Kamis, 13 September 2012

Titik Krusial Selat Hormuz


Titik Krusial Selat Hormuz
Pramudito ;  Mantan Diplomat, Pemerhati Masalah Internasional
SUARA KARYA, 13 September 2012


Selat Hormuz merupakan selat yang sempit terletak antara Teluk Persia dan Teluk Oman yang memisahkan Jasirah Arab dan Iran. Lebarnya hanya sekitar 2 mil (3 kilometer). Namun, memiliki nilai strategis, setiap hari 40 persen kebutuhan minyak dunia melalui selat ini.

Baru-baru ini diberitakan bahwa AS akan menambah pasukannya di Selat Hormuz karena Iran mengancam akan menutup selat tersebut akibat embargo impor minyak Uni Eropa ke negaranya. Menurut perkiraan IMF (Dana Moneter Internasional), apabila hal itu terjadi akan berisiko menaikkan harga minyak sekitar 20-30 persen atau sekitar 20-30 dolar AS per barel. Atas dasar ini, AS dan Uni Eropa cukup berhati-hati dalam menghadapi Iran, khususnya terkait program nuklir Iran yang oleh Barat dianggap mengarah untuk memproduksi persenjataan nuklir.

Perseteruan Iran dengan negara-negara Barat paling tidak bisa didekati dengan dua faktor utama. Pertama, motivasi utama Barat terus menekan Iran karena kepentingan Barat terhadap Timur Tengah besar sekali, sehubungan dengan nilai strategis kawasan ini sebagai penghasil minyak utama dunia. Kedua, sehubungan dengan keamanan Israel yang hingga kini tetap merupakan sekutu utama Barat. Apa pun akan dilakukan oleh Barat apabila Israel sampai terancam oleh ulah Iran, khususnya terkait program nuklirnya.

Menurut IMF, sanksi keuangan terhadap Iran hasilnya akan sama halnya dengan embargo minyak yang pada gilirannya akan meminimalkan penurunan pasokan minyak sekitar 1,5 juta barel per hari dari lima produsen minyak terbesar dunia. Gangguan pasokan minyak ini diprediksi sebanding dengan kerugian dalam output ketika pecah perang sipil di Libya, tahun lalu. Seterusnya, hal itu akan mendorong harga minyak naik hingga lebih dari 100 dolar AS per barel, karena Iran mengekspor minyak sekitar 2,6 juta barel per hari, atau sekitar 20 persen minyak global. Di antara 12 negara anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), Iran adalah produsen minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi.

Dengan kapasitas produksi 3,5 juta barel per hari, negara kaum mullah itu memiliki cadangan minyak terbesar setelah Arab Saudi dan Venezuela, yakni 151 miliar barel. Negara-negara yang selama ini getol mengimpor minyak dari Iran adalah India sebesar 11 persen, China (10 persen) dan Jepang (6 persen). Beberapa negara Eropa juga mengimpor minyak dari Iran, seperti Italia (13 persen), Yunani (34 persen) dan Prancis (4,5 persen) dari total impor minyak negara-negara itu. Dhus, jika impor minyak Iran diembargo dan Iran menutup Selat Hormuz, harga minyak dunia akan melambung dua kali lipat dari harga saat ini, yakni sekitar 100 dolar AS per barel. (David Sumual)

Menteri Pertahanan AS, Leon Panetta pernah menyatakan bahwa AS akan tetap berusaha mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir dan menutup Selat Hormuz. AS menegaskan akan mengupayakan penyelesaian secara damai sesuai ketentuan dan peraturan internasional. Tapi, AS tetap 'mempersiapkan kontingensi apa pun meski tidak akan membuat langkah khusus'.

Ditegaskan pula bahwa militer AS akan melakukan apa pun untuk membantu mengamankan perdamaian dunia. AS juga telah menempatkan armada AL-nya di Teluk Persia. Sementara AL Kerajaaan Inggris telah mengirimkan salah satu kapal perusak mutakhir, HMS Daring. Kapal dengan keistimewaan tidak terdeteksi radar ini memperkuat kapal induk AS, USS John C Stennis di teluk ini. Sikap tegas AS ini tidak mengurangi kahati-hatiannya terhadap risiko yang diambil apabila memilih opsi perang terbuka menghadapi Iran. Namun, Iran tampaknya masih memiliki 'kartu canggih', yakni Selat Hormuz.

AS juga tak dapat memandang remeh tiga negara yang selama ini berbeda pandangan dengan AS, yakni Rusia, China dan India. China dan India memandang langkah AS menekan negara-negara lain agar tidak membeli minyak dari Iran sebagai langkah yang tidak bijak dan melanggar prinsip-prinsip ekonomi. Baik China maupun Rusia - keduanya punya hubungan erat secara militer - mempunyai kepentingan yang besar dengan Iran, khususnya untuk kepentingan proyek infrastruktur energi yang besar di Iran.

Perutusan Tetap China dan India untuk PBB menilai sanksi ekonomi yang ditujukan kepada Iran sebagai kebijakan yang sia-sia. Beijing dan New Delhi pun memutuskan untuk tetap membeli minyak Iran, meskipun AS dan Uni Eropa tetap menerapkan embargo. Dubes India untuk PBB, Hardeep Singh Puri menegaskan, India dan Iran akan tetap memperkuat hubungan bilateralnya.

Menanggapi sanksi Barat untuk membatasi ekspor minyak Iran, Teheran menganggap langkah itu sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi akan meningkatkan harga minyak dunia dan di sisi lain akan meningkatkan kerugian akibat resesi yang menerjang industri Barat.

Sementara Israel sendiri menganggap Iran sebagai ancaman utama di Timteng, khususnya kalau program senjata nuklir Iran, yang dituduhkan dunia Barat, benar adanya. Apalagi, Iran selama ini getol mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk terbebas dari cengkeraman Israel. Karena itu, Israel sangat berkepentingan agar Barat terus-menerus menekan, mengucilkan dan memberikan sanksi berat kepada Iran.

Isu nuklir Iran sendiri diduga hanyalah merupakan dalih yang dibesar-besarkan pihak Barat dan Israel untuk terus menerus memojokkan Iran yang belum terbukti memproduksi senjata nuklir. Dunia semakin mahfum akan strategi Barat dan Israel ini. Namun, apabila masalah Palestina segera terpecahkan, kemungkinan besar ketegangan di Timteng akan mereda, Selat Hormuz pun akan menjadi selat yang aman dan damai bagi pelayaran niaga internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar