Rabu, 12 September 2012

Daur Ulang Teror


Daur Ulang Teror
Nur Huda Ismail ;  Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian
KOMPAS, 12 September 2012


Rentetan aksi teror baru-baru ini membuat kita semua bertanya: apa yang salah dari penanganan terorisme di Indonesia?

Bukankah tidak kurang dari 600 tersangka teroris telah ditangkap aparat dan mereka ini telah diproses secara hukum dengan terbuka? Apakah memang kita sedang berhadapan dengan Hydra, sebuah monster dalam mitos Yunani yang berkepala banyak dan jika dipotong salah satu kepalanya akan muncul kepala baru lagi?

Menurut hemat penulis, penanganan terorisme di Indonesia selama ini lebih berkutat pada dua aspek kerja, yaitu kerja intelijen yang menekankan pada who does what (siapa melakukan apa) dan law of enforcement (penegakan hukum). Namun, negara sampai hari ini masih sangat kedodoran dalam dua hal. Pertama, dalam hal tindakan yang bersifat preventif (pencegahan) terkait pemahaman akan why and how (kenapa dan bagaimana) sebuah aksi teror itu muncul. Tindakan pencegahan ini terasa sangat minim terhadap kalangan anak- anak muda yang masuk dalam kategori at risk groups (kelompok berisiko) seperti anak-anak yang terlahir di wilayah konflik atau anak dari mantan kombatan yang cenderung mengafirmasi kekerasan. Dalam usia yang sangat muda ini pada hakikatnya mereka dalam masa pembentukan jati diri. Mereka masih labil dan mudah terpengaruh lingkungan di mana mereka tumbuh dan berkembang.

Kasus terlibatnya Farhan (19) dan Bayu (16) dalam tindak pidana terorisme adalah contoh nyata kegagalan negara menyentuh kalangan ini dan memberikan alternatif pilihan bagi para anak muda ini. Tak berlebihan jika dikatakan, kedua anak ini hanya fenomena puncak dari gunung es untuk menggambarkan betapa rentannya anak muda untuk terjebak dalam doktrin kekerasan.

Jika negara terus saja mengedepankan aspek represif dan arogan dalam penindakan terorisme, akan masih banyak ”Farhan-Farhan” lain yang berada di kaki gunung es ini yang setiap saat bisa muncul. Filsuf Jerman, Frederick Nietzhe, mengingatkan: ”Barang siapa yang berperang melawan monster, hendaknya mereka dapat menahan diri untuk tidak menjadi monster itu sendiri”.

Kedua, negara masih belum maksimal dalam hal aspek kuratif (penyembuhan) bagi para mantan aktor kekerasan baik itu tindak pidana terorisme atau konflik komunal seperti Ambon dan Poso. Pendekatan kepada mereka ini didasarkan pada pemahaman bahwa tak ada orang yang terlahir sebagai aktor kekerasan, tetapi mereka terlibat dalam aksi kekerasan karena sebuah proses pengenalan akan kekerasan, mulai terlibat (get involved) dan akhirnya meninggalkan aksi kekerasan (disengage). (Baca: Walking Away from Terrorism, John Horgan, 2009). Lagi pula, dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, jumlah mereka ini sesungguhnya sangatlah kecil. Dengan demikian, memahami dinamika individu dari tiap aktor ini masih memungkinkan dilakukan oleh negara secara sistematis dan berkala karena setiap individu pelaku aksi kekerasan punya tingkat radikalisasi dan keterlibatan yang berbeda-beda.

Meluruskan Konsep Jihad

Kegamangan negara melakukan kedua aspek kerja preventif dan kuratif akan menghadapkan kita pada potensi daur ulang kekerasan di kemudian hari. Kenapa demikian? Karena bagi kelompok ini, orang yang pernah terlibat tindak pidana teroris atau konflik, ”kasta” sosialnya justru naik. Mereka dianggap melaksanakan jihad secara nyata. Mereka jadi panutan dan idola.

Tidak jarang justru para tahanan teroris ini mendapatkan tawaran istri ketika mereka masih di dalam penjara. Istri mereka bukanlah dari kalangan marginal baik secara ekonomi maupun pendidikan. Mereka ada yang sarjana bahasa Inggris, dokter, atau bahkan aktivis LSM.

Oleh karena itu, meluruskan konsep jihad bagi kelompok ini tidaklah mudah. Seperti tergambarkan dari sebuah inisiatif negara melalui seorang profesor psikologi dari UI yang pernah mengumpulkan para mantan kombatan untuk berdiskusi dengan seorang ulama ternama di Indonesia. Forum ini dimaksudkan untuk menjelaskan makna jihad kepada mereka. Sebelum acara dimulai, salah satu kombatan bertanya kepada sang ulama: ”Di manakah Anda ketika konflik Ambon dan Poso? Di mana Anda ketika umat Islam di Moro dibantai?” Sang ulama tak menjawab karena ia memang tak pernah terlibat dalam konflik-konflik tersebut. ”Jangan bicara jihad apalagi menyalahkan jihad kami jika Anda belum pernah berjihad,” kata mereka.

Konsep pemaknaan jihad inilah yang selama 10 tahun terakhir jadi perdebatan inti di kalangan mereka, yaitu kapan jihad dilaksanakan, di mana, dalam kondisi seperti apa, siapa yang dilawan dalam proses jihad ini?

Bagi kalangan senior, Indonesia bukanlah tempat yang tepat karena Indonesia kawasan aman. Mereka yang memilih berjihad hari ini dianggap isti’jal atau tergesa-gesa. Langkah mereka dianggap justru kontraproduktif terhadap dakwah. Namun, pada saat bersamaan muncul pula seorang ideolog yang secara sistematik menjelaskan melalui ceramah, buku, situs web, dan jejaring sosial bahwa tindakan aparat yang represif terhadap aktivis Islam ini adalah ciri thoghut (penguasa lalim) yang layak dimusuhi. Kalangan muda menolak kajian-kajian yang minus praktik dengan menyindir: ”Tafir Yes, Jihad No” atau ”Kapan jihadnya kalau hanya mengaji saja?”.

Keresahan mereka ini terobati ketika mereka bertemu para mantan kombatan yang tidak tersentuh program integrasi negara dan punya kemampuan urban warfare (perang kota) ketika di wilayah konflik dan akses akan logistik (senjata, peluru, dan bahan peledak) yang masih terjaga baik hingga hari ini, baik jaringan di dalam maupun di luar negeri.

Oleh karena itu, negara perlu segera merangkul masyarakat sipil untuk mendesain tindakan preventif yang kreatif, inovatif, dan tepat sasaran. Negara juga harus memperlakukan secara manusiawi tahanan teroris dan mantan tahanan teroris karena tak semua pelaku itu tergerak karena alasan ideologi; menyantuni keluarga mereka guna memangkas cycle of vendetta (lingkaran balas dendam); dan tak kalah penting melakukan audit secara terbuka terhadap kinerja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang cenderung jadi juru bicara polisi atau intelijen daripada memberikan tawaran kreatif dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar