Sabtu, 01 September 2012

Kicauan dan Kemalasan Menulis


Kicauan dan Kemalasan Menulis
Husnun N Djuraid ;  Pengajar Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya, Penulis buku ’Ikatlah Ilmu dengan Tulisan’ 
JAWA POS, 01 September 2012


WAKIL Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana kesandung masalah. Gara-gara tulisannya di akun Twitter yang menyebut advokat pembela koruptor sebagai koruptor juga karena ikut menikmati uang hasil korupsi. Kicauan wakil menteri yang juga mantan aktivis antikorupsi itu menimbulkan reaksi keras dari kalangan advokat. Bahkan, O.C. Kaligis sudah melaporkan Denny ke polisi karena dianggap melanggar KUHP dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Polisi pun merespons laporan tersebut dan segera memprosesnya, meski Denny sudah menyampaikan permintaan maafnya, terutama kepada advokat yang dianggap bersih dan tidak membela para koruptor. Dengan susah payah wakil menteri tersebut sudah menjelaskan persoalan yang sebenarnya atas pernyataannya di Twitter tersebut. Tapi, itu tidak mampu menahan amarah sebagian advokat untuk membawa kasus tersebut ke ranah hukum.

Pernyataan Denny yang menyulut emosi para advokat adalah soal pembelaan para advokat itu kepada para koruptor. Dalam akun Twitter-nya, Denny mengatakan ''advokat korup adalah koruptor itu sendiri, yang membela membabi buta, yang tanpa malu terima bayaran uang hasil korupsi, sama saja seperti koruptor.'' Kalau melihat pernyataan tersebut, sesungguhnya kalimat itu belum selesai. Tentu tidak semua advokat berperilaku seperti yang ditulis itu. Masih ada yang punya hati nurani menolak untuk membela para koruptor meski dengan bayaran tinggi.

Mengapa Denny hanya membuat kalimat sepotong-sepotong yang bisa menimbulkan tafsir negatif, padahal sebenarnya ada maksud yang belum terungkap di balik kata-kata tersebut. Jejaring sosial   seperti Twitter dan                                            Facebook merupakan media yang efektif untuk mengaktualisasikan diri melalui pernyataan pribadi tentang sesuatu masalah. 

Di antara dua media itu, kini Twitter sedang naik daun dan lebih digemari karena banyak digunakan orang-orang terkenal. Sayangnya, efektivitas media tersebut tidak dimanfaatkan dengan maksimal untuk mengaktualisasikan diri melalui tulisan yang lengkap dan utuh. Kebanyakan hanya digunakan untuk menyampaikan komentar dengan kalimat pendek dan dikomentari para follower-nya. Memang mirip cicicuit burung-burung. 

Sebagai media yang bebas, tak jarang satu komentar bisa menimbulkan masalah karena dianggap menyinggung orang lain. Sudah banyak perseteruan yang terjadi di jejaring sosial yang melibatkan para tokoh. Dalam kasus Denny, sungguh disayangkan, mengapa untuk topik sensitif itu dia tidak membuat sebuah tulisan yang panjang tentang pendapatnya agar khalayak bisa menerima pendapatnya tersebut secara utuh, tidak sepotong-sepotong yang bisa menimbulkan salah tafsir.

Sebagai intelektual, Denny sangat mumpuni dan kerap menulis di koran, bahkan membikin buku. Melalui tulisan yang panjang itu, sebuah ide atau pemikiran bisa dipaparkan dengan jelas. Mulai latar belakang, inti persoalan, sampai pada kesimpulan dan solusi yang ditawarkan. Dengan demikian, bukan hanya kritik yang disampaikan, tapi ada penawaran solusi atau masukan mengenai masalah yang menjadi bahan pembicaraan. Selama menjadi kolumnis dan saat kolom-kolomnya dibukukan, tak terdengar Denny pernah tersandung masalah. Padahal, judul bukunya termasuk sangar, yakni Indonesia Optimis Melawan Mafia dan buku sebelumnya, Negeri Para Mafioso: Hukum Di Sarang Koruptor.

Meski demikian, tidak berarti sebuah tulisan yang panjang tidak berisiko dilaporkan ke polisi. Tapi, setidaknya pemikiran penulisnya sudah bisa disampaikan secara jelas, bukan hanya beberapa kata. Masalahnya, para pengguna jejaring sosial malas mengungkapkan pikirannya melalui tulisan yang panjang karena mungkin dianggap tidak lazim. Jejaring itu hanya digunakan untuk sekadar say hello, guyonan, menggosip, dan menyebarkan informasi. Jarang yang memanfaatkan untuk menampilkan sebuah tulisan panjang di twitlonger atau notes.

Padahal, fasilitas yang dimiliki bisa dimanfaatkan untuk menulis lebih panjang. Jejaring sosial, termasuk SMS dan BBM -yang memiliki fasilitas untuk menulis lebih banyak- lebih sering dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan bahasa yang dangkal. Sebab, yang ditampilkan bukan bahasa tulis yang baik, tapi bahasa lisan yang dituliskan dengan segala keterbatasan dan kekurangannya. Anehnya, bahasa seperti itu menjadi tren yang digemari masyarakat.

Sebenarnya, kemajuan teknologi dalam bidang IT bisa dimanfaatkan untuk semakin banyak menulis. Sekarang aktivitas menulis bisa dilakukan di mana saja karena sudah ada komputer jinjing yang lebih praktis. Tapi, kemudahan teknologi tersebut tidak dimanfaatkan untuk menulis, namun untuk kepentingan lain. Tidak banyak pemilik tablet PC yang memanfaatkannya untuk menulis makalah, tugas kuliah, bahan presentasi, artikel, atau tulisan yang lebih panjang. Kebanyakan mereka memanfaatkannya untuk main game dan berinternet.

Kemalasan menulis merupakan problem besar bangsa ini. Berapa banyak guru besar, berapa banyak doktor dan para cerdik cendekia, yang mampu menghasilkan karya tulis yang baik. Mereka biasanya menghasilkan karya ilmiah sebagai syarat untuk mendapatkan gelar. Setelah itu, aktivitas menulis dilupakan. Bahasa tulis menjadi minoritas di antara gegap gempita bahasa lisan. Orang bisa berbicara berjam-jam dengan materi yang sangat menarik. Tapi, tidak banyak di antara mereka yang mampu menuliskannya dengan gaya yang sama menariknya.

Menulis memiliki keunggulan dibanding bicara. Pembicaraan yang menarik memang masih tersisa dalam ingatan, tapi tak lama. Namun, hasil tulisan bisa dinikmati banyak orang dalam waktu yang lebih lama. Ide dan pemikiran bisa diterima secara utuh. Kalau saja Denny Indrayana menuliskan komentarnya soal advokat pembela koruptor lebih panjang, tulisannya akan klir dan mencerahkan. Polisi pun tak repot mengetik pernyataan Denny dalam proses verbal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar