkan pendapat orang lain adalah salah, tetapi
bisa jadi benar.“
Tidak ada sebuah agama, kebudayaan, dan peradaban yang berdiri
sendiri tanpa bersentuhan dengan yang lain. Justru autentisitas itu harus
diposisikan dari sejauh mana agama dan keyakinan yang kita kukuhi memberikan
kontribusi positif kepada mereka yang berbeda, memberikan cahaya kepada
kemanusiaan dalam maknanya yang luas.
Sayang, hari ini situasinya menjadi serbaterbalik, agama (dan
budaya) ditarik dalam semangat eksklusif, puritan, dan antidialog. Agama
menjadi ideologi tertutup, dan kebudayaan kedap kritik.
Kalau kecenderungan itu yang dipertahankan dan menjadi arus utama
pemeluk agama, yakinlah agama seperti ini sama sekali tidak akan memberikan
pencerahan, pembebasan, dan perubahan kecuali sekadar heroisme teriakkan `Allahu Akbar' di tengah jalan yang
dipahami secara salah kaprah, penginjeksian semangat `jihad' yang diartikan dengan sangat tidak proporsional dan
serampangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar