Sampang Ingatkan
Kita pada Habib Syekh
Syafiq Basri Assegaff ; Konsultan Komunikasi,
Dosen Komunikasi di
Universitas Paramadina, Jakarta
|
INILAH.COM
, 02 September 2012
Tragedi Sampang menjadikan
banyak orang miris. Kita menjadi ngeri terhadap kekerasan yang sewenang-wenang,
dan mengancam persatuan ukhuwah umat serta ikatan kebangsaan kita.
Kita kemudian harus menengok
kembali pada ajakan penuh toleransi; dan menggugah semua pihak, khususnya
ulama, untuk bercermin pada metode dakwah yang sejuk dan berbudaya, yang sesuai
dengan masyarakat kita yang cinta damai.
Salah satu di antaranya adalah
metode dakwah yang dilakukan seorang da’i asal Solo yang belakangan ini makin
tenar di dalam dan luar negeri.
Pengajiannya dihadiri puluhan
ribu penggemar. Pilihan cara keberagamaan yang diajarkan sang habib penuh
nuansa spiritualitas, manis, humanis, merangkul dan bukan ‘menggebuk’, sehingga
tampak lebih cocok bagi Indonesia.
Ia adalah Habib Syekh bin
Abdulkadir AA. Meski belum tampil di televisi (karena ia agak 'media shy'), namanya terus melejit.
Situs mengenainya diunggah para penggemarnya ke media sosial termasuk Facebook dan beberapa blog.
Lagu-lagu religinya muncul di MP3
dan Youtube. Rekaman kasidah ’Solaatun bi Salaamil Mubiini’ yang
diunggah ke Youtube oleh Kemenag DIY
pada 4 Maret 2011, misalnya, hingga 31 Agustus kemarin telah diakses hampir 470
ribu kali, sementara lagu religinya, Ya Hananaa
meraih 326 ribuan views.
”Beliau itu kalau di Amerika
mirip bintang rock terkenal,” kata
Mark Woodward, ahli dari Arizona State
University yang sedang meneliti dakwah Habib Syekh, dalam sebuah seminar
internasional tentang ’Dakwah Damai Habib’
di Jakarta, pertengahan Juli lalu.
Secara piawai sang habib
memanfaatkan seni musik sebagai salah satu alat dakwah guna menarik khalayak.
Melodi kasidah dan lantunan solawat itu membawa keteduhan di hati hadirin.
Ribuan di antara mereka, khususnya anak muda, hapal dan fasih menirukan
kasidahnya. Maka, ia pun kemudian menjadi ’selebriti’ religius seperti Opick,
Haddad Alwi dan Sulis.
Habib Syekh bisa dianggap penerus
tata-cara dakwah para penyebar Islam sejak dahulu kala, seperti Wali Songo atau
para juru dakwah dari abad sebelumnya, yang metoda dakwahnya mengacu pada
sufisme, bersifat inklusif, penuh kedamaian dan sangat akomodatif.
Sebagai contoh, di antara
tindakan mendasar yang dilakukan Wali Songo dalam hal ini adalah ketika para
wali itu mereformasi cerita, desain dan pertunjukan wayang -- yang sejak
1500-an tahun lalu dikenal sebagai ‘show’
yang sangat digandrungi masyarakat banyak -- sehingga sesuai dengan konsep
*tauhid* (pengesaan kepada Tuhan) dan pesan-pesan agama.
Nah, model dakwah seperti itulah
yang rupanya dikembangkan Habib Syekh, sehingga secara singkat berhasil
menciptakan kekaguman khalayak kepadanya, yang dalam istilah Woodward disebut
dengan ’Syekhomania.’
Syekhomania kemudian menjadikan sang
habib juga didekati para penguasa, termasuk bupati, walikota, gubernur, dan
dari para petinggi keraton. Saat menemuinya lebaran lalu, saya melihat seorang
bupati salah satu kabupaten di Jawa Tengah sedang ’sowan’ kepadanya.
Gerakan di lingkungan penguasa
seperti keraton, misalnya, bersama hangatnya kondisi ruang publik di kalangan
NU dan predikat Syekh sebagai habib, menjadikan simpati kepadanya kian
meningkat.
Di lingkungan Kesultanan
Yogyakarta, semua yang di atas pada gilirannya membuahkan sebuah pola baru
hubungan baik (rekonfigusi ) antara Islam dan *’State’*. Ini jelas suatu
fenomena yang menarik. Bahkan sampai lima tahun yang lalu saja, tak terbayang
keraton akan mengundang seorang habib untuk bersolawatan yang khas budaya Islam
Timur Tengah dan bersifat ortodoks.
Pasalnya, Islam keraton lazimnya
dekat dengan budaya lokal, bahkan ’kejawen’.
Kita melihat bahwa selama ini ada semacam sejarah rivalitas, setidaknya
keberasingan, di antara keduanya. Maka, kehadiran habib Syekh di dalam keraton
Yogya dapat dilihat sebagai simbol mengendurnya rivalitas di antara keduanya.
Mungkin sekali kedekatan itu juga
disumbang oleh kenyataan bahwa Syekh sendiri sering melantunkan lagu dan
khutbah dalam bahasa Jawa yang fasih, sehingga terdengar lebih *’njawani’*, dan
cocok dengan komunitas dan petinggi keraton Yogyakarta.
Tetapi *’Syekhomania’* bukan saja
di Yogya. Ia menjamur ke berbagai kota dan desa di Madura, Pulau Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Jakarta, hingga Brunei, Malaysia dan
Singapura. Di Solo, tempat kelahirannya, *Syekhomania* menyelusup bahkan hingga
ke lokalisasi pelacuran di Silir.
Sesudah menggebrak lewat acara
'Silir Berzikir', ia kemudian berhasil memengaruhi banyak Pekerja Seks
Komersial dan para ‘centeng’ yang ada untuk meninggalkan pekerjaan maksiat
mereka. Syekh mengarahkan dan membantu mereka (juga dengan dana dari kantong
sang habib) agar menekuni bidang pekerjaan baru. “Biasanya mereka itu kan
terdesak secara ekonomi,” katanya.
Selain kebijakan lokal yang
diandalkan sang habib, tampaknya yang juga menjadi landasan utama munculnya
*Syekhomania* adalah karisma kolektif terhadap *Ba-Alawi* (keturunan Nabi
melalui Alwi bin ‘Ubaydillah, seorang tokoh migran ke Hadhramaut di abad 9)
secara umum, habibisme (kecintaan kepada habib, yang memiliki silsilah
bersambung hingga Nabi saw), dan sikapnya yang anti fundamentalisme dan
radikalisme.
Sesungguhnya, selain Syekh, kita
melihat beberapa habib lain juga memiliki gaya serupa. Di Pekalongan, misalnya,
ada Habib Lutfi bin Yahya – yang juga bergaya model Wali Songo, dan sering
berkhutbah dalam bahasa Jawa.
Sebelum itu, dulu ada Habib
’Keramat Empang’ Abdullah bin Muhsin Alatas, Bogor, dan Habib Idrus Al-Jufri,
pendiri lembaga pendidikan Al-Khairat di Palu, Sulawesi Tengah. Berkat dakwah
damai yang menyentuh kepentingan khalayak, Habib Idrus yang dikenal dengan
julukan ’Guru Tua’ itu berhasil mengembangkan 1500-an cabang Al-Khairat di
berbagai pelosok wilayah Indonesia Timur.
Di Jawa Timur dulu juga banyak
sekali habib beken, yang rata-rata juga aktif dalam pendidikan, dan dakwah
dengan bahasa Jawa atau Madura. Di antaranya adalah Habib Abubakar bin Muhammad
Assegaf (Gresik), Habib Abdullah bin Abdulqadir Bilfagih (Malang), Habib Saleh
Alhamid (Tanggul), dan Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdhar (yang makamnya ada
di kompleks Ampel, Surabaya). Belakangan ini anak cucu para habib itu
melanjutkan langkah pendahulunya secara penuh kedamaian, akhlak tinggi dan
spiritualitas.
Pilihan model keberagamaan mereka
itu, yang berwarna sufisme, kental dengan spiritualitas, dan menunjukkan gaya
yang sangat terbuka, humanis, pluralis, dan anti pertikaian antar-mazhab itulah
yang menjadikan dakwah mereka terasa lebih cocok bagi Indonesia. Juga sangat
tepat bagi masyarakat Sampang dan Madura yang rata-rata cinta pada habaib. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar