Pertanda dari
Pilkada DKI
AA GN Ari Dwipayana ; Dosen
Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
|
KOMPAS,
22 September 2012
Pertanyaan pertama yang
pasti muncul ketika melihat hasil hitung cepat Pilkada DKI Jakarta adalah
mengapa Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama bisa mengungguli Fauzi Bowo-Nachrowi
Ramli yang didukung mayoritas partai politik?
Mengapa pilihan yang telah
dibuat elite partai tak selalu diikuti oleh pendukungnya di akar rumput?
Pertanyaan ini diikuti serangkaian pertanyaan yang lain, seperti, mengapa
muncul euforia untuk memilih, terutama di kalangan kelas menengah dan anak-anak
muda? Apa yang mereka sedang inginkan? Apakah ini sebuah harapan di tengah
menguatnya sentimen antipartai? Dan, apakah antusiasme warga datang ke tempat
pemungutan suara (TPS) jadi paradoks di tengah meningkatnya angka voter turn-out dari pemilu ke pemilu?
Evaluasi Negatif pada
Partai
Pilkada DKI sekali lagi
pelajaran berharga bagi parpol bahwa pilihan yang dibuat elite partai tak
serta-merta kongruen dengan pilihan pendukung di akar rumput. Kalau hanya
mengandalkan hitungan matematika politik, Fauzi Bowo- Nachrowi Ramli
(Foke-Nara) pasti di atas angin karena didukung semua parpol, termasuk partai
peraih suara terbesar di DKI dalam Pemilu 2009.
Namun, kenyataannya berbeda.
Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Basuki) yang hanya didukung PDI-P
dan Gerindra bisa memenangkan pertarungan putaran kedua. Fenomena ini
memperlihatkan dalam Pilkada DKI bahwa dukungan partai bukan satu-satunya
faktor penentu perilaku memilih.
Berpijak dari hasil hitung
cepat yang dilakukan berbagai lembaga survei terlihat jelas Foke-Nara hanya
berhasil meningkatkan dukungan suara 11-12 persen. Jokowi-Basuki mengimbangi dengan
tambahan dukungan 11-12 persen juga. Artinya, peralihan dukungan parpol di
putaran pertama ke pasangan Foke-Nara tak berkontribusi signifikan pada
kenaikan suara Foke-Nara. Sebaliknya, Jokowi-Basuki, tanpa tambahan dukungan
parpol, justru dapat tambahan suara dengan persentase sama besar dengan
Foke-Nara.
Itu artinya, Pilkada DKI
telah memberi pertanda bahwa terjadi problem serius pada pengakaran parpol.
Relasi antara pemilih dan partai terlihat kian berjarak. Ikatan emosional
dengan partai juga kian melemah sehingga keputusan partai tak selalu diikuti
pemilihnya. Namun, fenomena kian berjaraknya partai dengan pendukungnya bukan
fenomena baru. Sebab, tren sentimen merosotnya loyalitas pemilih pada partainya
sudah mulai terjadi sejak Pemilu 2004.
Berbagai hasil survei
menunjukkan, terjadi penurunan tajam tingkat identifikasi kepartaian (party ID), dari 86 persen pada Pemilu
1999 menjadi 54 persen pada Pemilu 2004 dan terus berlanjut menjadi 20 persen
pada Pemilu 2009. Tren menurunnya identifikasi kepartaian tentu akan
memengaruhi stabilitas dan kontinuitas dukungan pemilih terhadap partai,
termasuk dalam momen-momen pilkada. Dengan demikian, dalam perkembangan
berikutnya, ini memungkinkan terjadi split ticket voting, yakni perbedaan
pilihan antara pada momen Pemilu 2009 dan pilkada kali ini.
Faktor Figur dan Isu
Perubahan
Jika faktor partai tak
banyak berpengaruh, muncul dua faktor lain yang bisa menentukan perilaku
memilih dalam Pilkada DKI. Pertama, faktor kandidat. Ini setidaknya
terkonfirmasi dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Tempo,
beberapa hari sebelum pemilihan, yang menunjukkan persepsi responden terhadap
profil kandidat diperkirakan menjadi faktor paling utama yang memengaruhi
pemilih dalam menentukan pilihan.
Dalam survei LSI dan Tempo
terlihat jelas responden memilih Jokowi-Basuki karena alasan penilaian atas
figur kandidat yang dianggap punya perhatian kepada rakyat dan jujur. Hanya 2,2
persen responden yang menjawab karena alasan kesamaan partai. Demikian pula
dengan pasangan Foke-Nara lebih banyak dipilih karena faktor kesamaan agama dan
penilaian bahwa kandidat banyak memberikan bantuan sosial kepada warga. Pilihan
karena faktor kesamaan parpol hanya 0,6 persen.
Faktor kedua yang menentukan
adalah faktor isu. Faktor inilah yang menjelaskan munculnya sentimen partisan
di kalangan warga dan selanjutnya memengaruhi tingkat keterlibatan pemilih
dalam pilkada. Ekspresi dari partisan itu kian jelas terlihat ketika tingkat
partisipasi pemilih dalam putaran kedua meningkat dari 63 persen menjadi
sekitar 67,3 persen. Semakin gencar sebuah isu dieksploitasi dan diangkat
kandidat ke ruang publik, semakin besar keinginan pemilih untuk terlibat.
Apalagi isu yang dimunculkan adalah isu yang menyentuh sentimen pemilih, baik
dari soal kesamaan etnis, agama, maupun penilaian atas kondisi Jakarta.
Pertarungan wacana yang
menarik adalah menyangkut isu ”perubahan vs keberhasilan”. Wacana ”perubahan”
sesungguhnya sudah mulai muncul ke permukaan pada putaran pertama. ”Perubahan
vs keberhasilan” merupakan kontestasi wacana yang mampu mengundang keterlibatan
banyak kalangan karena berkaitan dengan evaluasi atas kepemimpinan dan kinerja
petahana. Dalam putaran pertama, isu ”perubahan” telah jadi agenda setting dari
semua kandidat non Foke-Nara. Dalam kurun waktu itu, semua kandidat tanpa
kecuali ”menyerang” tajam performa kepemimpinan dan kebijakan petahana.
Sebagian besar kandidat non
Foke-Nara juga mengusung berbagai agenda perubahan sebagai antitesa kebijakan
yang telah diambil petahana. Jokowi-Basuki juga memakai strategi sama dan
bahkan dalam perkembangan berikutnya di putaran kedua, Jokowi ditempatkan
sebagai simbolisasi kepemimpinan alternatif untuk perubahan itu.
Penyusunan agenda isu
perubahan Jakarta inilah yang berhasil menarik perhatian kalangan kelas
menengah kritis dan anak-anak muda sehingga mereka tak mengambil posisi
non-voting (golput) dan mau jadi bagian dari upaya aksi voluntarisme untuk
memenangkan kandidat alternatif di luar petahana. Hasil survei LSI dan Tempo
memperlihatkan segmen pendukung Jokowi-Basuki yang sebagian besar dari kalangan
kelas menengah ke atas. Besar kemungkinan tambahan suara Jokowi-Basuki dalam
putaran kedua juga berasal dari para pemilih kelompok menengah kritis yang pada
putaran pertama mendukung kandidat non Foke-Nara.
Dalam perkembangan
berikutnya, isu perubahan coba ditandingi oleh pasangan Foke-Nara dengan
menonjolkan wacana keberhasilan kinerja pemerintahan petahana. Bahkan, sampai
hari-hari terakhir menjelang pencoblosan, kita masih bisa menyaksikan iklan-iklan
layanan masyarakat dari Pemerintah Provinsi DKI di berbagai stasiun TV yang
mengisahkan berbagai terobosan petahana dalam memberikan pelayanan publik yang
lebih baik kepada warganya. Namun, sepertinya kalangan kelas menengah kritis
tidak terlalu terpengaruh dengan wacana tanding itu.
Selain itu, loyalitas
dukungan pemilih kelompok menengah kritis pada pasangan Jokowi-Basuki membuat
penggunaan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tak sepenuhnya
efektif untuk mengalihkan dukungan dari Jokowi. Meski penggalangan isu agama
dilakukan sangat gencar menjelang putaran kedua, isu itu hanya bisa menyentuh
beberapa segmen pemilih tertentu. Karena itu, dalam hasil survei LSI dan Tempo
terbaca tegas perbedaan orientasi antara pemilih Foke- Nara dan pemilih Jokowi-Basuki.
Pada pemilih Foke-Nara,
faktor isu agama jadi faktor utama sehingga mereka mendukung kandidat itu lebih
karena kesamaan agama yang dianut. Sebaliknya, pada pemilih Jokowi-Basuki,
faktor isu agama tak dominan. Orientasi pemilih lebih banyak ditentukan oleh
profil Jokowi yang dinilai merakyat dan isu-isu perubahan.
Dalam konteks menguatnya
wacana perubahan itu, akhirnya Jokowi-Basuki berhasil merebut suara sebagian
besar dari suara mengambang yang belum menentukan pilihan menjelang hari
pemungutan suara. Dari survei LSI dan Tempo, jumlah undecided voters ini tak
terlampau besar, 9,7 persen. Namun, pada hari
pemungutan suara, undecided voters memutuskan datang memberikan suara ke TPS.
Dari kecenderungan perolehan suara, besar kemungkinan para pemilih mengambang
ini akhirnya memberikan suaranya ke Jokowi-Basuki. Ini pertanda mereka
menginginkan figur alternatif yang diharapkan membawa perubahan. Harapan yang
besar itu sekaligus pertanda beban berat sedang diletakkan di pundak
Jokowi-Basuki. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar