Kamis, 13 September 2012

KPU dan Risiko Gangguan Politik


KPU dan Risiko Gangguan Politik
Muh Aziz Hakim ;  Alumnus Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia,
Pengurus Pimpinan Pusat GP Ansor
SUARA MERDEKA, 13 September 2012


"Sesungguhnya, tantangan politis paling besar adalah manakala ada partai parlemen tidak memenuhi syarat verifikasi"

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 52/PUU-X/2012 tak hanya membuat sibuk seluruh partai, terutama partai parlemen. Putusan itu sekaligus menambah beban kerja dan tantangan KPU. Juga sebagai uji sahih efektivitas beragam regulasi mengenai pengawasan tiap tahapan penyelenggaraan pemilu sebagaimana UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Dampak hukum putusan MK yang membatalkan Pasal 8 Ayat (1) dan Pasal 8 Ayat (2) sepanjang frasa ’’yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilu sebelumnya atau partai politik baru’’ serta menganulir Pasal 208 sepanjang frasa ’’DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota’’ itu sangatlah besar. Dengan putusan itu maka seluruh partai diwajibkan melalui proses dan lolos verifikasi administrasi dan faktual jika ingin berlaga pada Pemilu 2014. Demikian pula dengan ketentuan ambang batas 3,5 persen, hanya berlaku untuk penentuan kursi DPR.

Dampak bagi partai politik sudah sangat terang, yakni harus berjibaku memenuhi seluruh persyaratan yang diperintahkan UU Nomor 8 Tahun 2012. Bagi partai parlemen, putusan MK ini bak senjata makan tuan mengingat sejatinya persyaratan itu ditujukan pada partai nonparlemen dan partai baru.

Adapun bagi KPU, putusan MK ini menjadi semacam uji nyali profesionalitas dan independensi. Komisi harus mampu bertindak profesional dan independen di tengah beban kerja yang bertambah dan potensi tekanan politis yang makin tinggi. Setidak-tidaknya ada beberapa tantangan yang harus dihadapi.

Pertama; tantangan teknis. KPU dituntut merespons secara cepat dan akurat putusan MK. Dalam konteks ini terlihat KPU agak kedodoran merevisi Peraturan KPU Nomor 7 dan 8 Tahun 2012. Buktinya adalah perubahan sikap KPU yang semula merencanakan hanya memberikan dispensasi dalam melengkapi seluruh persyaratan kepada partai parlemen diubah menjadi kepada seluruh partai politik.

Kelambatan penetapan PKPU Nomor 11 dan 12 Tahun 2012 sebagai revisi terhadap PKPU Nomor 7 dan 8 Tahun 2012 yang baru ditetapkan pada 5 September 2012 atau dua hari menjelang penutupan, menunjukkan betapa persoalan teknis menjadi tantangan serius.

Di samping itu, KPU harus kembali menyamakan persepsi dengan KPU provinsi dan KPU kabupaten/ kota terkait proses verifikasi administrasi dan faktual. Jamak diketahui bahwa banyak KPU kabupaten/ kota memberi tafsir berbeda mengenai UU Nomor 8 Tahun 2012 atau PKPU sehingga dalam batas tertentu menyulitkan partai-partai dalam menyerahkan berkas yang diperintahkan oleh PKPU.

Kedua; tantangan politis. Dengan diwajibkannya partai parlemen mengikuti verifikasi 
maka potensi tekanan politis sangat besar. Bisa dipastikan tekanan politis selalu menyertai tiap tahapan verifikasi. Baik pada tahapan verifikasi administrasi maupun faktual hingga penentuan partai sebagai peserta pemilu. Tekanan politis ini setidak-tidaknya mulai terlihat ketika proses perubahan terhadap PKPU Nomor 7 dan 8 Tahun 2012 berlangsung.

Gangguan Politik

Sejatinya, tantangan politis paling besar adalah manakala ada partai parlemen tidak memenuhi syarat verifikasi. Pada titik inilah profesionalitas dan independensi alias nyali KPU diuji. Jika kondisi ini terjadi akan menjadi dilema bagi KPU. Dilema pertama adalah, setidak-tidaknya wakil-wakil partai di DPR yang tidak lolos itu adalah yang memilih para anggota KPU.

Dilema berikutnya adalah jarak waktu yang lama dari penentuan partai peserta pemilu dengan pergantian anggota DPR. Jika dihitung ada jarak 22 bulan. Artinya, selama waktu itu ada potensi gangguan politik di parlemen dari wakil rakyat yang partainya tidak lolos verifikasi. Gangguan politik ini berpotensi menjadi bola liar bagi KPU, terutama bagi pemerintah.

Berbagai upaya meningkatkan kualitas pemilu, terutama dalam pengawasan terhadap penyelenggara pemilu telah diadopsi dalam UU Nomor 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggara Pemilu. Dalam UU tersebut terdapat lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Lembaga ini bernama Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

DKPP ini bersifat tetap bukan ad hoc. Di antara tugas lembaga itu adalah menerima pengaduan dan/atau laporan serta melakukan penyelidikan dan verifikasi terhadap dugaan pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu.

Di samping itu, berwenang memberikan sanksi kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik (Pasal 111 Ayat 3 dan 4). Sanksi itu dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap (Pasal 112 Ayat 10).

Dengan eksistensi DKPP ini maka diharapkan kode etik penyelenggara pemilu dapat dilaksanakan secara optimal. Artinya, berbagai bentuk pelanggaran kode etik sedapat mungkin dihindari. Pada pundak DKPP inilah penyelenggaraan pemilu yang profesional dan tidak menyimpang dalam tiap tahapannya digantungkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar