Renungan
Kemerdekaan
Daoed Joesoef ; Alumnus
Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
|
KOMPAS,
01 September 2012
Renungan ini adalah ekspresi
dari suatu keraguan, bukan keraguan yang melumpuhkan, melainkan mengobarkan. Ia
mempertanyakan tidak hanya diri kita, tetapi lebih pada apa yang kita lakukan
selama ini.
Perbuatan yang menguras
semua energi kita, apakah punya makna kolektif? Apakah kita puas bertindak asal
bertindak, bekerja maraton tanpa menggubris arah jalur yang bisa menuju jurang?
Negara-bangsa kita lahir
dari suatu revolusi, tetapi tidak tanpa persiapan panjang. Lama sebelumnya,
sudah kita siapkan nama yang tepat, yaitu ”Indonesia”. Ia berkembang di
kalangan para antropolog sejak pertengahan abad XIX.
Kita bangga dengan nama
tersebut berhubung ia ditempa oleh otak ilmuwan, bukan nama raja yang pernah
menjajah kita. Kita mantap dan karena itu ia kita pakai terus. Namun, kita
tidak sadar bahwa ”Indonesia” menjadi nama yang tidak akan berubah bagi
kenyataan dan kebenaran yang terus-menerus berubah. Ketidaksadaran inilah
sumber utama anomali sosial-politik, padahal pemerintah merasa sudah
”berkeringat” dalam usaha pembangunan nasional.
Salah satu hal yang tidak
disadari terus berubah itu adalah tanggapan umum mengenai makna ”keadilan”. Hal
ini perlu dinyatakan secara eksplisit sekarang berhubung tidak adanya keadilan
yang justru mendorong kita berevolusi. Bukan kebetulan kalau istilah ”adil”
disebut sampai dua kali dalam Pancasila. Yang pertama mengacu pada kemanusiaan
dan keberadaban. Yang kedua terkait hidup bermasyarakat berlatar nilai
gemeinschaft.
Zaman penjajahan tanggapan
umum tentang keadilan masih bersifat egosentris pure and simple. Bagi
individu ia berarti: punya sesuatu untuk dimakan, dipakai dan berteduh. Pada
zaman kemerdekaan makna keadilan menjadi lebih relatif, mengarah ke
pembandingan antara kondisi hidup diri sendiri dan tetangga.
Apakah adil bila tetangga
makan dengan aneka lauk-pauk, sedangkan diri sendiri hanya nasi dengan satu
jenis sayur. Apakah adil kalau diri sendiri naik turun angkutan umum, sedangkan
tetangga naik sedan pribadi berpendingin?
Revolusi dan Ide Egaliter
Pergeseran ini terjadi
karena revolusi mendengungkan ide egaliter (kesetaraan) dan keterkaitannya
dengan makna keadilan. Pemahaman baru ini berarti setiap orang, menurut harkat
kemanusiaannya, punya hak atas bagian yang sama dari pendapatan kolektif. Ia
menuntut evaluasi persis tentang hak-hak dan keberhakan, setiap orang berhak,
sejauh mengenai benda, kehormatan atau wewenang, atas sebagian proporsional
dari apa yang disebut ”kelebihan” (merit).
Jadi, keadilan proporsional adalah juga keadilan egalitarian. Ide egaliter
menuntut agar orang atau sesuatu yang efektif sama, diperlakukan sama dan
orang/sesuatu yang memang tidak sama, tidak dianggap sama.
Perubahan makna dari
keadilan dek interaksi dengan ide egalitarian ini terus bergulir. Berkat
pendidikan dan pembangunan ekonomi yang menebar nilai-nilai gesellschaft,
timbul kecenderungan kriteria diploma menggantikan kriteria merit. Diploma
menjamin persekolahan dan merit. Persekolahan menjadi variabel pokok penentu
tingkat imbalan kerja. Maka examinocratie menegakkan sistem kasta, status, dan
privilese yang baru.
Bila demikian, adilkah bila
gaji pilot kapal terbang jauh lebih besar daripada gaji masinis lokomotif hanya
karena persekolahan pilot lebih tinggi daripada masinis? Bukankah tanggung
jawab seorang masinis jauh lebih besar ketimbang tanggung jawab seorang pilot
dalam term nyawa manusia? Rangkaian
gerbong yang ditarik lokomotifnya berisi jauh lebih banyak penumpang
dibandingkan jumlah penumpang pesawat sang pilot?
Kenyataan bahwa persekolahan
menjadi masinis dianggap cukup hingga tingkat menengah, sedangkan untuk pilot
dituntut lebih tinggi lagi, bukanlah kesalahan masinis. Mungkin tingkat IQ-nya
lebih tinggi dari sang pilot, tetapi orangtuanya dulu tidak mampu menyekolahkan
lebih tinggi lagi. Maka keadilan kontemporer menuntut kemudahan akses
persekolahan hingga ke jenjang tertinggi bagi anak-anak berbakat dari keluarga
yang kurang mampu. Imbalan kerja juga harus proporsional dengan kompleksitas
tugas.
Gabungan pembelajaran formal, kepentingan profesi, dan pengalaman kerja.
Masih banyak lagi kenyataan
dan kebenaran yang terus berubah sejak proklamasi kemerdekaan, menambah
khazanah ekspektasi yang dijanjikan revolusi. Menyadari hal ini merupakan suatu
keniscayaan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pembangunan.
Dalam pidato kenegaraan 17
Agustusan baru-baru ini, Presiden SBY berkali-kali menyebut ”pembangunan
nasional”, tetapi penjelasannya dalam term
”pembangunan ekonomi” belaka. Presiden lupa bahwa ”Indonesia” lahir dari
”revolusi human” bukan ”buku teks ekonomi”.
Perubahan-perubahan yang
perlu disadari itu tersembunyi dalam suasana kehidupan prosesual yang merentang
bagai satu garis horizontal melalui waktu. Untuk mengetahuinya perlu kita
potong garis itu dengan suatu dimensi vertikal hingga terjadi irisan melintang
(doorsnee). Cara pemotongan ini
berupa suatu pemikiran transdisipliner, pemikiran yang tidak pecah di
batas-batas disiplin. Yang dicari bukanlah sintetis, melainkan gejala
multidimensional, pasti bukan disiplin yang membelah satu disiplin ke dalam
gejala-gejala. Segala sesuatu yang human adalah sekaligus psikis, sosiologis, ekonomis,
politis, historis, demografis. Adalah penting bahwa aspek-aspek tersebut tidak
dipisah-pisah, tetapi dibiarkan bersama-sama menghasilkan visi poliokuler.
Kita tidak mencari-cari
kompleksitas. Ia adalah gejala yang didesakkan oleh kenyataan kepada kita. Dan
”Indonesia”, selaku satu entitas nasional (negara-bangsa), merupakan suatu
kompleksitas par excellence. Kenyataan ini jangan dielakkan. Yang perlu dilawan
adalah simplifikasi arogan disiplin ekonomi yang menggambarkan being dan
existance demi correctness formalisasi keilmuan belaka, yang mereduksi
keseluruhan global ke dalam unsur-unsur konstitutifnya, yang mengira mampu
mengisolasi suatu obyek dari lingkungannya dan dari pengamatnya.
Dialog dengan Misteri
Jangan dikira bahwa visi
poliokuler an sich menemukan kunci
pengungkap rahasia kehidupan dalam satu mahakata. Ia memungkinkan kita
berdialog dengan misteri itu berkat pemahaman kita tentang interaksi yang ada
di balik perubahan-perubahan yang berlaku, yaitu tetragram, proses peralihan
alami dari kondisi order ke disorder ke interaksi ke organisasi
(keteraturan) kembali. Dialog tersebut, tanpa disadari, menuntut sang pengambil
keputusan dalam proses perumusan dan timing
pengambilan keputusan. Dia tidak hanya bertanggung jawab atas hasil penerapan
keputusan—baik atau buruk—tetapi juga atas proses dan cara pengambilan
keputusan.
Banyak orang mendambakan
”perubahan”. Tidak sedikit yang merasa terpanggil untuk memimpin gerakan
reformasi. Namun, mereka ini hanya mengubah status, medan kekaryaan, jalur
politik pribadi, tidak mentransformasikan dirinya menurut natur dari tuntutan
perubahan. Maka setelah terjadi disorder
dek cetusan perubahan, memang ada peralihan
dari disorder ke suasana ”interaksi”.
Berhubung para penggerak
perubahan tidak ada yang mentransformasikan diri menjadi pembaru tulen,
”interaksi” menjadi berlarut-larut hingga menjurus bukan ke ”organisasi
(keteraturan/ketertiban), tetapi ke disorder
(kekacauan/ kekisruhan) yang menyuburkan anomali sosial-politik yang
disebut ”korupsi”.
Yang universal bukanlah
natur human kita, melainkan kemampuan
kita, makhluk manusia, untuk menciptakan sistem nilai dan berperilaku dalam term itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar