Sertifikasi Ulama
M Bashori Muchsin ; Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam
Malang
|
MEDIA
INDONESIA, 13 September 2012
USUL
(wacana) Irfan Idris, Direktur Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT),
tentang sertifi kasi dai, ustaz, atau ulama menimbulkan reaksi keras. Ia bilang
sertifi kasi itu merupakan satu cara mencegah ajaran radikal. Alasan lainnya
sertifikasi itu juga sudah dilakukan negara Singapura dan Arab Saudi.
Irfan
mengaku sudah mengamati langsung kedua negara tersebut. Hasilnya kedua negara
itu mampu menekan ajaran radikal. Kedua negara telah melaksanakan
deradikalisasi secara efektif.
Terlepas
Irfan mengakui hanya menggelindingkan wacana dan mencoba membandingkan dengan
negara lain, usul sertifi kasi ulama layak dibaca sebagai bagian dari bentuk
(gejala) politik stigmatisasi yang dilakukan negara terhadap ulama (tokoh-tokoh
agama). Komunitas agama dianggapnya sebagai pilar masyarakat yang tidak hanya
ikut bertanggung jawab terhadap penanggulangan terorisme, tetapi juga sebagai
virus yang secara tidak langsung ikut menjadi penyebab terjadinya radikalisme
atau terorisme di tengah masyarakat.
Virus
secara tidak langsung itu bisa dibaca atau dikembangkan dalam tafsir yang lebih
luas, bahwa sertifikasi akan menjadi politik formalisasi pencegahan terorisme,
minimal untuk melawan dan meminimalkan potensi penyebaran doktrin kekerasan
(radikalisme). Politik formalisasi itu dinilainya sebagai bentuk pembenaran
bahwa lisan kiai, ulama, atau tokoh agama tidak selalu fasih menyampaikan
doktrin kebenaran dan kedamaian, dan sebaliknya dari lisan mereka itu bisa
menyebar ajakan memproduksi ‘tragedi nasional’.
Memang
di satu sisi, tidak bisa dimungkiri adanya realitas ulah beberapa tokoh agama,
kiai, atau sosok bersorban dan bertasbih yang sering menggelorakan ajakan
berjihad, memerangi kemungkaran dan kemaksiatan yang bersemai di negara ini
dengan pola-pola kekerasan seperti merazia dan mengobrak-abrik tempat maksiat,
dan bahkan menciptakan kekerasan terhadap komunitas pemeluk agama yang berbeda.
Namun, kasus seperti itu tidak sepatutnya dijadikan sebagai jalan pembenaran
mengeluarkan usul sertifi kasi ulama.
Sertifikasi
ulama merupakan bentuk pemosisian tokoh agama, yang jumlahnya jutaan dengan
segala diversifikasi dan pluralitasnya ke dalam ranah dan kawah homogenisasi
yang membuatnya seperti ‘terdakwa’, yang ketika misalnya berbagai tindakan
ekstremis, radikalis, fundamentalis, atau teroris merebak di tengah masyarakat,
pemahaman dan model dakwah mereka diposisikan negara sebagai akar musabab
sehingga sebelum terjun ke masyarakat dalam menjalankan misi dakwah, mereka
harus mengikuti proses atau tahapan semacam ‘kursus singkat’, pelatihan, atau
pembelajaran bergaya dan berparadigma ‘pesantren negara’.
Secara
general, identitas sebagai tokoh
agama, kiai, pendakwah, atau ulama tidak diperoleh melalui lembaga formal.
Identitasnya itu diperoleh dari pengakuan masyarakat. Masyarakat memberikan
gelar kiai (ulama), memercayai dan mengundangnya untuk memberikan siraman
rohani dan menyampaikan doktrin keagamaan merupakan sampel bukti bahwa
‘jabatan’ sakral tersebut diperoleh berdasarkan kredibilitas publik atau
melalui proses komunikasi keagamaan yang inklusif, demokratis, dan berbasis
pekerti luhur.
Kalau
ada yang secara spesifik di antara mereka itu gencar mengajarkan atau
mendakwahkah agama bisa dan harus ditegakkan dengan segala kemampuan dan cara
apa pun, seperti memproduksi kekerasan atau melakukan bunuh diri, serta meledakkan
bom, ulama jenis itu yang seharusnya dijadikan objek (target) oleh pemerintah
(negara). Tokoh agama atau ulama kategori itu yang sepatutnya dikelompokkan
secara khusus sebagai ‘proyek’ yang digarap seperti ditindak tegas atas sikap
dan perbuatannya yang berlawanan dengan hukum negara.
Seharusnya
negara, yang di antaranya direpresentasi salah satu mesinnya (BNPT), wajib melakukan
revaluasi atas realitas kinerjanya, di antaranya dengan mempertanyakan, apakah
selama ini elemen strategis negara sudah efektif menjalankan dialog agama
dengan kiai atau ulama dalam soal kemaslahatan publik (kerakyatan dan
kemanusiaan)? Apakah konstruksi relasi ulama dengan penguasa (umara) tidak lebih dominan pada soal politik
jika dibandingkan dengan kepentingan fundamental rakyat?
Yang
terbaca, atmosfer negara selama ini masih berkutat pada pemerhatian atau
penahbisan kepentingan politik (kekuasaan) jika dibandingkan dengan memedulikan
kepentingan riil rakyat dan akumulasi problem penyakit. Upaya memapankan dan
mengejar target kekuasaan, kenyamanan, dan kesejahteraan ekskluvisitas diri,
keluarga, dan partai lebih mudah terbaca sebagai upaya yang dipanglimakan pilar
(pemimpin) negara daripada upaya memakmurkan dan menyamankan keselamatan atau
keberlanjutan hidup rakyat.
Ada
pepatah latin berbunyi evil causis evil
vallacy, atau suatu kondisi buruk yang terjadi di tengah masyarakat
disebabkan kondisi buruk yang memengaruhinya. Ketika atmosfer buruk, busuk, dan
berbaksil mematikan banyak bertebaran di tengah masyarakat, itu berarti beragam
penyebab buruk memengaruhinya. Salah satu akar penyebab utama ialah negara.
Sikap,
ucap, dan perbuatan elite negara merupakan faktor terbesar yang menentukan
lemah-tidaknya konstruksi kehidupan bernegara dan atmosfer kehidupan di
masyarakat. Rakyat menjalani atmosfer kehidupan yang jauh dari harmonisasi dan
humanisasi di tangan elite negara yang gagal memainkan peran sebagai negarawan
atau pengabdi sejati bangsa ini.
Di
satu sisi, logis kalau masyarakat sedang mengidap gagap dan galau akibat
kondisi buruk yang sepertinya gampang terjadi di berbagai belahan Bumi Pertiwi
ini. Namun, kegalauan itu seharusnya tidak ikut menjangkiti (menyerang) elemen
negara. Sebagai pilar negara, strategi bertajuk jaminan keamanan dan
minimalisasi ancaman teror, yang seharusnya gencar diterapkan dan disejarahkan
(dikembangkan), dan bukannya ‘melempar’ sumbu akar radikalisme atau terorisme
pada jargon atau apologi bertitel semacam sertifi kasi ulama.
Memang
belakangan ini, rasa aman masyarakat sangat rentan terganggu. Serangkaian teror
dan ledakan bom menjadi kondisi buruk yang merampas kenyamanan publik. Dalam
kasus ledakan bom baru-baru ini di Depok, bahkan ditemukan pesan atau surat
tentang jaminan ‘tiket ke surga’. Kasus itu dapat dibaca sebagai tanda adanya
gerakan bercorak radikalisme atau terorisme yang berhubungan dengan pemahaman
keagamaan yang menempatkan kekerasan sebagai jalan yang dibenarkan untuk
mendapatkan kedamaian pascakematian.
Kalau
sudah seperti itu, seharusnya yang dilakukan negara ialah menunjukkan sikap
tegas terhadap siapa pun elemen sosial, agama, politik, dan lainnya yang masih
rajin menggalang atau memproduksi kekerasan berdalihkan restu ayat-ayat suci.
Hukum
negara wajib ditegakkan tanpa membedakan siapa pun yang melanggar. Hukum negara
merupakan penjamin fundamental keberlanjutan hidup rakyat.
Eksistensi negara
ditentukan peran mesin-mesinnya dalam menjalankan aturan main (rule of game) yang sudah diproduksinya.
Aturan main yang dibiarkan jadi aksesori merupakan atmosfer buruk dan anomali
yang bisa menyulut dan menyebarluaskan chaos
di mana-mana.
Kata
Ibnu Khaldun, negara masih bisa diakui rakyat sebagai pelindung sejati dan
tidak akan sampai bubar atau berakhir menjadi tuyang-tuyang, manakala ia selalu menjalankan fungsinya sebagai
pelindung. Jaminan perlindungan akan bisa dirasakan rakyat ketika negara tidak
mendiamkan dan mengamini berbagai bentuk kekerasan terjadi dan tereproduksi.
Bukti negara tidak mendiamkan kekerasan dapat terbaca lewat tegaktidaknya
aturan yang sudah diproduksinya.
Dus,
meski suatu komunitas terdiri dari seseorang dan jemaah yang menggunakan
sorban, peci, tasbih, atau instrumen agama apa pun, jika yang dilakukan ialah
modus kekerasan, pengeboman, atau mengakibatkan kenyamanan dan keselamatan
orang lain terancam, negara berkewajiban mutlak untuk menindaknya. Tindakan
tegas terhadap komunitas pelaku ini tidak hanya akan membuat negara menjadi
berwibawa di mata para komunitas beragama, tetapi hak kenyamanan dan keselamatan
tak akan menjadi objek permainan dan komoditas politik segelintir petualang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar