Koalisi Partai,
Partai Koalisi
Arya Budi ; Peneliti
dan Analis Politik Pol-Tracking Institute
|
KOMPAS
, 03 September 2012
Setelah pendaftaran partai
politik untuk Pemilu 2014 dibuka beberapa hari lalu, sulit disangkal bahwa
setiap partai telah menjalankan agenda electoral activities.
Artinya, setiap perilaku
partai, baik sebagai organisasi maupun anggota, akan berorientasi pada
perolehan suara dalam pemilu (Kaare Storm, 1999). Inilah yang disebut
vote-seeking behavior.
Dalam situasi tersebut,
koalisi partai pendukung pemerintah tidak menjadi kebutuhan. Dalam komposisi
parlemen, koalisi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II saat ini terdiri atas enam
partai: Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai
Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Setiap partai memiliki kader
dalam kabinet dengan komposisi 19 dari 34 menteri berasal dari partai politik.
Koalisi yang awalnya untuk mempertemukan kepentingan pada isu-isu krusial—di
antaranya kasus Bank Century dan Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta—ternyata sekadar quasi-political institution.
Pada kenyataannya, sekalipun
koalisi di Indonesia tidak mempunyai perangkat legal untuk melakukan
institusionalisasi politik, koalisi partai pendukung pemerintah yang terlembaga
dalam sekretariat gabungan tak lebih dari kelembagaan semu dan tidak punya
output politik berarti dalam penyelenggaraan negara.
Dekomposisi
Dalam konteks biopolitics
(meminjam terminologi Lynton Caldwell, 1964), koalisi partai politik pendukung
pemerintah akan sampai pada dua bentuk akhir yang sama sekali berbeda:
dekomposisi atau fermentasi. Disebut dekomposisi atau pembusukan karena organ-organ
penting koalisi tidak berfungsi akibat egoisme politik. Disfungsi bermuara pada
lepasnya organ pembangun koalisi (partai politik) yang saling menghancurkan
karena koalisi bersifat rent seeking.
Kedua, koalisi akan
mengalami fermentasi politik dalam arti bahwa institusionalisasi koalisi akan
semakin terstruktur, frekuensi konsensus internal lebih tinggi, dan output-nya
adalah kristalisasi kepentingan bersama.
Namun, fermentasi politik
terjadi tidak sekadar dengan menyelenggarakan negara secara bersama. Ada tiga
prasyarat penting yang harus dipenuhi: elektabilitas dan popularitas presiden,
partai berkarakter policy-seeking behavior, dan negosiasi spektrum ideologi
partai.
Fakta menunjukkan bahwa
koalisi akan berakhir pada dekomposisi. Layaknya ketela pohon yang salah
penanganan, koalisi sekretariat gabungan akan menghitam dan membusuk. Dia tidak
befermentasi menjadi tapai—dengan bentuk dan aroma baru yang lebih lembut dan
rasa yang lebih tajam—karena salah kelola.
Dekomposisi koalisi terjadi
karena tiga alasan penting. Pertama, perilaku elite dalam struktur partai yang
berkoalisi masih ke arah rent seeking,
sama sekali bukan policy-seeking behavior.
Artinya, jabatan dalam struktur kabinet dan kursi di parlemen adalah sumber
daya partai, bukan bagian dari upaya intervensi partai dalam kebijakan negara.
Dalam beberapa studi,
relevansi garis kebijakan partai politik dan kebijakan pemerintah memang kecil
(Alan Ware, Parties in Government, 1996).
Namun, pada sisi lain, Ian Budge dan Michel Laver (Party Policy and Government Coalition, 1992) yang meneliti di 13
negara demokrasi multipartai menjelaskan bahwa program partai yang dipromosikan
sepanjang proses pemilu berpengaruh terhadap pemerintahan koalisi, tetapi tidak
menjadi basis koalisi.
Kedua, koalisi yang ada tidak
hirau pada jarak spektrum dan diferensiasi aliran partai. Nasib koalisi di
Indonesia dipengaruhi oleh spektrum kepartaian yang tidak berada pada politik
partai kiri dan partai kanan seperti banyak terjadi dalam praktik demokrasi
Barat. Maka sulit untuk membangun relevansi antara jarak ideologi partai dan
output koalisi yang berupa kebijakan dan keputusan politik negara.
Ketiga, hal yang justru
dominan adalah elektabilitas dan popularitas presiden yang menciptakan fenomena
magnet politik. Artinya, prasyarat penting terjadinya fermentasi politik dalam
koalisi hanya dipenuhi oleh poin ini. Maka yang terjadi bukan lagi koalisi
partai, melainkan partai koalisi.
Partai
Mencari Hidup
Partai koalisi adalah partai
yang mencari hidup dengan melakukan koalisi terhadap partai yang menang dalam
pemilihan eksekutif (baca: pilpres). Vokalitas Golkar dan PKS dalam KIB II
dapat dijelaskan dengan teori partai koalisi ini karena sejatinya kedua partai
berkoalisi setelah kalah dalam pilpres. Partai mengerubungi dan merapat ke
kursi presiden untuk mencari hidup.
Fenomena partai koalisi
menjelaskan kegalauan presiden soal menteri parpol. Pidato presiden yang
menyindir menteri/ketua umum partai menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada
koalisi partai, melainkan partai koalisi. Jika ada koalisi partai, presiden
akan menyelesaikan urusan dalam rumah tangga koalisi.
Alhasil, dalam menghadapi
Pemilu 2014, beberapa partai koalisi menciptakan pengelolaan struktur kekuasaan
politik sentripetal. Artinya, insentif partai berputar melalui kader di kabinet
dengan presiden sebagai poros. Semakin kuat tarikan politik partai koalisi di
parlemen, semakin kuat putaran insentif partai di kabinet.
Jika karakter sebagai partai
koalisi (dan bukan koalisi partai), maka kita akan menyaksikan hal yang sama
pasca-2014. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar