Prijanto, Foke, dan KPK
Tjipta Lesmana ; Mantan Anggota Komisi Konstitusi
|
SINAR
HARAPAN, 11 September 2012
Seorang wartawan, perempuan, bicara dengan
suara lantang tentang sosok yang bernama Prijanto, Wakil Gubernur Jakarta. Ia
mengaku sudah kenal Prijanto sejak yang bersangkutan berpangkat Kolonel TNI,
sebelum ia menjabat Kepala Staf Garnisun Jakarta.
Wartawati ini kerap berdiskusi berdua saja
dengan Prijanto. “Prijanto itu Jawa priyayi. Sejak kenal, saya tidak pernah
sekalipun melihat Prijanto emosi,” kata dia memuji Prijanto. “Tapi hari ini
baru pertama kali saya menyaksikan Prijanto marah!” Prijanto berusaha melempar
senyum, namun senyum yang dipaksakan.
Pagi itu, Rabu, 5 September, Prijanto memang
sempat naik darah ketika salah satu hadirin, juga perempuan, dalam peradilan
“Mahkamah Intelektual” memberondong Prijanto dengan kata-kata keras dan
lantang.
Intinya, dia menggugat mengapa Prijanto sebagai
prajurit mengundurkan diri menghadapi berbagai permasalahan selaku Wakil
Gubernur DKI. “Tentara pantang mundur dalam situasi apa pun! Bapak bisa dicap
pengecut karena memilih mundur...”
Pagi itu, “Mahkamah Intelektual” menggelar
sidang dengan agenda tunggal: meminta pertanggungjawaban Prijanto tentang isi
bukunya berjudul Kenapa Saya Mundur. Buku ini sebetulnya laporan
pertanggungjawabannya kepada Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta
tentang pengunduran dirinya.
Namun, DPRD DKI tidak pernah menuntaskan
masalah Prijanto. Artinya, Prijanto tidak pernah diberikan kesempatan seluasnya
untuk membeberkan pertimbangan dan sebab-sebab dia mundur sebagai Wakil
Gubernur DKI. Prijanto pun sampai hari, secara de jure, masih menjabat Wakil
Gubernur Jakarta.
Oleh sebuah penerbit nasional, buku Prijanto
yang semula tidak untuk konsumsi publik kemudian dicetak ulang, diperbaiki
isinya di sana-sini, dan diterbitkan untuk masyarakat luas. Isinya ternyata
cukup dahsyat!
Berbagai kasus pelanggaran hukum dan etika,
dugaan korupsi, dan penyelewengan yang merugikan keuangan negara dibeberkan
cukup terang dalam buku tersebut. Sebut saja, jabatan Direktur Utama Pasar Jaya
yang tidak didasarkan Surat Keputusan Gubernur yang definitif, pengangkatan
Direktur Utama PAM Jaya yang menyalahi prosedur (pejabat yang diangkat sudah
memasuki usia pensiun).
Menurut Prijanto, Pemerintah Daerah Jakarta
dikelola dengan prinsip pertemanan, tidak berbasiskan tata kelola pemerintahan
yang bersih dan berwibawa.
Ada lagi kasus tunjangan khusus senilai Rp 1
triliun yang ditengarai merugikan keuangan negara. Banyak di antara penerima
tunjangan khusus yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria.
Tunjangan khusus sebesar satu bulan gaji
diberikan kepada seorang pegawai karena jabatan dan pertimbangan memiliki
keahlian langka, penugasan di daerah terpencil, mengandung risiko bagi
kesehatan atau rawan terhadap risiko kejiwaan. Maka, Prijanto semula tidak mau
paraf.
Fauzi marah. Ketika hal ini dijelaskan oleh Prijanto,
Gubernur menjawab—seperti yang dikatakan Prijanto: “Pak Wagub tidak merasakan,
mereka adalah teman-teman saya yang naik-turun tangga bersama-sama saya...” Hal
itu terjadi pada Mei 2009.
Hal yang lebih serius adalah dugaan korupsi
yang dituturkan dalam buku, yang kemudian dikuatkan oleh LSM bernama Smak
Markus, juga oleh ICW. Bahkan Smak Markus pada Mei 2012 sudah menyampaikan
secara resmi laporan mengenai 10 dugaan korupsi di pemerintahan DKI kepada KPK.
Dugaan korupsi itu antara lain menyangkut
proyek fasos-fasum (fasilitas sosial-fasilitas umum) berupa tanah 20 hektare
lebih di kawasan Sunter yang rencananya untuk membangun stadion olahraga. Tujuh
atau delapan pengembang besar sudah berpartisipasi untuk kepentingan ini.
Mereka berhasil menghimpun lebih dari Rp 600 miliar.
Serah terima fasos-fasum itu dilakukan masih
pada era Sutiyoso sebagai Gubernur. Anehnya, sampai sekarang belum ada
tanda-tanda pembangunan stadion olahraga yang dijanjikan. Salah satu keluarga
yang mengaku ahli waris sebagian besar tanah itu sampai sekarang bahkan belum
menerima satu sen pun dari Pemda DKI.
Namun, Prijanto mengaku tidak tahu banyak
tentang urusan fasos-fasum ini. Ia menunjuk Eggy Sudjana yang juga hadir dalam
peradilan Mahkamah Intelektual dan ikut memberikan kesaksian dalam kapasitasnya
sebagai pengacara salah satu pemilik tanah fasos-fasum itu.
Maka, kembali kepada pertanyaan sentral yang
membuat Prijanto marah dan emosional: kenapa Anda mundur? Prijanto akhirnya
menjawab keras juga: “Saya tidak suka bekerja sama dengan orang yang melanggar
hukum dan tidak bisa mengelola keuangan, serta melanggar etika birokrasi!”
Sebelumnya, dalam bukunya, Prijanto mengutip
pendapat Tjipta Lesmana yang bersumber dari Aristoteles bahwa “yang paling
membedakan manusia dengan binatang adalah harga diri atau martabat. Binatang
tidak punya martabat. Jika seseorang sudah kehilangan martabatnya maka
sesungguhnya ia tidak berbeda dengan binatang...”
“Saya masih punya harga diri, maka saya lebih
memilih mundur. Bagi saya, jabatan bukanlah segalanya,” ucap Prijanto tegas.
Urusan mundur memang urusan pribadi
seseorang. Prijanto, Bung Hatta, Laksamana Udara Suryadarma (Kepala Staf
Angkatan Udara RI yang pertama), dan Dicky Chandra (mantan Wakil Bupati Garut)
mundur ketika sedang menjalankan tugas negara karena harga diri.
Namun, ada satu hal dalam buku Prijanto yang
tidak boleh dianggap remeh, yaitu tudingan tentang dugaan tindak korupsi dan
penyelewengan keuangan negara yang dilakukan di lingkungan kekuasaan
pemerintahan DKI.
Untuk itu, KPK harus segera
menindaklanjutinya. Buku Prijanto sudah beredar lebih dari enam bulan. Bahkan
beberapa LSM sudah memasukkan pengaduan resmi kepada KPK.
Namun mengapa KPK bergeming memeriksa
kebenarannya? Jika apa yang ditulis Prijanto di dalam bukunya tidak
ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, Prijanto bisa dituding menebar
fitnah. Mestinya ada pihak tertentu yang menggugat Prijanto karena telah mencemari
nama baiknya.
Namun, jika keduanya tidak muncul—KPK tidak
berindak dan Prijanto tidak dilaporkan ke polisi—maka Indonesia jelas-jelas
NEGARA SAKIT, negara yang tunahukum. ●
blog ini sangat membantu bagi penulis untuk membaca beberapa tulisan opini mas, mumpung karena saya jauh tinggal dipelosok pedesaan hehehehehe (http://www.negarahukum.com/)
BalasHapus