Ritual Tahunan Kegagalan
Sumaryoto ; Anggota
Komisi XI DPR Fraksi PDI Perjuangan
|
SUARA
MERDEKA, 13 September 2012
KEMEREBAKAN aksi
teror cukuplah menjadi bukti bahwa pemerintah gagal mengatasi terorisme dari
tahun ke tahun. Bahkan muncul kesan pembiaran pertumbuhan benih-benih
terorisme. Yang menjadi ioroni, isu mengenai hal itu justru menutup berita
sejumlah kegagalan pemerintah dalam bidang lain. Bahkan ketika kegagalan itu
telah menjadi semacam ritual tahunan, seperti dalam pengelolaan angkutan
Lebaran.
Kemarau yang terjadi
tiap tahun, dan berdampak luas pada kekeringan sawah, juga gagal diantisipasi
oleh pemerintah. Di Jawa Tengah, luas sawah yang mengalami kekeringan dan puso
pada akhir Agustus 2012 mencapai lebih dari 11.000 hektare, tersebar di
Kabupaten Cilacap, Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara. Di Jawa Barat
mencapai sekitar 50.000 hektare, di Jawa Timur meliputi 23 wilayah, di Bali
meliputi Jembrana, Buleleng, Karangasem, dan Tabanan. Kekeringan juga melanda
Aceh dan Papua.
Padahal Jateng,
Jabar, dan Jatim merupakan lumbung padi nasional atau penghasil padi terbesar
di Indonesia. Dengan fakta telah terjadi kekeringan yang melanda tiga provinsi
tersebut, kita pesimistis produksi beras nasional tahun ini yang ditargetkan
67,82 juta ton bisa tercapai.
Ironisnya, alih-alih
sigap mengatasi kekeringan, pemerintah justru seakan-akan menjadikan kekeringan
sebagai blessing in disguise (berkah di balik musibah), dengan mengimpor bahan
pangan seperti beras, kedelai, jagung, dan gandum yang hanya menguntungkan para
pemburu rente.
Bahkan fenomena
kekeringan menjadi semacam legitimasi politik bagi pemerintah untuk terus
melakukan impor. Ujung-ujungnya petani yang menderita. Publik mencatat tahun
lalu Indonesia mengimpor 1,7 juta ton beras. Tahun ini hingga lima tahun ke
depan Indonesia akan mengimpor beras dari Kamboja sebanyak 100 ribu ton per
tahun.
Data dari BPS, hingga
April 2012 Indonesia telah mengimpor 834 ribu ton beras dengan nilai
keseluruhan 456 juta dolar AS atau Rp 4,24 triliun. Impor terbesar datang dari
Vietnam 416 ribu ton (senilai 233 juta dolar), disusul dari Thailand 222 ribu
ton (128 juta dolar), India 150 ribu ton (70 juta dolar), Pakistan 36 ribu ton
(14 juta dolar), dan China 1.880 ribu ton (senilai 7 juta dolar AS).
Selain sumber pangan,
pemerintah juga gagal mengelola sumber energi. Soal bahan
bakar minyak (BBM)
bersubsidi, misalnya, pemerintah gagal menjaga kuota. Data dari Pertamina
menyebutkan, realisasi konsumsi BBM bersubsidi hingga 30 Agustus 2012, premium
dari kuota 16,185 juta kiloliter (KL) realisasi konsumsi 18,441 juta kiloliter
atau kelebihan 14%; solar dari kuota 9,138 juta KL realisasi konsumsi mencapai
10,065 juta kiloliter atau kelebihan 10%.
Hal itu terjadi
karena banyaknya kebocoran: BBM bersubsidi jatuh ke tangan mereka yang tak
berhak dan di lapangan banyak mobil mewah menggunakan premium. Kebocoran juga
terjadi akibat disparitas harga, sehingga banyak industri justru menikmati
bahan bakar bersubsidi.
Pangan
dan Energi
Dewan Perwakilan
Rakyat dan pemerintah telah menyepakati kuota BBM bersubsidi tahun ini 40 juta
KL dengan asumsi ada pembatasan konsumsi dan konversi (dari BBM ke BBG). Namun
kuota ini diperkirakan akan jebol. Maka Menteri ESDM Jero Wacik akan mengajukan
tambahan kuota kepada DPR sebesar 4 juta kiloliter.
Di sisi lain,
pemerintah gagal mengendalikan penjualan mobil dan sepeda motor. Setiap tahun
mobil terjual 1 juta unit, dan tahun lalu angka penjualan motor mencapai 8,04
juta unit. Maka, sebesar apa pun pemerintah mengajukan usul penembahan kuota,
bila tidak bisa mengendalikan, kuota baru itu akan jebol juga.
Pemerintah juga gagal
melakukan efisiensi energi listrik, dan ironisnya kegagalan itu justru hendak
dibebankan kepada rakyat melalui rencana kenaikan tarif tenaga listrik (TTL)
sebesar 15% mulai awal tahun depan, seperti disampaikan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam pidato pengantar Nota Keuangan dan RAPBN 2013 di DPR, 16
Agustus lalu.
Berdasarkan laporan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), PLN pada 2009-2010 membukukan kerugian Rp 36
triliun, dan kerugian ini dibebankan ke negara karena PLN tidak segera
mengalihkan konsumsi pembangkit dari BBM ke BBG.
Bila kenaikan TTL 15%
jadi direalisasikan tahun depan, nilai penghematan anggaran yang didapat
jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan besar kerugian akibat kinerja buruk
PLN.
Kegagalan pemerintah
mengelola sumber pangan dan energi akan menjadi pemicu konflik pada masa
mendatang, baik konflik horizontal maupun vertikal. Saatnya pemerintah untuk
lebih mawas diri dengan meninjau semua kebijakan yang merugikan rakyat,
terutama menyangkut sumber pangan dan energi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar