Kisah Cinta Negeri dalam Lagu
Mudji Sutrisno ; Budayawan, Guru Besar STF Driyarkara dan
Universitas Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 11 September 2012
Ketika lagu “Padamu Negeri” ditulis Kusbini
lalu diwariskan sebagai lagu perjuangan, kisah cerita seperti apakah yang
diwariskan ke kita? Menatap lirik-liriknya dan getar nada sentuhannya memuncak
pada baris syair: “bagimu negeri jiwa raga kami!”.
Saya teringat saat lagu Kusbini ini
dikisahkan saat diciptakan dan dijelaskan suasana zaman perjuangan yang tidak
menghitung-hitung hidup atau mati, serta darah tumpah atau bisa terus bernapas.
Untuk telinga anak-anak dan hati anak, kisah
pak guru sekolah rakyat itu terus berngiang dan menyatu ke hati manakala di
kegiatan pramuka, lagu yang sama dinyanyikan kembali di saat upacara, saat
berkemah.
Ada nuansa baru berkat kecerdikan pembina
pramuka untuk secara “halus” memasukkan tafsir makna bakti berbakti, bukan
dalam tema besar bangsa, tetapi nyata dalam tema kecil sederhana untuk belajar
mencintai Tanah Air dengan berkemah di ladang jagung dan mengembus angin gunung
yang sejuk.
Lalu masak-memasak dari buah tanah dan air
gunung dalam semangat janji pramuka sahaja namun nyata makna cinta negeri.
Ketika Franky Sahilatua mencipta lagu renung
keprihatinannya mengenai negeri yang bagai perahu diharapkan tidak retak di
jalan dalam lagu “Perahu Retak”, narasi atau kisah cinta negeri mana yang
ditorehkan dalam nada dan syair-syairnya?
Perahu adalah metafora perjalanan bangsa
majemuk ini yang seperti perahu Nabi Nuh dihuni keragaman penyusun
keindonesiaan dengan karakter dan watak beragam, yang diharapkan untuk saling
tulus, jujur, peduli mencintai dalam saling hormat demi tujuan perjalanan
bangsa ini, yaitu masyarakat adil, sejahtera, dan rukun. Maka ketika korupsi
dan intoleransi penuh kekerasan menggejala, di sana lagu itu bersyair: ….
…
perahu negeriku
jangan retak dindingmu
tanah pertiwi anugerah Ilahi
jangan makan sendiri!
aku heran satu kenyang
seribu kelaparan….
Syair-syair lagu “perahu retak” menyentuh
nurani kita untuk sadari retak-retak kebersamaan bila tidak berbagi lagi.
Sebuah cinta negeri dalam ekspresi cintaku yang sama setelah lima dekade dari
“Padamu Negeri”-nya Kusbini.
Tanah Air
Sepuluh tahun yang lalu tepat pada semangat
zaman bangsa ini yang semakin loba dan tamak begitu tahu di bawah “tanah” dan
di dasar “air” terhampar mineral, serta tambang-tambang batu bara, apa yang
terjadi? Posisi rakyat petani dan nelayan menjadi “dipinggirkan”.
Dengan menggandeng tangan modal global serta
makro ekonomi pasar, secara pelan dan pasti ekonomi rakyat berbasis tanah tani
dan perikanan dikalahkan dan baru disadari lagi di zaman Gus Dur dengan
didirikan Kementerian Kelautan. Namun sudah cukup terlambat karena politik
ekonomi tidak memihak ke sana.
Buktinya, sekolah-sekolah tinggi pertanian
dan institut universitasnya memusat di manakah? Berapa jumlahnya? Lalu
sekolah-sekolah perikanan dan kelautan serta kenelayanan, berapa yang
dimajukan?
Karena itulah lagu cinta negeri yang satir
dan refleksif dicipta dalam semangat zaman dan memilukan namun menggedor tajam
ke mana cinta negeri ini diwujudkan. Muncullah Iwan Fals dan kawan-kawan yang
mengajak bernyanyi peduli cinta negeri dalam lagu “Di Bawah Tiang Bendera”.
Lihatlah dan tengoklah baris-baris syair lagunya:
“kita adalah saudara
dari rahim ibu pertiwi
ditempa oleh gelombang
dibesarkan jaman
di bawah tiang bendera
dulu kita bisa bersama,
dari cerita yang ada
kita bisa saling percaya
yakin dalam melangkah
lewati badai sejarah
pada tanah yang sama kita berdiri
pada air yang sama kita berjanji
Indonesia Indonesia
karena darah yang sama yangan bertengkar
karena tulang yang sama usah berpencar”
Dari nada lagu-lagu cinta negeri, sebenarnya
bisa dibaca suara rakyat, hati pedih nurani mereka yang mendamba penanggung
jawab kemelaratan karena korupsi, kemiskinan karena jaminan kesehatan dan
sosial, meski diusahakan dijembatani terus, serta beberapa gaji yang belum
turun.
Kisah atau narasi cinta negeri yang menjadi
roh cinta bangsa majemuk merupakan suasana doa ranah batin yang minta kita
melanjutkannya dalam kreativitas lagu, film, tari, koreografi, novel, puisi,
dan lainnya.
Mengapa keragaman cinta negeri dalam
perjuangan anak-anak Belitung Laskar Pelangi menyentuh dan bergema terus pada
kita sampai generasi muda? Lantaran ada “kisah’”yang dituliskan oleh Andrea
Hirata lalu diopera-nyanyi musikkan oleh Riri Reza dan Mira Lesmana. Begitu
pula serial Anak Seribu Pulau-nya Garin Nugroho dan juga Soegijo. Lalu pula
Sang Pencerah, filmnya Hanung Bramantyo.
Akhirnya produksi film Hea Di Timur Matahari
berkisah mengenai apa yang harus dibuat untuk Papua. Di film itu pula warisan
lagu Franky Sahilatua “Aku Papua” menjadi himne yang dahsyat! Mari mencintai
negeri ini dan bertanya ke kita masing-masing, “kisah cinta negeri macam
manakah yang terus menjadi PR (pekerjaan rumah) kita agar Perahu Indonesia
tidak retak?”
Salam
merdeka jiwa! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar